Ujian Nasional Tidak Lagi Menjadi Standard Penentu Kelulusan Siswa, Banyak yang Kecewa?

Christin Viesta Nonitehe
Relawan Maju Bersama
6 min readOct 18, 2016

UN tidak lagi diberlakukan menjadi standard kelulusan tahun 2015, pihak-pihak yang sering melakukan kecurangan dalam UN jadi kebakaran jenggot. Diambil dari buku Kilasan Kinerja Kemendikbud 2015 oleh Muhammad Husnil.

MENGKAJI ulang Ujian Nasional (UN) menjadi agenda penting Kemendikbud periode 2014–2019. UN terbukti tak efektif menjadi alat penentu kelulusan. Alih-alih menikmati masa belajar di sekolah, siswa malah terbebani dengan adanya UN. Proses belajar mengajar di kelas menjadi terlalu berfokus pada persiapan lulus UN. Guru pun memusatkan perhatiannya dengan hanya mengajarkan materi-materi yang akan diujikan.

Sebenarnya, 11 tahun sudah masyarakat sipil berupaya mengubah UN, bahkan sampai ke tangan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, ikhtiar mereka tetap mentok.

Menyadari keinginan khalayak dan tak hendak membebani guru dan anak-anak Indonesia lebih jauh, Kemendikbud kini memutuskan untuk mereformasi UN. Reformasi yang paling mendasar adalah kelulusan diserahkan sepenuhnya pada sekolah dan guru dalam rapat dewan guru. UN tak lagi dipakai sebagai penentu kelulusan seorang siswa. Perubahan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 13/2015 yang mengatur bahwa UN bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu dan hasilnya digunakan untuk:

a. pemetaan mutu program dan/ atau satuan pendidikan;

b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; dan

c. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Keputusan tersebut disambut dengan sangat positif oleh siswa, guru, orang tua, dan masyarakat luas. Melalui reformasi tersebut, tidak saja negara menghargai keragaman yang ada di sekolah, tapi juga memberi kepercayaan dan tanggung jawab yang luas kepada guru dan sekolah dalam meluluskan siswa, dalam menentukan dan memastikan ketercapaian SKL siswa. Hasil UN menjadi bagian dari berbagai penilaian lainnya untuk mengukur dan memantau ketercapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP).

MENUJU UN BERBASIS KOMPUTER

Langkah awal pemerintahmelakukan efisiensi UN

SELAIN mereformasi UN, terobosan penting Kemendikbud pada periode 2014–2019 lainnya adalah mengubah sistem penilaian nasional dari ujian nasional berbasis kertas dan pensil (UNBKP) menuju ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Perubahan UN dari UNBKP menjadi UNBK dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan optimalisasi ujian nasional, serta penilaian pendidikan lainnya.

Dengan jumlah peserta lebih dari 7 juta siswa dan diselenggarakan di lebih dari 80.000 satuan pendidikan (SMP/MTs, SMA/MA, SMK, serta Kelompok Belajar Paket B dan C),

UN merupakan pekerjaan besar dan massif. Logistik yang dikelola sangat besar, 35 juta eksemplar naskah ujian yang merupakan dokumen negara yang bersifat rahasia (setara dengan lebih dari 400 kontainer paket soal) harus dikirimkan ke seluruh satuan pendidikan dengan berbagai moda transportasi, pesawat udara, kapal, truk, hingga harus naik kuda dan perahu untuk mencapai sekolah-sekolah di daerah pedalaman secara tepat jumlah, tepat mutu, tepat sasaran, dan tepat waktu.

