Pilih Mana: Pikiran Teguh atau Terbuka?

Aldo Aditiya
Relevate
Published in
11 min readApr 15, 2018
Perdebatan antara para juror di film 12 Angry Men. Source: https://bit.ly/2IEuJ0u

He who fights with monsters should be careful lest he thereby become a monster. And if thou gaze long into an abyss, the abyss will also gaze into thee — Friedrich Nietzsche

Kalau kita buka media sosial terdekat lalu kita scroll ke bawah, rasanya ada saja topik yang sedang panas — panasnya diperdebatkan. Biasanya topik perdebatan ini akan membagi orang — orang menjadi berbagai kubu. Kemudian, antar kubu akan beradu argumen untuk membuktikan kalau kubu-nya lah yang paling benar.

Sudah normal rasanya. Toh memang manusia itu kan teguh dengan pikirannya sendiri.

Tapi kalau apa yang saya lihat di kolom komen media sosial itu benar, kelihatannya orang Indonesia (setidaknya yang aktif) tidak kekurangan sifat teguh ini. Malah mungkin bisa dibilang kelebihan.

Saking lebihnya, kadang dua orang dari kubu berbeda bukannya beradu argumen, tapi malah beradu saling menyerang posisi satu sama lain. Orang — orang yang berbeda pikiran disebut “kurang akal sehat” atau “kurang ngopi” atau “masih perlu belajar”.

Masih banyak lagi panggilan — panggilan yang lebih “kreatif”, tapi kalian tahu sendiri lah ya.

Makin di-scroll ke bawah, bukan makin selesai masalahnya, tapi malah makin “kreatif”. Baru akan selesai sampai satu orang mendeklarasi “kemenangan” diri terhadap lawannya yang pergi, yang sudah malas membalas.

Kemenangan apa? Dia tidak merubah pikiran lawannya, dan keduanya pasti kembali lagi ke tempat mereka awal mulai. Cuma sekarang masing — masing punya tambahan satu musuh.

Kelihatannya tidak efektif, saya pikir. Bagaimana kalau kita coba buka pikiran kita?

Dengan pikiran yang terbuka, kita akan lebih cenderung untuk mencoba mengerti argumen lawan bicara. Setelah lebih mengerti lawan, setidaknya kita akan berpikir dua kali sebelum menyerang.

Tapi ini pun tak sepenuhnya baik. Kalau terlalu terbuka, bisa jadi kita malah terlalu mudah dipengaruhi pikirannya.

Kalau terlalu teguh tidak baik, dan terlalu terbuka tidak baik, batasannya ada di antara keduanya kan?

Seringkali batasan ini tidak jelas.

Dalam tulisan ini saya akan coba cari batasannya.

Pada saat saya memulai menulis ini, saya belum tahu jawabannya. Saya harap dengan selesainya tulisan ini, saya akan menemukan kesimpulan yang memuaskan.

Karena sifat yang lebih dominan pada manusia adalah keteguhan, saya akan mulai dengan menunjukkan argumen yang melawan keteguhan, baru berikutnya akan saya tunjukkan argumen yang melawan keterbukaan.

Kita akan mulai dari orang — orangan sawah, atau strawman.

Orang — Orangan Sawah Sering Diserang Gagak

Strawman. Source: https://bit.ly/2JqJ0Po

Pernah dengar istilah strawman?

Saya yakin kebanyakan orang yang membaca sudah tahu. Karena itu saya berikan penjelasan yang singkat saja

Strawman adalah ketika teman kita berkata “Aku suka Kucing” tapi kemudian kita, sebagai penyuka anjing, marah kepadanya dan berkata “Kenapa kamu benci Anjing?”

Strawman adalah ketika lawan bicara kita berkata “Rumah — rumah yang di pinggir kali digusur-gusurin aja deh mendingan!” tapi kemudian kita berkata “Lo gak peduli sama orang — orang yang tinggal disana apa?”

