Jumlah Tenaga Medis Tercukupi, Lantas Mengapa Distribusi Masih Belum Merata??

silvia okta
Buletin Risalah Kebijakan Kesehatan
18 min readDec 21, 2020
Photo by Vickry Alvian on Unsplash

Penyusun
Anisah Nur Kholipah
Silvia Okta Anggraini
Aprilia Dwi Purwanti

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga

Korespondensi
Silvia Okta Anggraini
silvia.okta.anggraini-2017@fkm.unair.ac.id

RINGKASAN EKSEKUTIF

Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI Tahun 2020–2024, Indonesia masih menghadapi permasalahan distribusi tenaga kesehatan yaitu pemenuhan SDM Kesehatan, kompetensi SDM kesehatan belum optimal, serta pemenuhan tenaga spesialis di Rumah Sakit belum sesuai standar. Kurangnya tenaga kesehatan baik jumlah, jenis dan sebarannya mengakibatkan rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Kebijakan utama yang dianalisis adalah PP №67 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan. Berdasarkan hasil analisis masalah, beberapa kebijakan yang dapat direkomendasikan untuk pemerintah antara lain penciptaan sumber daya manusia kesehatan yang bermutu; penguatan implementasi, monitoring dan evaluasi berbagai program yang mendukung upaya pemerataan distribusi tenaga kesehatan; pengembangan kebijakan standarisasi jenis, kualitas dan jumlah tenaga kesehatan; pemberian jaminan insentif, fasilitas, dan pengembangan karir bagi tenaga kesehatan pasca mengikuti penugasan khusus; serta peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyediakan fasilitas yang mendukung upaya distribusi tenaga kesehatan

PENDAHULUAN

Pemerataan upaya kesehatan masih menjadi salah satu masalah, utamanya pada wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) di Indonesia. Pemerataan upaya kesehatan bagi masyarakat Indonesia perlu didukung dengan pemenuhan tenaga kesehatan baik dari segi jenis, kualifikasi, jumlah, maupun pendayagunaannya. Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan upaya kesehatan (Hidayanti, 2019). Penyusunan naskah kebijakan bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan mengenai penyelesaian masalah jumlah, jenis, kualitas dan pemerataan tenaga kesehatan. Pemerataan tenaga kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui peningkatan distribusi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerah. Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2020–2024 Indonesia masih menghadapi permasalahan distribusi tenaga kesehatan antara lain: Pemenuhan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di Puskesmas belum sesuai standar, Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan Puskesmas belum optimal, serta Pemenuhan Tenaga Spesialis di Rumah Sakit yang belum sesuai standar. Menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia jumlah tenaga medis sudah tercukupi, namun masih ada beberapa wilayah yang belum terjangkau tenaga medisnya karena belum terjamin insentif bagi para dokter agar bekerja di daerah. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio ideal antara dokter dengan pasien adalah 1:1000. Namun kenyataannya di Indonesia hanya beberapa wilayah yang dapat memenuhi target tersebut. Berdasarkan penelitian Yuni Sari Romadhona terkait Analisis Sebaran Tenaga Kesehatan pada tahun 2018, kurangnya tenaga kesehatan baik jumlah, jenis dan sebarannya menimbulkan dampak terhadap rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan berkualitas. Rasio pelayanan kesehatan pada 11 provinsi cukup ideal, yaitu 1:2.500 atau satu dokter melayani 2.500 orang, sedangkan yang kurang ideal seperti di Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua. Terdapat berbagai kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah distribusi tenaga kesehatan di Indonesia, baik berupa peraturan maupun program pemerintah. Contohnya seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat; Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kawasan Terpencil dan Sangat Terpencil; Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan, dan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis yang digantikan Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter spesialis. Menanggapi hal tersebut pemerintah telah melakukan banyak upaya misalnya melalui kebijakan ataupun program. Namun kenyataannya kebijakan yang dicanangkan masih menimbulkan pro dan kontra ataupun ada kekurangan dalam implementasi. Misalnya terkait insentif untuk tenaga kesehatan yang tidak sesuai sehingga mempengaruhi minat tenaga kesehatan untuk menjalankan program di daerah tertinggal, tidak berkesinambungan kebijakan satu dengan yang lain tentang wajib kerja, tidak adanya jaminan karir untuk tenaga kesehatan pasca menjalankan program di daerah tertinggal, dan penggunaan telemedicine sebagai upaya mengatasi permasalahan distribusi tenaga kesehatan justru masih memiliki banyak kendala seperti biaya. Dari analisis kebijakan-kebijakan tersebut maka disusunlah beberapa rekomendasi kebijakan yang akan dibahas dalam policy paper ini.

