Khalidah Nizma Fritz
Relawan Maju Bersama
3 min readOct 20, 2016

--

Maestro Kesenian, Jurusan Apa Saja
(Belajar Bersama Maestro, Apresiasi Kesenian)

“Kamu mau masuk jurusan apa, nak?” suatu siang, bertahun-tahun yang lalu saat masih SMA, ibu saya bertanya serius.
“IPS dong,” jawab saya singkat. Ibu cemberut, “Kenapa nggak IPA saja?”

Entah sejak kapan, pemikiran anak-anak yang pintar adalah mereka yang berasal dari jurusan eksakta sangat membudaya. Para orangtua akan menyahut Wah, anaknya pintar, ya! saat tahu teman anaknya berasal dari jurusan eksakta seperti IPA. Saya belum pernah dengar sebaliknya. Jurusan IPS banyak dianggap sekedar tempat untuk siswa yang tidak mampu masuk IPA.
Lucunya hal ini merembet hingga urusan pekerjaan otak kanan. Kesenian misalnya. Masih sedikit orangtua mengapresiasi anak yang punya bakat kesenian, terutama sejak kecil.
“Dari dulu saya larang. Kalau sekarang anak saya jadi drummer band itu mah karena saya sudah capek bilangin. Biarin aja deh yang penting dia enggak macam-macam. Beda dengan adiknya yang tekun belajar sampai menang lomba matematika tingkat daerah,” cerita Ibu teman saya tentang putra sulung mereka, awal tahun lalu.
Si Ibu ini mungkin lupa, bahwa anak mereka pernah memenangkan berbagai penghargaan ajang musik, termasuk dua kali jadi drummer terbaik. Lupa juga kalau menjadi seorang drummer dibutuhkan ketekunan belajar.
Dalam penelitian seorang teman saya untuk tesisnya, anggapan ini masih berlaku hingga sekarang. Syukurlah, anggapan tersebut mulai berkurang terutama ketika anak sudah memasuki masa kuliah yang jurusannya sangat luas dan lebih spesifik.

Setiap orang terlahir unik, tidak ada yang sama persis. Sayangnya ada saja stereotipe yang malah meremehkan bakat anak. Coba saja lihat, perlombaan, olimpiade, kuis, yang pesertanya melibatkan pelajar, lebih banyak ditujukan untuk “anak-anak IPA” ketimbang “anak IPS”. Betul ada lomba lain seperti bahasa dan musik. Tapi rasanya acara seperti itu kalah prestisius dengan olimpiade sains. Orangtua banyak yang lebih bangga kalau anaknya juara olimpiade kimia daripada lomba cipta puisi.

Untungnya, seiring perubahan pola mendidik anak, seminar parenting yang menyerukan pentingnya mendukung bakat mereka, anak-anak dengan bakat kesenian mulai mendapat tempat prestisius. Semakin banyak kegiatan kesenian yang mengantarkan anak menjadi juara berbagai bidang kesenian.
Serunya lagi, kegiatan seperti ini didukung oleh pemerintah. Ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan menyelenggarakan Belajar Bersama Maestro (BBM). Kegiatan BBM melibatkan pelajar SLTA dari berbagai jurusan. Anies menawarkan konsep baru dalam belajar, menginap selama 10 hari bersama sang maestro.
Mereka adalah Purwacaraka (maestro komposer), Nasirun (maestro lukis), Tan De Seng (maestro kecapi gitar dan suling), Gilang Ramadan (maestro drummer), Aditya Gumay (maestro teater), Irawati Durban (maestro tari) I Nyoman Nuarta (maestro patung), Sam Udjo (maestro musik angklung), Supadminingtyas (maestro sinden), dan Didik Nini Towok (maestro tari).
Peserta melihat bagaimana sang maestro berkreatifitas sehari-hari. Mereka belajar memahami tidak hanya keahlian sang mestro, tetapi juga semangat berkarya dan konsistensi mereka.
Kegiatan kesenian yang diselenggarakan langsung oleh pemerintah, utamanya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dampaknya berbeda. Setidaknya seperti ini tanggapan ibu teman saya sewaktu ditanya kembali.
“Anaknya masih jadi drummer, Bu?” tanya saya.
“Iya, kata teman-temannya keren. Coba anak saya masih SMA, bisa ikutan acara mendikbud kemarin. Biar dia bisa belajar dari Gilang Ramadan,” jawabnya sumringah.
Beginilah kekuatan salah satu kegiatan yang ikut mengubah pemikiran diskriminatif. Kata si Ibu, soalnya yang ngadain kementerian, sih. Cara unik Belajar Bersama Maestro bisa dikembangkan dalam berbagai bidang dengan peserta yang lebih beragam. Bukan begitu, Pak Anies?

--

--