Pencetakan bahan UN juga merupakan pekerjaan besar yang penga- daannya dilakukan melalui proses pelelangan umum sesuai Perpres 70 Tahun 2012 dengan pengawasan selama pencetakan yang harus dilakukan 24 jam sehari selama sebulan penuh. Mobilisasi SDM luar biasa besar karena melibatkan lebih dari 700.000 panitia dan pengawas dari berbagai kalangan, pemerintah, pemerintah daerah, sekolah, perguruan tinggi, dan kepolisian. Dari segi substansi, penyelenggaraan ujian berbasis kertas dengan skala besar tidak memungkinkan bentuk soal selain pilihan ganda (multiple choices). Sementara, kebutuhan penilaian pendidikan mengharuskan pengukuran daya kritis dan kreatif siswa. Pengukuran kompetensi kognitif tingkat tinggi seperti analisis, sintesis, dan evaluasi sulit dilakukan dengan bentuk soal pilihan ganda.

Perubahan dari UNBKP menuju UNBK akan memberi banyak per- ubahan penting untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan efektivitas penilaian pendidikan secara nasional. Manfaat reformasi ini dirasakan oleh siswa, orang tua, guru, sekolah, masyarakat, serta pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) dan pemerintah pusat. Reformasi ini berdampak jangka panjang karena menyentuh aspek mendasar pengembangan kompetensi lulusan. Literasi lulusan akan teknologi informasi merupakan kebutuhan kompetensi dasar pada abad ke-21.

Pelaksanaan perintisan UNBK pada 2015 berjalan sangat baik. Keberhasilan Indonesia menyeleng- garakan UNBK diapresiasi tidak saja di dalam negeri, tapi juga oleh negara-negara lain dan lembaga-lembaga dunia (ACER, Australian Center for Education Research, Pearson, Google, dan sebagainya). Selain Indonesia, belum satu pun negara ASEAN yang menerapkan UNBK dalam ujian nasionalnya. Dari hasil angket siswa, 99% siswa setuju dan merekomendasikan UNBK digunakan pada tahun-tahun mendatang. Berdasarkan temuan ini, pemerintah merencanakan perluasan layanan UNBK pada tahun-tahun mendatang. (Peta Jalan Perkembangan UNBK Ke depan). Selain itu, UNBK ini mengurangi kebocoran soal UN.

Meski diawasi secara ketat, UNBKP tahun ini masih saja bocor. Pada 13 April 2015 tersebar tautan menuju Google Drive yang berisi soal-soal UNBKP. Begitu mengetahui hal ini, Kemendikbud segera mengirim surat kepada kantor pusat Google di California, Amerika Serikat, untuk menutup akses. Dua jam kemudian tautan tersebut sudah ditutup tak bisa diakses siapa pun. Hari itu juga tim Kemendikbu melakukan penyelidikan dan melaporakan tindakan pengunggahan dokumen rahasia negara tersebut ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Setiap tahun, kebocoran soal UN selalu menjadi masalah. Namun, menurut catatan Kemendikbud, dari total 11.730 paket soal, yang bocor hanya 30 paket. Dalam soal ini Kemendik- bud takkan tinggal diam. “Gangguan terhadap UN mencederai jutaan anak Indonesia yang belajar dengan keras, serta guru yang bekerja dengan keras, yang ingin jalankan UN dengan jujur. Kami tidak tinggal diam, meski skalanya kecil,” kata Mendikbud. Hingga laporan ini ditulis, kasus ini masih ditangani Bareskrim RI.

Untuk mengurangi kebocoran UN pada tingkat sistem, Kemendikbud mendorong penggunaan UNBK secara luas. ***

INDEKS INTEGRITAS UJIAN NASIONAL

Menumbuhkan sikap integritas dari kelas

UN selama ini sangat rentan terhadap kecurangan. Dan, kecurangan itu berdampak sangat buruk bagi siswa dan masa depannya. Siswa yang curang diuntungkan sementara, tetapi dirugikan dalam jangka panjang; dia, sebenarnya, belum kompeten tetapi dianggap kompeten, sehingga dia sendiri yang akan merugi. Dengan kecurangan itu pula nilai sekolah yang tak bagus menjadi lebih tinggi daripada sekolah yang bagus. Nilai daerah yang sebetulnya masih sangat membutuhkan pembinaan dan peningkatan mutu justru terlihat lebih tinggi dibanding daerah yang telah baik mutunya.