METODE

Metode dalam Policy Paper ini adalah melakukan telaah dan analisis Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan sebagai kebijakan utama serta kebijakan lain yang berkaitan dengan distribusi tenaga kesehatan. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan melalui studi pustaka. Data yang diperlukan dikumpulkan dari berbagai publikasi atau dokumen yang relevan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Masalah

Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2020–2024 Indonesia masih menghadapi permasalahan distribusi tenaga kesehatan yaitu pemenuhan Sumber Daya Masyarakat Kesehatan, kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan belum optimal, serta pemenuhan tenaga spesialis di Rumah Sakit belum sesuai standar. Pemerataan distribusi tenaga kesehatan hingga saat ini masih menjadi permasalahan yang pelik di Indonesia. Berdasarkan penjelasan Kepala Bagian Kepegawaian dan Umum Ditjen Farmalkes dalam berita kbr.id (2019) bahwa jumlah tenaga kesehatan seperti dokter umum dan perawat di Indonesia mengalami surplus hanya saja tidak merata di semua daerah. Tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan inilah yang mendasari belum tercapainya standar rasio tenaga kesehatan : penduduk menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 1 : 1.000 ataupun rasio ideal di Indonesia yaitu 1 : 2.500.

Sumber: Kementerian Kesehatan dan Susenas 2019 (diolah), desain : Astari, Elemen Visual: iStock

Sebagaimana pemaparan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Bambang Supriyatno yang termuat dalam berita Lokadata.id (2020), hanya sebelas provinsi di Indonesia yang mencapai rasio ideal tenaga kesehatan misalnya DKI Jakarta 1 dokter melayani 1.765 jiwa, Provinsi DI Yogyakarta 1 dokter melayani 1.301 penduduk, Bali 1 dokter melayani 1.467 penduduk, dan Sulawesi Utara 1 dokter melayani 1.679. Sedangkan untuk daerah yang belum memenuhi target contohnya daerah Nusa Tenggara, 1 tenaga kesehatan harus melayani 5.204 penduduk.

Permasalahan distribusi tenaga kesehatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kurang diperhatikannya faktor sumber daya manusia (SDM) di Indonesia padahal sumber daya manusia adalah suatu hal yang penting dalam pembangunan kesehatan dan pengelolaan sistem kesehatan nasional (Romadhona, 2018). Penyebaran tenaga kesehatan di Indonesia masih terfokus pada daerah Indonesia bagian barat, hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang lebih banyak dan fasilitas kesehatan di wilayah Indonesia bagian barat lebih lengkap dibandingkan wilayah bagian tengah dan timur Indonesia. Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang menyebabkan terjadinya maldistribusi tenaga dokter. Secara geografis, Indonesia memiliki kondisi geografis yang berupa daratan, lautan, pegunungan, dan banyaknya pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, hal ini menyebabkan akses pelayanan kesehatan untuk daerah tertentu sangat sulit dijangkau sehingga sama sekali tidak menarik minat dokter untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama.

Ketersediaan tenaga kesehatan dan sarana-prasarana merupakan masalah utama di lapangan. Berdasarkan dari artikel lokadata, banyak tenaga kesehatan yang sekolah di luar wilayah dan tidak kembali untuk berkarya di kampung halamannya. Contohnya di wilayah Nusa Tenggara Timur banyak tenaga kesehatan seperti dokter yang bersekolah di luar Nusa Tenggara Timur, namun mereka tidak kembali berkarya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Salah satu faktor penyebab hal tersebut dapat terjadi dikarenakan insentif dokter yang diberikan oleh pemerintah provinsi masih dianggap kecil. Kurang terjaminnya insentif dokter di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Insentif merupakan bentuk lain dan imbalan langsung diluar gaji yang merupakan imbalan tetap (Suhartono and Sawitri, 2017). Insentif yang diberikan dapat berupa material, non material atau kombinasi dari keduanya sesuai dengan karakteristik daerah dan kemampuan dari pemerintah daerah. Insentif yang diberikan dapat berupa material dan atau nonmaterial atau dapat mengkombinasikan keduanya sesuai dengan karakteristik daerah dan kemampuan dari pemerintah daerah. Dari sisi kemampuan ekonomi, Indonesia memiliki variasi kemampuan yang sangat lebar. Ada daerah dengan kekuatan ekonomi yang sangat kuat, namun ada juga daerah yang sangat terbelakang. Situasi ini menyebabkan terjadinya penumpukan dokter pada daerah tertentu dan kekurangan tenaga dokter pada daerah yang lainnya. Selain itu, ketimpangan distribusi tenaga kesehatan berkaitan dengan migrasi tenaga kesehatan antar daerah. Alasan terjadinya migrasi dipengaruhi oleh karakteristik individu, kebijakan pemerintah dalam mengatur tenaga kesehatan, kondisi ekonomi, faktor keamanan, penghasilan, akses terhadap pendidikan anak, dan pengembangan pengetahuan serta ketersediaan pekerjaan untuk pasangan (Dussault dan Dubois, 2003, Zurn et al., 2004, Hermawan and Hendarwan, 2018).

