Gubernur untuk Siapa?

Fidella Anandhita
Relawan Maju Bersama
2 min readApr 17, 2017

“Saya mau tanya. Kalau KJP Plus itu bisa buat anak-anak yang ‘kurang’ (maksudnya Anak Berkebutuhan Khusus) juga ndak?”

Dalam sebuah kesempatan sosialisasi program di kampung, seorang ibu mengajukan pertanyaan pada kami selaku pembicara. Saya bertanya balik.

“Di sini, anak-anak ‘spesial’ (alih-alih ‘kurang’, saya lebih nyaman menggunakan istilah ‘spesial’) pada sekolah nggak bu?”

Ibu itu menggeleng. Ibu sebelahnya menyahut.

“Nggak ada sekolah yang mau nampung anak kayak gitu. Diolok-olok malah. Tetangga saya anaknya di rumah aja.”

Hati saya mencelos. Buat mereka, ya itulah nasib. Terima saja.

***

Beberapa hari setelahnya, saya membaca tulisan Om Piring, idola saya. Biasanya, saya sependapat dengan pemikiran yang dia tuangkan di blognya itu. Tapi kali ini, dada saya berdebar kencang.

Campur aduk antara marah, sedih, dan kecewa mendapati bagaimana seorang yang bisa mewakili suara kelas menengah nggak melihat gubernur sebagai pemimpin, melainkan pelayan. Mental majikan. Kalau istilahnya Om Piring di tulisan itu:

Gubernur bukan pemimpin gw, tapi gubernur bisa menentukan apakah urusan gw dengan kota ini lebih nyaman atau tidak.

Pertanyaannya, buat mereka yang digusur, apakah gubernur sudah memastikan mereka hidup nyaman? Iya, dipindah ke rusun, sewa seumur hidup. Ngontrak di tanah kelahiran. Tanya kembali pada mereka, apakah hidup mereka nyaman?

Lalu untuk ABK dari keluarga pra-sejahtera. Apakah gubernur sudah memastikan anak mereka tetap mendapatkan pendidikan yang sama adilnya dengan ABK dari keluarga yang bisa bayar mahal untuk sekolah dan mendapat pendampingan khusus?

Apakah gubernur sudah memastikan subsidi untuk memenuhi hak pendidikan bagi semua anak usia sekolah? Hak mendapat kesempatan bekerja dan berdaya? Hak memiliki hunian?

***

Mundur ke beberapa bulan lalu, ketika saya ngebet banget bikin festival yang targetnya swing voters menengah-atas. Tapi festival ini akhirnya diganti acara lain yang lebih sederhana.

Sebetulnya, idenya adalah menyentil status quo.

Mahasiswa tingkat akhir akan tetap pusing karena dosen pembimbing susah dihubungi. Untuk para karyawan, bos ngehek tetap akan jadi bos ngehek. Para eksekutif muda akan tetap macet-macetan PP rumah-kantor.

Tak akan ada banyak perubahan dalam hidup mereka, siapa pun gubernurnya.

Tapi untuk menengah-bawah, yang tadinya nggak bisa sekolah jadi bisa sekolah. Yang tadinya pengangguran, jadi bisa kerja, bahkan menciptakan lapangan kerja baru. Yang tadinya nggak punya rumah, jadi punya rumah.

Buat mereka, siapa gubernurnya akan menentukan seperti apa nasib mereka.

Intinya, hak suara lo mungkin nggak signifikan pengaruhnya sama hidup lo. Bumi tetap berputar. Skripsi tetap belum kelar. Deadline kerjaan tetap bikin modyaaar.

Tapi hak suara lo sangat berpengaruh untuk mereka yang menitipkan harapan perubahan taraf hidup pada pemimpinnya.

Setidaknya, untuk Jakarta 5 tahun mendatang.

--

--