Intinya, kita mengkategorikan lawan kita kepada suatu grup, yang punya karakteristik serupa dengan argumen lawan kita. Padahal lawan kita belum tentu bagian dari grup itu. Sebagian pembenci anjing kan penyuka kucing juga. Kebanyakan orang yang tidak peduli dengan para penghuni rumah pinggir kali, juga mau rumah — rumah itu digusur.

“Kelihatan sekali kesalahan ini” mungkin kamu pikir. Tapi tetap saja orang — orang tidak terbebas dari penggunaannya di sana sini. Kenapa bisa? Padahal rasanya kesalahan seperti ini mudah dilewati, kalau kita memperhatikan argumen lawan dengan benar?

Ini karena otak kita cenderung untuk memberikan kesimpulan dari informasi yang terbatas.

Hanya dari perkataan singkat lawan bicara, kita bisa mengkorelasikan lawan kita dengan informasi lain yang kita tahu. Tendensi ini seringkali berguna untuk simplifikasi keadaan. Tapi dalam kasus strawman, dia malah menyebabkan kesalahan.

Daniel Kahneman menyebut tendensi ini dengan nama “WYSIATI”, What You See Is All There Is. Tendensi ini cukup kuat karena otak manusia cenderung untuk mempercayai apa yang mudah muncul dalam pikirannya. [4]

Mengkategorikan lawan bicara kita ke dalam suatu grup dengan informasi yang kita miliki adalah hal yang mudah bagi otak, sehingga otak salah menafsirkan kemudahan ini sebagai tanda kalau informasi ini patut dipercayai.

Seperti yang akan dijelaskan di bawah, efek psikologis ini bisa muncul karena sifat alamiah interaksi manusia dengan grup.

Kepala Suku, Anggota, dan Suku Musuh

Suku Korowai dari Papua. Source: https://bit.ly/2IDbNz3

Kita semua tahu kalau manusia itu makhluk sosial.

Manusia cenderung untuk mencari orang — orang yang sama sepertinya, dan kemudian membentuk grup untuk bertahan hidup bersama-sama. Semenjak kita masih berburu, pembentukan grup sudah krusial terhadap keselamatan pribadi. Sampai sekarang-pun kita masih membentuk suku — suku dalam bentuk partai, agama, Negara, ras, dst.

Sifat ini bisa dilihat sejak masih bayi. Para psikolog kognitif menemukan bahwa bayi akan paling sensitif terhadap suara — suara pertama yang dia dengar, kepada muka ibunya, dan kepada bahasa ibunya. Ketika tumbuh, mereka cenderung lebih suka orang — orang dengan karakteristik sama seperti yang pernah dia amati ketika masih bayi. [9]

Dengan menjadi bagian dari grup kita merasa lebih aman, dan merasa memiliki peran dalam sebuah kepentingan bersama. Grup membantu untuk meminimalisir efek dari ke-tidak aturan lingkungan di sekitar kita. Bila ada hal buruk terjadi, kita bisa melarikan diri pada kenyamanan dan keamanan grup.

Tapi tidak hanya efek positif yang ditimbulkan oleh adanya grup. Grup juga cenderung mengeluarkan sifat tribalisme manusia, yaitu kecenderungan manusia untuk menganggap grupnya lebih penting daripada grup lain. Sifat ini menjadi salah satu faktor paling dominan untuk sebagian besar perseteruan yang terjadi di sepanjang sejarah.

Karena tribalisme ini, otak kita cenderung untuk membentuk pikiran kita sedemikian rupa, agar kepercayaan yang kita miliki sejalan dengan grup dimana kita berada. [5]

Karena tribalisme juga, otak akan cenderung membuat kita melihat siapapun yang pendapatnya berbeda sebagai “musuh”. Inilah alasan dari strawman.

Manusia cenderung untuk membagi dunianya menjadi 2 bagian, grupku, atau bukan grupku. Kalau kamu bukan grupku, berarti kamu musuhku.

Tapi konflik tidak hanya terjadi antar-suku. Seringkali konflik juga terjadi dalam tatanan hirarki sebuah suku.

Salah satu sifat fundamental di alam adalah adanya hirarki.