Permasalahan distribusi tenaga kesehatan jika tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak buruk bagi berbagai pihak. Pihak tersebut meliputi bagi pemerintahan dianggap buruk karena tidak dapat memenuhi hak masyarakat terkait penyediaan tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan, bagi tenaga kesehatan menimbulkan persaingan yang tinggi untuk daerah dengan jumlah tenaga kesehatan yang banyak, dan bagi masyarakat berdampak pada kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Dampak jangka panjang dari masalah ini adalah rendahnya kualitas kesehatan masyarakat sehingga menurunkan produktivitas dan kemandirian yang berdampak pada sektor lain di luar kesehatan seperti ekonomi dan pembangunan.

Analisis Kebijakan Utama

Kebijakan utama yang dianalisis yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan. Kebijakan tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 September 2019 oleh Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (5), dan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2019 tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pada peraturan tersebut khususnya pada Pasal 3 dijelaskan pengelolaan tenaga kesehatan meliputi upaya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan serta pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang memadai secara kuantitas, kualitas, aman, dan terjangkau juga merupakan hak bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban dalam menjamin kualitas, kuantitas, dan pemerataan tenaga kesehatan, yang dilakukan melalui pengelolaan tenaga kesehatan.

Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan program pembangunan kesehatan, dan ketersediaan tenaga kesehatan. Pengadaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui perencanaan kebutuhan dan diselenggarakan melalui pendidikan tinggi bidang kesehatan, baik oleh pemerintah pusat maupun masyarakat. Pendayagunaan tenaga kesehatan meliputi penyebaran tenaga kesehatan yang merata dan berkeadilan, pemanfaatan tenaga kesehatan, dan pengembangan tenaga kesehatan, termasuk peningkatan karier. Pendayagunaan tenaga kesehatan terdiri dari pendayagunaan dalam negeri dan luar negeri. Kegiatan spesifik dalam pendayagunaan tenaga kesehatan meliputi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (Pasal 61), penugasan khusus (Pasal 23), wajib kerja tenaga kesehatan (Pasal 26, 27, 28, 30, 31), ikatan dinas dengan bantuan biaya pendidikan (Pasal 37), pemindahtugasan tenaga kesehatan (Pasal 43). Pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia.

Selain membahas terkait pengelolaan tenaga kesehatan, peraturan ini juga memuat terkait hak yang diperoleh tenaga kesehatan setelah menjalankan tugasnya. Tenaga kesehatan berhak mendapatkan perlindungan hukum dan imbalan. Tenaga kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan berhak atas kenaikan pangkat istimewa dan perlindungan dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang tercantum pada Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2019. Berdasarkan Pasal 88 tujuan perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan adalah memberikan kepastian hukum, menjamin tenaga kesehatan bekerja tanpa paksaan dan ancaman, serta menjamin tenaga kesehatan bekerja sesuai dengan kewenangan dan kompetensi. Perlindungan tersebut dapat berupa perlindungan preventif maupun perlindungan represif. Sedangkan untuk tenaga kesehatan yang didayagunakan melalui penugasan khusus berhak mendapatkan gaji, insentif, dan jasa pelayanan sesuai dengan isi Pasal 23. Serta berdasarkan Pasal 31 untuk tenaga kesehatan yang menjalankan program wajib kerja berhak untuk mendapatkan tunjangan, penghasilan yang layak, penerbitan SIP, penyediaan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang layak, dan sarana dan prasarana pendukung pekerjaan keprofesian tenaga kesehatan yang bersangkutan. Sehingga secara keseluruhan Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan mendukung tujuan pemerataan distribusi tenaga kesehatan di Indonesia baik dari segi pengelolaan tenaga kesehatan maupun penjaminan hak tenaga kesehatan.

