Membangun Budi Pekerti, Pentingkah untuk Generasi Penerus Bangsa?

Christin Viesta Nonitehe
Relawan Maju Bersama
4 min readOct 18, 2016
Foto oleh: Antara Foto

Karakter positif siswa harus diajarkan, dibiasakan, dan dikonsistenkan hingga menjadi budaya. Diambil dari buku Kilasan Kinerja Kemendikbud 2015 oleh Muhammad Husnil.

SESAAT setelah turun dari motor, remaja lelaki itu menyalami ayahnya. Begitu melewati gerbang sekolah, remaja itu lekas mencium tangan ibu dan bapak gurunya yang berbaris menunggu kedatangan murid-murid mereka. Remaja itu lalu bergabung dengan teman-temannya yang berada di beranda sekolah, dan mereka memasuki kelas.

Pukul 7.30 WIB bel masuk kelas berdering. Seorang murid maju, memimpin teman-temannya berdoa. “Mari kita panjatkan doa menurut agama dan kepercayaan masing- masing,” katanya. Selesai, tapi pelajaran belum juga dimulai. Anak- anak itu diminta membaca buku non pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Beberapa jam kemudian, jarum jam menunjukkan waktu pulang sekolah. Sebelum kelas berakhir pada hari itu, seorang siswa diminta maju lagi untuk memimpin berdoa.

Demikianlah keseharian di satu sekolah menengah pertama di bilangan Jakarta Selatan. Terlebih setelah Kemendikbud pada Juli 2015 mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). PBP ini mengatur ihwal pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai sejak orientasi siswa baru sampai dengan kelulusan, dari jenjang SD sampai SMA/SMK, dan sekolah pada jalur pendidikan khusus. “Karakter positif siswa harus diajarkan, dibiasakan, dan dikonsistenkan hingga menjadi budaya,” kata Mendikbud.

Mendikbud menjelaskan, hal pertama yang dilakukan untuk menumbuhkan budi pekerti pada siswa adalah diajarkan kemudian terbentuk karakter dan selanjutnya menjadi budaya, terutama budaya di sekolah. Intinya, kata Mendikbud, budi pekerti itu perlu ditumbuhkan sebagai kebiasaan bukan hanya pengetahuan. Jika budi pekerti itu tumbuh sebagai kebiasaan, ia akan menjadi karakter dan selanjutnya menjadi budaya.

Dari segi istilah, Kemendikbud memilih menumbuhkan, bukan menanamkan. “Penumbuhan berarti memandang siswa, guru, dan anggota masyarakat sekolah sudah memiliki bibit karakter baik. Tugas kita semua ialah menciptakan iklim sekolah yang lebih baik agar semua perangkat sekolah turut berbudi pekerti, bukan dari luar ditancapkan dan ditanamkan,” kata Mendikbud.

Selama ini Kemendikbud sudah menanamkan budi pekerti pada jalur kurikuler dan ekstrakurikuler. Namun, PBP ini akan difokuskan pada kegiatan-kegiatan nonkurikuler di seluruh jenjang pendidikan dan disesuaikan dengan tahapan usia per- kembangan siswa. Di SD, misalnya, pelaksanaannya lebih fokus kepada perilaku positif guru dan kepala sekolah sebagai sosok yang diteladani siswa. Di tingkat SMP dan SMA, pelaksanaannya dilakukan dengan metode yang lebih pada kemandirian siswa. Karena memang nonkurikuler, lingkup kegiatan PBP ini lebih bersifat persuasif dan partisipatif, sehing- ga tercipta iklim yang menyenangkan bagi seluruh warga sekolah.