Contoh paling sederhana adalah hirarki hewan jantan dalam suatu koloni. Makin alpha suatu jantan, makin banyak betina yang mau kawin dengannya, sehingga gen kuat-nya makin banyak bertahan di generasi berikutnya. Ini masuk akal secara evolusi, dimana yang terkuat-lah yang akan bertahan paling lama.

Manusia juga begitu (walaupun tidak se simpel jantan kawin dengan betina). Sejak dulu, selalu ada orang yang berada di tatanan atas, dan selalu ada orang yang berada di tatanan bawah.

World Wealth Distribution 2017 [2]

Hanya dengan melihat distribusi kekayaan di dunia, kita bisa menyimpulkan kalau hirarki masih ada di zaman ini (setidaknya dengan mempertimbangkan uang sebagai variabel pengukur hirarki). Sebanyak 45% dari kekayaan di dunia hanya dimiliki oleh 0.7% orang. Sedangkan 70% orang hanya memiliki 2.7% kekayaan dunia. [2]

Kita sebagai manusia tidak suka berada di tatanan bawah. Menurut Robert M. Sapolsky, orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan keuangannya akan cenderung lebih mudah sakit. Tidak peduli jenis kelamin, umur, ras, ada atau tidaknya program jaminan kesehatan, dan toleran atau tidak budayanya. [3]

Secara fundamental, manusia telah berevolusi untuk terus berusaha berada di atas tangga hirarki. Berusaha untuk menjadi lebih dominan. Ketika kita gagal berada di atas, tubuh kita menolak, dan menjadi lebih lemah

Kecenderungan untuk ingin dominan ini terutama bisa dilihat ketika terjadi perseteruan antara dua orang. Mereka akan mencoba memenangkan perseteruan ini, mencoba untuk menjadi lebih dominan daripada lawannya.

Kita setidaknya bisa mengerti keinginan untuk dominan ini. Lagipula kita juga manusia.

Tapi kalau tidak dibatasi, yang ada kita hanya akan bertengkar terus.

Bagaimana Kalau Kita Lebih Terbuka?

Source: https://bit.ly/2H4UsSg

Sejauh ini kita sudah melihat kalau manusia akan lebih condong untuk mempertahankan kepercayaannya. Karena manusia adalah makhluk tribal, kita akan cenderung untuk melihat orang yang berbeda pandangan dengan kita sebagai “musuh”. Sedangkan karena adanya hirarki, manusia akan cenderung untuk mau menjadi lebih dominan dari yang lain.

Kecenderungan kita untuk melihat orang lain sebagai “musuh” kita sebut sebagai strawman. Karena keinginan kita untuk menjadi lebih dominan itu tinggi, strawman menjadi lebih rentan muncul.

Apabila tidak dibatasi, kecenderungan ini hanya akan mengontrol kita, sehingga menyebabkan pertengkaran tanpa kesimpulan.

Sekarang, bagaimana cara kita mengurangi efek kecenderungan ini?

Kita bisa mulai dengan menjadi lebih terbuka terhadap argumen lawan kita.

Dengan mencoba mengerti lawan bicara, kita akan melihat alasan dia untuk mempercayai apa yang dia percayai. Ketika kita bisa melakukan itu, lebih sulit rasanya untuk mengkategorikan dia kepada sebuah strawman. Karena sekarang kita bisa melihat kalau diapun sama seperti kita, juga punya alasan untuk percaya apa yang dia percayai. Hanya saja pendapatnya berbeda dengan kita.

Walaupun begitu, terlalu banyak keterbukaan pun tidak baik. Untuk melihat kenapa, coba kita lihat sebuah contoh apabila kita terlalu terbuka.

Misal di tempat kerjamu diberlakukan aturan baru. Aturan ini menurutmu tidak efektif, dan membuat kamu merasa lebih sebal untuk kerja sehari — hari. Tapi kamu mengatakan pada dirimu kalau ini “cuma hal sepele, tidak perlu dibawa protes”. Kamu mengerti kenapa aturan ini dibuat, tapi tetap saja kamu tidak merasa kalau aturan ini efektif. Kamu mengerti orang yang membuat aturan ini bermaksud baik, jadi kamu biarkan saja. Tidak apa-apa, kamu pikir, masalah sepele, lebih baik diam daripada menimbulkan konflik.