Meskipun demikian, hingga saat ini pemerataan distribusi tenaga kesehatan masih belum juga tercapai dikarenakan implementasi yang kurang optimal. Sebagaimana Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 7 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2019, perencanaan tenaga kesehatan diselenggarakan sebagai upaya sistematis untuk dasar pelaksanaan kegiatan pengadaan, pendayagunaan, serta pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan. Perencanaan tenaga kesehatan memperhatikan kerjasama dan sinergisme antar pemangku kepentingan. Perencanaan Tenaga Kesehatan disusun secara berjenjang dimulai dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah pusat secara nasional. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hidayati (2018) kebutuhan tenaga kesehatan sudah disesuaikan dengan pengusulan Dinas Kesehatan kepada Badan Kepegawaian Daerah dan disesuaikan unit kerja yang membutuhkan tenaga kesehatan untuk melayani kesehatan masyarakat. Pengusulan tenaga kesehatan tersebut disesuaikan dan ditempatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pelayanan kesehatan yang ada. Namun kadang kala pengadaan dan penempatan, realisasinya tidak sesuai dengan yang direncanakan oleh Dinas Kesehatan dan Badan Kepegawaian Daerah. Hal tersebut disebabkan oleh tenaga kesehatan yang mengajukan pindah/ mutasi agar dapat bekerja di lokasi yang berdekatan dengan rumah atau keluarganya. Padahal dasar penempatan tenaga kesehatan pertama kali bukan berdasarkan dekat dengan rumah/ keluarga melainkan SK Bupati yang disesuaikan dengan kebutuhan unit kerja. Adanya persetujuan pindah/ mutasi inilah yang menyebabkan ketidakmerataan tenaga kesehatan, di satu mengalami penumpukan tenaga kesehatan sedangkan yang lain mengalami kekurangan. Pengadaan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana Pada Pasal 11 ayat 1 Peraturan Pemerintah 67 tahun 2019. Proses perencanaan hingga pengawasan seharusnya tetap memperhatikan aspek pemerataan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Grace A. Salamate (2014) pengadaan tenaga kesehatan belum memperhatikan aspek pemerataan hal tersebut terlihat pada melalui jumlah formasi yang masih minim yang diberikan oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 Pasal 17, pendayagunaan tenaga kesehatan dilakukan dengan memperhatikan pemerataan, pemanfaatan, pengembangan, pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan. Ketidakmerataan tenaga kesehatan merupakan masalah yang penting dan perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Puskesmas rawan untuk kekurangan dokter, sedangkan rumah sakit relatif terpenuhi. Tenaga kesehatan yang kurang dapat berpengaruh pada pelayanan kesehatan masyarakat. Kekurangan tenaga kesehatan, salah satunya disebabkan karena tidak minatnya dokter umum yang mau praktek dan mendaftarkan diri sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan kurang pedulinya dokter umum yang sudah lulus untuk bekerja di daerah-daerah terpencil di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Hidayanti, 2018).

Apabila pemerataan tenaga kesehatan sudah dilakukan dengan baik, maka pemanfaatan tenaga kesehatan juga akan lebih maksimal. Berdasarkan Parantutu, et al (2015) pemanfaatan tenaga kesehatan berkaitan dengan pengembangan karir sumber daya manusia. Meski demikian, belum semua instansi kesehatan memiliki kebijakan atau petunjuk terkait pengembangan karir sumber daya manusia. Selain itu, masih ditemukan instansi kesehatan yang melakukan pengembangan sumber daya manusia kesehatan berdasarkan kemauan atau inisiatif dari tenaga kesehatan tersebut dengan biaya pendidikan ditanggung sendiri oleh tenaga kesehatan. Dengan demikian tidak semua tenaga kesehatan dapat mengikuti pelatihan(Parantutu, dkk, 2015). Hal tersebut tidak sesuai dengan isi Peraturan Pemerintah 67 Tahun 2019 Pasal 78 tentang Perencanaan Pelatihan.