Kondisi ini tak bisa dibiarkan, harus dihentikan. Karena itulah Kemendikbud melahirkan Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). Ini terobosan terpenting Kemendikbud 2014–2019. Juga, sejarah baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Untuk pertama kalinya negara mengakui kecurangan yang terjadi dalam UN, hal yang selama ini ditutup-tutupi. Dengan adanya IIUN, masyarakat tak usah lagi mengadu soal kecurangan dalam UN; negara sendiri yang meng- akui dan melaporkannya melalui IIUN. Kemendikbud bertekad untuk membuka setiap kecurangan yang terjadi dalam UN. Tak sekadar mengakuinya, negara juga mengukurnya.

Karena itu mulai tahun ini laporan UN selain berisi angka juga memuat laporan kualitatif tambahan berupa deskripsi atas angka yang diperoleh siswa dan dekomposisi atas skor yang diperoleh siswa tersebut.

Selain mengukur siswa, IIUN juga berfungsi untuk mengukur integritas sekolah. “Jika, misalnya, suatu sekolah mendapat indeks integritas 85 maka dapat disimpulkan bahwa di sekolah tersebut memiliki indikasi sebesar 15% telah terjadi kecurangan,” kata Mendikbud. Jadi, semakin besar nilai indeksnya, tingkat kejujuran di sekolah tersebut makin tinggi (lihat Matrix IIUN & Capaian UN).

Kemendikbud telah mengumum- kan hasil IIUN 2015. Toh, Mendikbud mengakui secara nasional unsur inte- gritas dalam pelaksanaan UN masih rendah. Baru ada tujuh provinsi yang berhasil meraih indeks integritas tertinggi untuk SMA atau sederajat. Peringkat pertama diperoleh DI Yog- yakarta, selanjutnya berturut-turut Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Bengkulu, Kepulauan Riau, Goronta- lo, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemendikbud lebih mudah melak- sanakan program intervensi bagi da- erah yang memiliki nilai UN rendah dengan modal integritas tinggi.

Intervensi yang dilakukan dapat berupa pembinaan prestasi akademik. Untuk tingkat SMP dan sederajat, data hasil UN dan IIUN 2015 menunjukkan memang masih banyak yang harus dibenahi. Dari total total 52.163 SMP/Sederajat yang melaksa- nakan UN, hanya 12% yang memiliki nilai UN dan IIUN tinggi. Sebanyak 50% dari total tersebut meraih nilai UN tinggi, tetapi IIUN rendah. Sebanyak 17% meraih nilai UN rendah tetapi IIUN tinggi. Sementara, 22% sisanya meraih nilai UN rendah dan IIUN rendah.

“Bagaimanapun yang namanya ujian, kalau integritasnya itu tidak terjaga, makna ujinya itu lalu hilang karena ujian itu harus mencerminkan adanya integritas,” kata Mendikbud. Ke depan, baik nilai UN maupun IIUN akan menjadi penentu kualitas pendidikan selanjutnya. IIUN ini dapat diketahui siswa, orang tua, guru dan kepala sekolah, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Maka, masyarakat dapat memilih kualitas sekolah yang lebih baik bagi anaknya. Angka UN tidak semata-mata menjadi patokan dalam memilih sekolah, tetapi juga indeks integritasnya. Soalnya, “Otomatis nilai UN yang tinggi menjadi tidak bermakna jika sekolah tersebut memiliki nilai integritas yang rendah,” kata Mendikbud. Sebaliknya, indeks integritas tinggi justru akan menaikkan nilai atau bobot angka UN yang diraih. “Kita ingin agar perilaku jujur dan integritas menjadi norma baru,” katanya.

--

--