Lingkup kegiatan penumbuhan budi pekerti dibagi menjadi tujuh. Pertama, menumbuhkembangkan nilai moral dan spiritual. Pada lingkup ini, para siswa dilatih menghayati hubungan spiritual dengan sang pencipta dan diwujudkan dengan sikap moral keseharian untuk meng- hormati sesama makhluk hidup dan alam sekitar. Kedua, menumbuhkembangkan nilai kebangsaan dan kebinekaan. Melalui nilai kedua ini para siswa dilatih untuk teguh menjaga semangat kebangsaan dan kebinekaan bangsa melalui berbagai kegiatan. Ketiga, mengembangkan interaksi positif antarpeserta didik dengan melatih mereka peduli terhadap kondisi sik dan psikologis kawan, adik, dan kakak kelas. Membangun sikap simpati dan empati terhadap semua. Keempat, mengembangkan interaksi positif dengan guru dan orang tua, antara lain dengan melatih mereka menghormati guru, kepala sekolah, warga masyarakat sekolah, dan orang tua. Kelima, menumbuhkan potensi diri siswa secara unik. Keenam, pemeliharaan lingkungan sekolah, antara lain, dengan melatih kebersihan seperti diterapkan para guru di sekolah tersebut. Ketujuh, pelibatan orang tua dan masyarakat, seperti mengajak serta mereka dalam kegiatan-kegiatan khusus sekolah.

Karena pendidikan adalah gerakan semesta, PBP ini juga melibatkan orang tua. Maka, Permendikbud №23 Tahun 2015 itu mengatur penguatan peran orang tua dalam menumbuhkan budi pekerti pada anak melalui pendidikan dalam keluarga dan di rumah. Tak hanya itu, Kemendikbud melembagakan peran orang tua dalam pendidikan ini dengan pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Dengan unit kerja baru ini pemerintah mengajak orang tua untuk lebih berperan dalam memberikan pendidikan informal, terutama dalam menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti. Pemerintah, misalnya, dapat memberikan pelatihan teknik dasar komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak. “Ini sebuah gerakan besar yang nyata untuk memperbaiki kualitas pendidikan, dengan memperkuat peran orang tua,” kata Dewi Hughes, Duta Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal.

Salah satu cara menumbuh- kembangkan hal tersebut adalah dengan mewajibkan setiap siswa membaca buku selain buku-buku mata pelajaran kurang lebih selama 15 menit setiap harinya sebelum jam belajar dimulai. Hal ini perlu dilakukan mengingat saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan minat baca paling rendah di dunia.

Mendikbud menyampaikan, dengan pembiasaan membaca buku pada anak-anak diharapkan

dapat mengubah predikat Indonesia sebagai negara yang minat bacanya termasuk paling rendah di dunia. Budaya membaca, kata dia, dimulai dengan membaca singkat tapi rutin dilakukan terus-menerus sehingga menjadi pembiasaan dan akhirnya menjadi budaya.

“Kita ingin anak-anak kita memba- ca maka bangun kebiasaan memba- ca. Insya Allah kita nanti memiliki budaya membaca,” kata Mendikbud.

Mendikbud mengungkapkan, po- tensi dan minat setiap anak berbeda- beda, termasuk dalam hal membaca buku. Maka, Kemendikbud memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menentukan tema buku yang layak dibaca dan disukai oleh siswa. Sebagai bahan referensi, Kemendikbud melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah menerbitkan dan akan mendistribusikan buku-buku yang dapat dijadikan bahan siswa dalam kegiatan membaca tersebut ke beberapa sekolah di tanah air. Terdapat banyak metode atau model kegiatan membaca bagi siswa sebagai variasi agar tidak membosankan, seperti membaca dengan suara nyaring secara ber- gantian, membaca di perpustakaan, membaca di luar ruangan — misalnya di pekarangan sekolah — dan sebagainya. “Biarkan anak-anak kita itu menikmati membaca sebagai sebuah kebiasaan,” katanya.

Mendikbud mengimbau sekolah yang telah memiliki perpustakaan untuk mendukung kegiatan membaca di sekolah tersebut. Anak-anak, kata dia, sebaiknya membaca buku-buku sastra sesuai dengan usia mereka sehingga kemampuan anak- anak untuk berimajinasi tumbuh. Dia mengatakan, siswa-siswa yang sudah menempuh pendidikan hingga jenjang SMA saat ini belum tentu pernah membaca sebuah karya sastra. “Kita justru ingin membangun semangat literasi itu,” katanya.

--

--