More Than Votes

Fidella Anandhita
Relawan Maju Bersama
3 min readFeb 9, 2017

“Lo pilih nggak penting tapi lo suka atau penting walaupun lo nggak suka?”

Di sebuah kesempatan, saya pernah mengajukan pertanyaan ini pada kurang lebih 500 orang dan menyeleksi jawaban mereka. Nggak ada jawaban benar-salah. Saya hanya ingin tahu alasan pilihan mereka, tanpa menduga bahwa saya dihadapkan oleh pertanyaan saya sendiri.

Terjun membantu kampanye dalam Pilkada DKI, saya memilih melakukan hal yang penting walaupun saya nggak suka. Iya, saya ngaku saya nggak suka politik.

Makanya, mengiyakan terlibat kampanye itu sebetulnya resiko yang agak gila. Saya hanya berpikir sederhana. Sebagai komuter, saya mau berangkat ke Jakarta dengan nyaman dan pulang dengan aman. Dan sebagai warga luar DKI, suara saya mungkin bisa diwakilkan oleh mereka yang punya hak pilih, tapi kontribusi saya nggak.

Well, win or lose, I can say proudly “at least I’ve done something”.

Perjalanan Pilkada Jakarta ini ibarat naik roller coater tanpa safety belt. Adrenalin plus plus. Harus selalu siap menghadapi hal-hal tak terduga.

Termasuk patah hati.

Mungkin buat orang-orang yang ‘T banget’ (T = thinking, salah satu dimensi kepribadian menurut tes MBTI), saya bisa dibilang super lebay.

Saya patah hati saat tau bahwa ternyata orang bisa 'putar balik bubar jalan' begitu saja.

Saya patah hati saat tau bahwa berseberangan pilihan tak bisa selesai lewat diskusi.

Saya patah hati saat orang yang saya pikir berpikiran terbuka, ternyata memilih untuk nggak mau tau.

Intinya, saya patah hati karena merasa tidak dipercaya.

Honestly, distrust issue really breaks my heart. Lebay kan? Emang -_-

Tapi satu hal yang saya pelajari: kadang, kita hanya perlu mencoba memahami dari berbagai sudut pandang. Berempati.

Patah hati saya tak ada apa-apanya dengan mereka yang anaknya putus sekolah karena KJP hanya bisa meng-cover kebutuhan sekolah. Padahal, mereka juga butuh ongkos transportasi, butuh uang jajan, dsb.

Patah hati saya tak ada apa-apanya dengan mereka yang tinggal di pinggir pantai yang jadi korban reklamasi. Yang makin sulit cari ikan.

Patah hati saya tak ada apa-apanya dengan mereka yang kena gusur. Yang puluhan tahun tinggal tapi dalam sekejap rumahnya rata dengan tanah. Mereka terpaksa tinggal di rusun, jauh dari mata pencaharian, harus bayar sewa pula!

“Mbak, Jakarta itu bagus aja dipandang. Di hati ngga” -seorang warga penghuni rusun.

Pilkada ini mengajarkan saya bukan hanya tentang bagaimana memperoleh suara, tapi juga tentang memandang ibukota dari sisi lain.

Kalau awalnya saya hanya berpikir sederhana bahwa saya ingin berangkat ke Jakarta dengan nyaman dan pulang dengan aman, pada perjalanannya, saya sadar ini bukan tentang saya.

Mendukung Anies-Sandi menang berarti mendukung pemimpin yang dititipkan amanahnya untuk membereskan ‘patah hati’ mereka yang digusur, sulitnya mendapat pekerjaan, kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan, dan segala bentuk ketidakadilan lainnya.

Menyadari ini, sekedar ‘patah hati’ karena bersebrangan pendapat dengan teman atau dinyinyirin rasanya jadi tak penting lagi.

For me, this election is very special. It’s more than votes.

Yes I might know nothing about this city and society, but I know one thing: I’m supporting candidates who can speak on behalf of them.

Good luck, Sir ☺

--

--