Tapi lama kelamaan, sedikit demi sedikit, aturan — aturan yang kamu anggap “menyebalkan tapi sepele” ini makin bertambah. Ketidak nyamananmu dalam kerja mencapai suatu titik dimana kamu tidak bisa menahannya lagi, dan untuk merubah keadaannya sudah terlambat

Kalau kita terlalu terbuka dan terlalu tolerir terhadap faktor eksternal, lama kelamaan diri kita akan berubah menjadi orang yang standarnya rendah, dan menjadi “yes-man” yang tidak masalah apabila diganggu.

Sampai kamu melihat kalau masalahnya sudah mengakar kemana — mana, dan untuk memperbaikinya butuh usaha yang memakan waktu.

Seperti yang dibilang Nietzsche, “If thou gaze long into an abyss, the abyss will also gaze into thee”.

Semakin lama kita melihat ke dalam pikiran orang lain, semakin banyak bagian dari pikiran kita yang berubah menjadi pikirannya.

Karena itu, keterbukaan terhadap orang lain perlu dibatasi dengan keteguhan kita akan prinsip, agar kita tidak terlalu mudah dipengaruhi oleh faktor luar.

Tapi, dimana batasannya?

Implikasi dan Kesimpulan

Perbincangan. Source: https://bit.ly/2H2t1sn

Sekarang, coba kita masuk pada kasus yang kontroversial.

Misal kamu adalah seorang yang beragama kuat. Kamu tidak pernah bisa membayangkan dirimu “jatuh” menjadi seorang ateis. Menurutmu orang seperti itu tidak bermoral dan tidak bisa terselamatkan. Kamu memiliki kepercayaan yang teguh akan hal ini.

Sampai suatu hari, kamu bertemu dengan seorang yang ateis, yang pikirannya pun sama teguhnya dengan kamu, hanya saja kalian berdua kepercayaan.

Sekarang, ada 3 jalur yang bisa kalian berdua tempuh.

Jalur pertama, jalur keteguhan yang berlebih. Disini kalian terpancing untuk menggunakan strawman, untuk melihat lawan bicara sebagai buruk, dan saling berusaha untuk menunjukkan kalau kepercayaan kalian-lah yang paling benar. Alhasil, kalian berpisah dengan masing — masing orang semakin yakin kalau kepercayaanmu-lah yang benar. Lawan bicara kalian, yang percaya sebaliknya, jelas — jelas salah.

Jalur kedua, jalur keterbukaan yang berlebih. Kalian berdua memiliki mindset kalau orang lain punya alasan untuk percaya. Karena itu, kalian tidak melihat lawan bicara sebagai musuh, tapi sebagai sesama manusia yang memiliki pengetahuan yang berbeda denganmu. Alhasil, kalian berpisah dengan pikiran yang berubah, dengan keadaan semakin mengerti posisi lawanmu. Hasil yang baik, tapi ingat disini kita bicara tentang kepercayaan, rasanya tidak baik kalau kita terlalu mudah berubah pikiran.

Jalur ketiga, merupakan jalan yang seimbang antara keduanya. Kalian berdua masuk pada percakapan dengan asumsi kalau orang lain punya alasan masing — masing, tapi masih dengan keyakinan kalau kepercayaan kalian — lah yang benar. Kalian menjaga agar kepercayaan kalian ini tidak membuat kalian menggunakan strawman, dan benar — benar mencoba mempertimbangkan apa yang lawan bicara kalian sampaikan.

Di saat kalian melakukan ini, kalian berkolaborasi di dalam percakapan yang berarti.

Percakapan di mana kedua orang, dengan kepercayaan yang kuat, masih memiliki ruang untuk mempertimbangkan kalau apa yang mereka percaya bisa saja salah, dan benar — benar mencoba untuk melihat dari sudut pandang lawan.

Tentunya dengan metode percakapan seperti ini, masih ada resiko kalau pikiran kita berubah. Kalau kepercayaan agama menjadi taruhannya, kebanyakan orang akan takut untuk memilih jalur ini. Tidak terkecuali saya sendiri.