Peraturan Pemerintah 67 Tahun 2019 memberikan konsekuensi pada berbagai sektor. Implementasi kebijakan tersebut pada berbagai wilayah dengan perbedaan kondisi sosiologis, geografis, kependudukan, sarana dan prasarana menjadi tantangan dalam menilai kecukupan tenaga kesehatan. (Geswar RK. (2014) dalam Mujiati, (2016). Hal ini membutuhkan komitmen dan koordinasi antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam mengoptimalkan upaya pemenuhan tenaga kesehatan. Selain itu, upaya tersebut membutuhkan perbaikan pula pada sektor diluar kesehatan seperti pembangunan infrastruktur, akses pendidikan, dan akses internet utamanya di DPTK. Adanya maldistribusi tenaga kesehatan dapat mempengaruhi aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Aksesibilitas ini berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat, yang mana ketika masyarakat sehat, maka akan menurunkan tingkat kemiskinan, dan mewujudkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi jangka panjang.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 pasal 7, perencanaan tenaga kesehatan dilaksanakan dengan mengidentifikasi kebutuhan jenis dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai kebutuhan masyarakat dengan tetap memperhatikan kondisi geografis dan sosial budaya. Jika aturan tersebut tidak dilaksanakan, maka akan berdampak pada kurangnya tenaga kesehatan yang berkompeten utamanya di daerah DPTK. Hal tersebut dapat mendorong masyarakat untuk melakukan pengobatan dan perawatan oleh dukun sesuai dengan nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat setempat. Budaya tersebut dinilai kurang sesuai dengan kondisi saat ini, mengingat terdapat berbagai macam jenis penyakit dan gangguan kesehatan yang semakin rumit (Yuningsih, 2014). Berdasarkan hasil telaah pada konten kebijakan, Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 mendukung upaya pemerataan tenaga kesehatan di Indonesia. Akan tetapi jika kebijakan ini tidak diimplementasikan, maka pemerintah perlu melakukan upaya untuk mempertegas pelaksanaan kebijakan yang ada, atau memilih opsi kebijakan lain, yang mana hal ini akan menimbulkan pro dan kontra, serta tidak menutup kemungkinan adanya politik kepentingan oleh para aktor kebijakan.

Analisis Kebijakan Distribusi Tenaga Kesehatan

Kebijakan sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan distribusi tenaga kesehatan masih belum optimal dalam implementasi serta masih menimbulkan pro dan kontra. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 pasal 25 ayat 1, pasal 27 ayat 3, dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2019 Pasal 26, Pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan melaksanakan penugasan khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Meski demikian, Mahkamah Agung justru membatalkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang wajib kerja dokter spesialis dan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa dokter spesialis yang baru lulus diminta secara sukarela bekerja di daerah terpencil selama setahun. Hal ini memperlihatkan bahwa Peraturan Presiden Nomor 31 tahun 2019 tidak mengikuti aturan pada kebijakan di atasnya, yang mana hal tersebut dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. Terbukti pula bahwa peraturan tersebut tidak ampuh dalam meningkatkan distribusi tenaga kesehatan, sebagaimana data pada profil Kesehatan Indonesia 2019, jumlah residen dokter spesialis dalam penugasan khusus tahun 2017 sebanyak 619 orang, 2018 sebanyak 490 orang, dan 2019 sebanyak 339 orang, yang mana angka tersebut menunjukkan adanya penurunan yang signifikan.

Pemerintah daerah harus memiliki komitmen yang kuat dan tegas dalam melakukan redistribusi tenaga kesehatan di daerahnya, dengan memindahkan tenaga kesehatan yang berlebihan ke daerah yang kekurangan, seperti tertera dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan namun pelaksanaannya menurut Yuni Sari Romadhona (2018) dalam penelitian terkait Analisis Sebaran Tenaga Kesehatan, Pemerintah Pusat atau Daerah masih perlu memberikan perhatian khusus dalam sistem perencanaan dan pengadaan tenaga kesehatan di wilayah bagian Tengah dan Timur Indonesia. Hal tersebut menunjukkan pemerintah masih belum menunjukkan komitmen yang kuat terkait retribusi tenaga kesehatan.

