Tak Selamanya Guru yang Keren Itu Cuma Ngajar di Kota Besar

Christin Viesta Nonitehe
Relawan Maju Bersama
4 min readOct 18, 2016

Program Guru Garis Depan mengirim guru tetap ke ujung negeri, mencerahkan masa depan anak-anak wilayah terdepan. Diambil dari buku Kilasan Kinerja Kemendikbud 2015 oleh Muhammad Husnil.

PEMERATAAN pendidikan di Indonesia masih menjadi tugas besar yang harus segera dikerjakan. Wilayah perbatasan dan daerah terpencil teridentfikasi sebagai lokasi yang tingkat pelayanan pendidikannya rendah. Dalam menyelesaikan masalah ini negara harus hadir secara permanen, bukan temporer seperti yang dija- lankan pemerintah selama ini lewat program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T). Untuk lembaga masyarakat sipil, seperti Indonesia Mengajar atau Dompet Dhuafa, mengirimkan guru yang bertugas hanya setahun memang lumrah karena mereka bukan “negara”. Pemerintah, dalam hal ini, harus bisa menghadirkan guru terbaik secara terus-menerus.

Karena itu Kemendikbud kini menunaikan semangat menghadirkan negara itu dengan membuat program baru: Guru Garis Depan. Mereka adalah guru yang berkomitmen jangka panjang di daerah-daerah terdepan. Perbedaan penting GGD dan SM3T adalah masa kerja dan status. Jika SM-3T hanya ditempatkan setahun dan tak diangkat menjadi PNS, GGD memang ditugaskan untuk menjadi guru permanen dan berstatus PNS di wilayah penempatan.

Rumusan GGD ini sesuai dengan butir ketiga dan kelima Nawacita yang menjadi agenda prioritas Presiden Joko Widodo, yakni “membangun Indonesia dari pinggiran” dan “meningkatkan kualitas hidup rakyat melalui peningkatan kualitas pendidikan, terutama pendidikan anak-anak”.

Karena itu Presiden Jokowi sengaja meluangkan waktu menerima 798 guru dari pelbagai penjuru Nusantara yang lolos seleksi akhir menjadi pionir GGD di Istana Negara. Kepada mereka, Presiden Jokowi, menaruh harapan besar agar pelayanan pendidikan menyebar ke wilayah 3T. “Saudara-saudara semuanya adalah pejuang karena yang akan dituju adalah tempat-tempat yang sulit, terpencil, dan lokasi-lokasi perbatasan,” kata Jokowi di hadapan para guru, 25 Mei 2015.

Predikat pejuang Presiden Jokowi sematkan kepada para guru yang berbaris mengenakan kemeja putih berompi coklat itu bukannya tanpa alasan. Mereka adalah angkatan pertama GGD yang akan ditempatkan sebagai tenaga pendidik di lokasi- lokasi yang sulit ditempuh, yakni di 28 kabupaten yang tersebar di empat provinsi: Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, dan Aceh.

Pelayanan pendidikan di wilayah itu akan ditingkatkan, tak hanya menyangkut biaya pendidikan, sarana dan prasarana, serta infrastruktur pendidikan, tapi juga distribusi guru. Pengiriman 798 guru dalam program GGD merupakan wujud upaya pemerataan distribusi guru. Pengiriman tenaga guru angkatan pertama ini akan berlanjut dengan pengiriman angkatan-angkatan berikutnya sampai target kualitas pelayanan pendidikan yang sama di seluruh wilayah Indonesia tercapai.

“Program GGD merupakan langkah nyata yang ditempuh pemerin- tah dalam menyediakan guru-guru terbaik untuk daerah yang paling membutuhkan. Khususnya untuk daerah terdepan, terluar, dan tertinggal di Indonesia,” kata Mendikbud. “Pengiriman guru di daerah terpencil ini mendapat ilham dari Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) tahun 1950-an yang digagas mantan Rektor UGM, almarhum Koesnadi Hardjasoemantri.”

Angkatan pertama GGD yang berjumlah 798 guru ini adalah hasil seleksi para calon yang berasal dari alumni SM3T yang telah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) SM-3T untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Formasi GGD ini disahkan dengan penerbitan Kebijakan Permenpan RB №26 Tahun 2014 tentang Formasi Khusus Aparat Sipil Negara Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2014 dan Keputusan Menteri PAN-RB №762 Tahun 2014 tentang Formasi PNS untuk SM-3T.

Jamaluddin yang bertugas di Warmare, Papua, pada Program SM-3T, merasa tertantang ingin mendidik anak-anak yang berada di tempat yang sulit dicapai. “Saya langsung mendaftar karena merasa tertantang dan ingin menjawab tantangan itu,” katanya. Banyak hal unik yang Jamaluddin alamai ketika mengajar di Warmare.

Pernah suatu kali siswanya bertanya, “Bapak, dari Makassar ke Surabaya naik kereta bisa berapa lama?” Bagi para pelajar di wilayah Indonesia Barat pertanyaan semacam itu akan menjadi bahan tertawaan, tapi bagi pelajar di Papua itu lumrah. Mereka memang sungguh tidak tahu. “Untung saya punya atlas, di sekolah sama sekali tak ada. Anak-anak lalu saya beri penjelasan dengan atlas. Baru mereka mengerti,” ungkap Jamaluddin.

Pria asal Bone berusia 27 tahun itu pernah juga dibuat kaget lantaran anak didiknya kesal tak mendapat Kartu Indonesia Pintar. Muridnya mengamuk.

Program GGD ini bisa disebut juga sebagai kebijakan afirmasi Kemendikbud melalui penempatan guru

di wilayah 3T. Program ini akan mengubah pandangan dan kebijak- an bahwa guru terbaik berasal dari daerah setempat. “Guru terbaik adalah yang kompetensinya baik dan bisa ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia,” kata Mendikbud. Selain itu, ada pesan lain yang sesungguhnya terkandung lewat Program GGD. Para guru muda ini diharapkan dapat menginspirasi anak-anak, para siswa, dan peserta didik di wilayah mereka ditempatkan untuk meraih sukses dalam pendidikan.

Lebih jauh lagi, para guru muda itu juga membawa pesan kepada anak-anak di daerah untuk memahami bahwa setiap daerah di Indonesia adalah rumah mereka. Anak-anak itu juga kelak bisa menge- nyam pendidikan dan berkarier di daerah lain, tidak harus di kampung halaman atau daerahnya sendiri. Dengan kata lain, para guru muda ini ikut mengemban misi mempererat tenun kebangsaan.

--

--