Kapan-Kapan Saya Jujur

Khalidah Nizma Fritz
Relawan Maju Bersama
4 min readOct 24, 2016

Tahun 2003 merupakan tahun yang sangat berkesan bagi saya dan sejarah pendidikan Indonesia. Tsah! Ketika itu saya kelas 3 Mts, akan menghadapi ujian nasional. Kalau tahun 2002 penentu kelulusan adalah nilai minimal setiap pelajaran, tahun 2003 beda. Ini pertama kalinya ada standar nilai kelulusan minimal 3,00 untuk mata pelajaran yang ikut ujian nasional, ditambah nilai rata-rata 6,00 untuk seluruh pelajaran.
Mendengar ketentuan ini, sekolah panik. Akhirnya seminggu tiga kali selama dua minggu sebelum ujian, anak kelas 3 nginep di sekolah. Khusus belajar untuk mata pelajaran UN sejak jam 19.00–23.00. Para guru yang mengajar juga menginap, termasuk kepala sekolah dan wakilnya. Tidurnya? Ya di meja dan lantai kelas-kelas, di laboratorium bahasa yang pakai karpet, satu dua anak tidur di masjid. Makan malamnya memanfaatkan dapur kantin, rebus mie rame-rame. Paginya sejak jam 3 sudah ngantri mandi di masjid. Tak ada anak yang datang telat hari itu. Ya iyalah, pada nginep.
Kalau mengingatnya sekarang, rasanya lebay sekali persiapan itu. padahal patokan nilainya 3. Sejak itu setiap tahun standar angka kelulusan naik, naik, naik…entah sampai angka berapa.
Saat saya sampai di kelas 3 SMA, angka itu sudah menyentuh 4,25 kalau tak salah ingat. Ironisnya, tahun 2006 itu Ujian Nasional sedang seru-serunya jadi bahan lelucon. Peserta ujian banyak yang mencontek!
Di sekolah saya, kalau ketahuan guru bisa kena damprat, dirampas jawabannya, dicoret dari daftar peserta ujian dan sebagainya. Saya mengumpulkan cerita seputar nyontek ini.
- Ada sekolah yang menuliskan jawaban ujian nasional di papan tulis, sambil disalin siswa.
- Ada siswa yang mengincar soal ujiannya. Banyak siswa patungan untuk membeli soal sampai sepuluh juta rupiah. Padahal itu hanya satu mata pelajaran dan satu kode soal. Saat itu ada setidaknya tiga kode soal. Dia membahas jawabannya bersama teman, bersama guru, atau di tempat les. Tentu saja tanpa ada yang tahu itu soal bocoran.
- Ada siswa yang tinggal salin saja semua bocoran, tidak lupa kodenya. Siswa jenis ini rawan apes. Ketika dia salah menyalin satu nomer saja, maka nomer lainnya akan salah semua. Belum lagi kalau kesalahan itu direproduksi orang berikutnya. Bocoran pun beragam, ada yang 100% nyontek kunci jawaban sehingga dapat nilai 100. Tetapi ada yang sengaja menjawab salah pada beberapa nomer agar tidak dicurigai. Lucunya, bocoran yang kita terima tidak jelas kredibilitasnya. Sudah salah berapa nomer? Ujung-ujungnya siswa tetap membaca soal dulu dan mengecek bocoran tiap lima nomer.
- Ada sekolah yang setelah ujian, para guru buru-buru mengecek jawaban siswa tertentu yang dianggap rawan tidak lulus. Saat itu guru pun dibuat pusing. Lebih penting berapa orang yang lulus daripada seberapa jujur mereka. Usaha yang dilakukan guru sangat beragam. Ada yang mengatakan: isi semua lembar jawaban komputer dengan titik dulu, kalau waktunya tidak cukup, guru akan membantu menghitamkan jawaban setelah ujian selesai. Mulia, bukan?

Sejak ide ujian nasional dengan standar bergulir, banyak protes ditujukan pada Kementerian Pendidikan. Bagaimana ini? Bukannya mencerdaskan bangsa, malah menyuburkan praktik kecurangan sejak dini! Kapan peraturan ini diubah? Saya bersama banyak orang lain bertanya-tanya.
Ternyata kami menunggu sekitar 12 tahun untuk bernapas lega. Di era kepemiminan Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ujian Nasional tidak lagi menjadi satu-satunya tolak ukur kelulusan. Aduh, Om Aniesss, kenapa nggak dari dulu-dulu?
Sejak tahun 2015, Om Anies menyampaikan ide lain yang rasa-rasanya jadi antitesis dari sikap curang yang terlanjur dipelihara. Namanya Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). Apresiasi diberikan bukan hanya kepada mereka yang nilai ujiannya tinggi, tetapi juga yang integritas kejujurannya tinggi. Perlahan, sekolah mulai menunjukkan perhatian serius soal kejujuran ini. Om Anies selaku menteri bahkan memberikan plakat penghargaan kepada sekolah dengan tingkat kejujuran sangat tinggi. Kita memang harus disemangati seperti itu, tak hanya peraturan namun juga ada solusinya. Meskipun UN tidak lagi menjadi tolak ukur satu-satunya, kejujuran tetap dibenahi.
Bersikap jujur memang jadi kebiasaan. Kalau kita terbiasa jujur dan tahu bahwa kejujuran sangat dihargai, pasti sulit menggoncang pertahanan untuk bohong. Beda dengan kejujuran yang tidak diapresiasi. Terlebih usaha jujurnya orang yang terbiasa bohong.
Kalau kamu penasaran apakah saya ikutan nyontek saat ujian, jawaban saya setengah hati saja. Ketika pagi hari semua teman saya berkumpul untuk menyalin jawaban, saya mikir sejenak, kemudian ikutan nyatet. Dari 3 mata pelajaran UN, hanya Bahasa Indonesia saja yang 100% murni saya kerjakan sendiri tanpa tolah-toleh. Sedangkan pelajaran bahasa inggris dan ekonomi, saya tidak sampai hati membuka kertas contekan. Rasa bersalah lebih menghantui saya. Namun saat menemukan pertanyaan nyebelin, saya nebak saja! Kalau pertanyaannya blas tidak saya pahami, jurus terakhirnya saya akan menoleh ke teman yang bahkan tidak menyalin contekan, sambil bilang,
Ssst, nomer dua tiga apaan jawabannya?

--

--