Pemerintah wajib menjamin fasilitas dan tunjangan bagi tenaga kesehatan sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 pasal 22, 23, dan 31 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 90 Tahun 2015 pasal 32. Meski demikian, masalah insentif dan penyediaan fasilitas pendukung masih menjadi penyebab rendahnya minat tenaga kesehatan untuk mengikuti penugasan khusus di daerah terpencil. Hal ini didukung dengan temuan pada Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2018 yang mana masih terdapat permasalahan pembayaran insentif bagi tenaga kesehatan Nusantara Sehat yang mengakibatkan perbedaan besaran insentif.

Kebijakan terkait distribusi tenaga kesehatan tidak sepenuhnya gagal, ada beberapa kebijakan yang berjalan sesuai dengan yang dicanangkan misalnya kebijakan terkait Program Nusantara Sehat yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat. Pelaksanaan kebijakan ini dianggap berhasil karena berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2019, penempatan Nusantara Sehat berbasis tim sampai dengan tahun 2019 telah dilaksanakan sebanyak 14 batch. Jenis tenaga yang paling banyak ditempatkan di tahun 2019 adalah perawat dan tenaga gizi, masing-masing sebanyak 160 orang (16,2%) dan tenaga yang paling sedikit adalah dokter umum sebanyak 24 orang (2,4%) dan dokter gigi sebanyak 8 orang (0,8%). Penempatan NS Individu sampai dengan tahun 2019 sebanyak 20 periode. Sampai dengan tahun 2019 terdapat NS individu sebanyak 3.547 orang, dengan penempatan di 2.179 puskesmas, 514 kabupaten/kota pada 34 provinsi. Hal ini dinilai telah mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah 3T, meskipun belum mencapai target pemerataan distribusi tenaga kesehatan. Selain itu kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 90 Tahun 2015 Pasal 19 tentang pelayanan kesehatan berbasis telemedicine menjelaskan bahwa pelayanan berbasis telemedicine dapat meningkatkan ketepatan dan kecepatan diagnosis medis serta konsultasi medis di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan yang tidak memiliki tenaga kesehatan tertentu. Kebijakan tersebut dapat menjadi salah satu solusi untuk menghadapi permasalahan distribusi tenaga kesehatan, meskipun memang masih membutuhkan investasi lebih. Sebagaimana menurut CEO Net Indonesia, tantangan terbesar dalam menyediakan jaringan internet di Indonesia adalah kondisi medan yang sangat variatif mulai dari pegunungan sampai pantai serta populasi penduduk yang tersebar. Kondisi ini memerlukan investasi besar meskipun dari sisi bisnis kurang menguntungkan. Berdasarkan analisis beberapa kebijakan terkait distribusi tenaga kesehatan di Indonesia menunjukkan masih ada kebijakan yang tidak selaras satu dengan yang lainnya sehingga dapat menimbulkan kerancuan dan kurang optimalnya pengimplementasian kebijakan. Namun juga ada kebijakan yang diimplementasikan dengan baik sehingga dapat menjadi pendukung dan potensi tercapainya pemerataan tenaga kesehatan di Indonesia.

IMPLIKASI/OPSI KEBIJAKAN

Jika masalah distribusi tenaga kesehatan tidak segera diselesaikan, maka akan berpengaruh pada ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan di daerah yang kekurangan tenaga kesehatan yang berkompeten. Hal ini akan memperburuk kualitas kesehatan dan produktivitas masyarakat di daerah tersebut. Dengan demikian, visi Kementerian Kesehatan untuk mewujudkan masyarakat sehat, produktif, mandiri, dan berkeadilan menuju Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong tidak akan tercapai.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pemerintah telah menciptakan berbagai kebijakan untuk menyelesaikan masalah distribusi tenaga kesehatan. Meski demikian, berbagai pro kontra menyebabkan kebijakan tersebut tidak dapat terimplementasi dengan baik. Hal tersebut mengindikasikan perlunya ketegasan pemerintah dan kesediaan tenaga kesehatan untuk bersama-sama menjalankan kebijakan yang telah ada. Rekomendasi yang dapat dilakukan Pemerintah adalah menciptakan sumber daya manusia kesehatan yang bermutu. Hal ini dilakukan melalui pengembangan kompetensi sumber daya manusia sejak masa pendidikan, penumbuhan sikap kebangsaan selama menjalankan pendidikan, pengadaan uji kompetensi ketika akan memasuki dunia kerja, dan penyediaan lapangan pekerjaan yang merata bagi sumber daya manusia kesehatan. Kebijakan tersebut selaras dengan upaya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia, serta penumbuhan sikap kemanusiaan yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan kemauan tenaga kesehatan untuk secara sukarela berkontribusi dalam menyelesaikan masalah distribusi tenaga kesehatan. Meski demikian, Indonesia masih mengalami berbagai tantangan utamanya terkait penjaminan mutu lulusan perguruan tinggi dan rendahnya jaminan pengembangan karir ketika memasuki dunia kerja.