Tapi saya yakin, diseimbangi dengan kepercayaan yang kuat, resiko ini bisa kita minimalisir.

If you are willing to enter his private world and see the way life appears to him, without any attempt to make evaluative judgments, you run the risk of being changed yourself — Carl R. Rogers

Kenapa sih susah — susah untuk mencoba mengerti lawan, kalau kita bisa aman-aman saja dengan kepercayaan kita sekarang?

Karena seseorang belum bisa benar — benar yakin dengan kepercayaannya, sampai dia sudah mengerti dengan jelas semua argumen yang bisa membantahnya. Kalau memang apa yang kamu percaya bisa diubah oleh argumen lawan, berarti kamu belum menemukan alasan yang kuat untuk percaya kepada apa yang kamu percayai.

Dengan mempertemukan kita dengan argumen yang berlawanan, percakapan yang berarti bisa membantu untuk memperkuat keyakinan kita sekarang. Atau merubahnya.

Resiko untuk perubahan tentunya akan selalu ada. Tapi begitulah prosesnya. Sebagian dari kepercayaan kita akan mati, dan digantikan dengan kepercayaan lain yang lebih kita yakini.

Walaupun saya menyinggung perdebatan antara Agama vs Ateisme, konklusi darinya tidak akan saya bahas disini.*

Yang lebih mau saya tekankan adalah:

Apakah perbedaan kepercayaan akan menghalangimu dalam melakukan percakapan yang berarti?

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Sitasi dan Catatan Kaki

[1] Douglas Walton, “The Strawman Fallacy”. Logic and Argumentation ed. Johan van Bentham. Amsterdam, Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, 1996.

[2] https://www.credit-suisse.com/corporate/en/research/research-institute/global-wealth-report.html

[3] Robert M. Sapolsky, “Social Status and Health in Humans and Other Animals”. Annual Review of Anthropology, 2004

[4] Daniel Kahneman. “Thinking, Fast and Slow”. Farrar, Strauss, and Giroux (2011)

[5] http://bigthink.com/risk-reason-and-reality/how-tribalism-overrules-reason-and-makes-risky-times-more-dangerous

[6] Jordan B. Peterson, “12 Rules For Life, Chapter 8”. Penguin Publications, 2018.

[7] Carl Rogers, “Communication: Its Blocking and Its Facilitation”.2008.

[8] http://www.informationphilosopher.com/solutions/philosophers/popper/natural_selection_and_the_emergence_of_mind.html

[9] http://www.newsweek.com/biologist-eo-wilson-why-humans-ants-need-tribe-64005

[10] https://en.wikipedia.org/wiki/Carl_Panzram

*walaupun, untuk klarifikasi saja, saya sendiri lebih condong kepada agama.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Hei! Terima kasih sudah memberi waktunya untuk baca artikel ini!

Batasan antara keterbukaan pikiran dengan keteguhan prinsip ini sudah saya cari — cari jawabannya dari lama. Sebelum memulai menulis ini, saya sendiri tidak tahu jawabannya bagaimana. Karena itu, khusus untuk artikel ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk saya selesaikan.

Sebagian besar dari artikel ini diinspirasi oleh Bab 8, 9, dan 10 dari buku 12 Rules for Life oleh Jordan B. Peterson. Dalam tiga bab, Peterson berhasil menjelaskan dan memberi kesimpulan untuk interaksi antara manusia, dengan menyeimbangkan antara keterbukaan dengan keteguhan pikiran. Bukunya sendiri bukan hanya tentang itu, tapi saya merasa tiga bab itulah yang paling banyak menjawab pertanyaan dan kebingungan saya.

Sangat disarankan membacanya, sebagai introduksi dari isi pikiran Jordan Peterson.

Ada Pertanyaan, Saran, atau Kritik? Cek Twitter: https://twitter.com/aditiya_aldo

Tertarik baca lebih? Kunjungi Medium: https://medium.com/@aldoan

Sekali lagi, terima kasih sudah membaca!

--

--