Setelah menghasilkan sumber daya manusia kesehatan yang bermutu, Pemerintah perlu mempertegas implementasi dan upaya monitoring evaluasi terhadap berbagai program yang telah diciptakan seperti Nusantara Sehat, Penugasan khusus dokter spesialis, Dokter Layanan Primer, dan pelayanan kesehatan berbasis telemedicine di DTPK.

Rekomendasi tersebut dibutuhkan karena berbagai program di atas telah diatur secara baik dan membutuhkan komitmen tinggi dalam implementasi guna mencapai target program. Penguatan implementasi program dapat dilakukan dengan mewajibkan tenaga kesehatan yang mendapatkan beasiswa pendidikan untuk mengikuti penugasan khusus di daerah DTPK. Tenaga kesehatan yang tidak menerima beasiswa pendidikan dapat mengikuti penugasan khusus secara sukarela dengan adanya jaminan insentif, fasilitas, dan pengembangan karir pasca mengikuti penugasan khusus. Terkait penguatan implementasi pelayanan berbasis telemedicine di DTPK, pemerintah perlu meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan utamanya di pelayanan kesehatan yang diampu, serta menyediakan fasilitas penunjang yang dibutuhkan.

Rekomendasi mengenai penguatan implementasi program di atas selaras dengan kewajiban pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang merata utamanya bagi masyarakat di DTPK. Meski demikian, rekomendasi tersebut akan menghadapi berbagai kendala seperti sulitnya menumbuhkan komitmen tenaga kesehatan, serta masih terbatasnya kemampuan dan kemauan pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendukung di DTPK. Dengan demikian, upaya tersebut perlu dibarengi dengan peningkatan komitmen tenaga kesehatan dan peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk mendukung aktivitas tenaga kesehatan yang mengikuti penugasan khusus. Pemerintah perlu menguatkan upaya monitoring dan evaluasi berbagai program yang mendukung pemerataan distribusi tenaga kesehatan. Hal ini karena kegiatan monitoring dan evaluasi yang melibatkan berbagai pihak terkait baik dari puskesmas, hingga kementerian kesehatan akan memberikan banyak saran yang seringkali kurang ditindaklanjuti. Integrasi dari puskesmas, dinas kesehatan, kementerian kesehatan, dan pihak terkait lainnya untuk menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi, dapat menciptakan perbaikan bagi pelaksanaan program pada periode selanjutnya.

Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan mengenai standarisasi jenis, kualitas dan jumlah tenaga kesehatan di institusi pelayanan kesehatan yang berada di DTPK dengan mengidentifikasi variasi kualitas distribusi di setiap DTPK. Upaya ini dapat mendukung pemerataan tenaga kesehatan baik secara kuantitas maupun kualitas dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan kebutuhan masyarakat. Meski demikian, rekomendasi ini memiliki berbagai tantangan, antara lain adanya kemungkinan kesalahan transformasi data yang menyebabkan kesalahan dalam mengidentifikasi kebutuhan tenaga kesehatan. Selain itu, ketika penugasan khusus tenaga kesehatan bersifat sukarela, pemerintah akan kesulitan menyediakan tenaga kesehatan sesuai standarisasi masing-masing DTPK, dan menjamin adanya tenaga kesehatan pengganti setelah habis masa kontrak pada tenaga kesehatan periode sebelumnya.

Berdasarkan hasil analisis, terlihat bahwa masalah distribusi tenaga kesehatan bersifat kompleks, sehingga upaya penyelesaian masalah juga akan kompleks. Dengan demikian, pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah tersebut melalui satu upaya, melainkan perlu menerapkan berbagai rekomendasi yang saling berkaitan. Hal utama dalam penyelesaian masalah tersebut adalah peningkatan komitmen pemerintah dan tenaga kesehatan untuk dapat menciptakan pelayanan kesehatan yang mendukung terciptanya masyarakat yang sehat, produktif, dan mandiri sebagaimana Visi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

REFERENSI

Abdi, A. (2020). IDI: Jumlah Dokter Mencukupi, Sistem Distribusinya Belum Optimal — Tirto.ID. Retrieved 27 November 2020, from https://tirto.id/idi-jumlah-dokter-mencukupi-sistem-distribusinya-belum-optimal-djwT

Ahdiat, Adi. 2019. Dokter, Bidan, dan Perawat Membludak, Tapi Sebaran Tidak Merata. [online]kbr.id. Available at: <https://kbr.id/nasional/03-2019/dokter__bidan_dan_perawat_membeludak__tapi_sebarannya_tidak_merata/98942.html> [Accesed 30 Oktober 2020]

Astuti, Indriyani. Distribusi Kunci Pelayanan Kesehatan. [online]Media Indonesia. Available at: <https://m.mediaindonesia.com/read/detail/127148-distribusi-kunci-pelayanan-kesehatan> [Accessed 30 Oktober 2020]

Diandra. 2017. Pemerataan Akses Kesehatan Jadi Tantangan bagi Menkes. [online]kominfo.go.id. Available at: <https://kominfo.go.id/content/detail/8858/pemerataan-akses-kesehatan-jadi-tantangan-bagi-menkes/0/sorotan_media> [Accessed 30 Oktober 2020]

Hidayanti, H. (2019). Pemerataan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Lamongan. CAKRAWALA, 12(2), 162–177. https://doi.org/10.32781/cakrawala.v12i2.272

Hidayanti, H. 2018. Pemerataan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Lamongan. Jurnal Utbang Kebijakan. 12(2). p 162–177

Hidayat, Ridho. 2017. Distribusi Dokter di Indonesia Belum Merata. [online]gatra.id. Available at: <https://www.gatra.com/detail/news/422331/health/distribusi-dokter-di-indonesia-belum-merata> [Accessed 30 Oktober 2020]

Kementerian Kesehatan RI. 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015–2019. Jakarta

Maharrani, Anindita. 2019. Pemerataan Tenaga Kesehatan Indonesia Masih Terkendala. [online] beritagar.id. Available at: <https://beritagar.id/artikel/berita/pemerataan-tenaga-kesehatan-indonesia-masih-terkendala> [Accessed at 30 Oktober 2020]

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2014. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman Standar Pelayanan.

Nusantarasehat.kemkes.go.id. 2020. Nusantara Sehat. [online] Available at: <https://nusantarasehat.kemkes.go.id/content/penugasan-khusus-tenaga-kesehatan-melalui-team-based> [Accessed 1 November 2020].

Paruntu, B., Rattu, A., & Tilaar, C. (2015). Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya Manusia di Puskesmas Kabupaten Minahasa. JIKMU, 5(1), 43–53. Retrieved 6 December 2020, from.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2018. Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat. 28 Juli 2018. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 998. Jakarta

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2019. Pengelolaan Tenaga Kesehatan. 24 September 2019. Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 173 Tahun 2019. Jakarta

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017. Wajib Kerja Dokter Spesialis. 12 Januari 2017. Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017. Jakarta

Romadhona, Yuni Sari. 2018. Analisis Sebaran Tenaga Kesehatan Puskesmas di Indonesia Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas. Jurnal Kesehatan Manarang. 4(2) p 114–121

Salamate, Grace A, dkk. 2014. Analisis Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Tenggara. JIKMU. 4(4) p 625–633

Suhartono, J. and Sawitri, H., 2017. Pengaruh reward, insentif, pembagian tugas dan pengembangan karier pada kepuasan kerja perawat di rumah sakit ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta. Benefit: Jurnal Manajemen dan Bisnis, 2(1), p.35.

Syaifudin, N., 2020. Distribusi Tenaga Kesehatan Tak Kunjung Merata. [online] Lokadata.ID. Available at: <https://lokadata.id/artikel/distribusi-tenaga-kesehatan-tak-kunjung-merata> [Accessed 28 October 2020].

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014. Tenaga Kesehatan. 17 Oktober 2014. Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009. Kesehatan. 13 Oktober 2009. Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. Jakarta

Yusuf, Fikri. 2017. Penyebab Distribusi Tenaga Medis di Indonesia tak Merata. [online]medcom.id. Available at: <https://m.medcom.id/nasional/peristiwa/ybDMeMqk-penyebab-distribusi-tenaga-medis-di-indonesia-tak-merata> [Accessed 30 Oktober 2020]

--

--