Kenaikan Premi, Menjadi Solusi Atau Masalah Baru?

tamaamah habibah
Buletin Risalah Kebijakan Kesehatan
13 min readDec 22, 2020

Analisis Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan

Photo by Bimaaa L. on Unsplash

Penyusun:
Tamaamah habibah, Siti Nurul Aini, Syaifullah Putra

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga

Korespondensi:
Tamaamah Habibah
tamaamah.habibah-2017@fkm.unair.ac.id

RINGKASAN EKSEKUTIF

Salah satu upaya pencapaian kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia adalah terwujudnya Jaminan Kesehatan Nasional. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bertugas untuk mewujudkan pembiayaan kesehatan yang lebih mudah dan lebih menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga tidak ada alasan lagi masyarakat sakit tidak memiliki biaya untuk berobat karena prinsip yang dikembangkan JKN adalah gotong royong.

JKN ini menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sebagai bentuk jaminan yang dibayarkan secara rutin oleh Masyarkat tiap bulannya berdasarkan kelas sosial-ekonomi masyarakat. Namun memasuki umur ke-7 tahun ini BPJS mendapatkan permasalahan yang serius yaitu defisitnya finansial BPJS. BPJS Kesehatan mengklaim bahwa defisit disebabkan oleh tingginya penduduk yang menderita penyakit kronis, sehingga biaya pelayanan kesehatan meningkat. Hal lain yang menyebabkan program JKN mengalami defisit yaitu besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri, sehingga menyebabkan defisit meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam menangani permasalahan ini, pada tanggal 1 Juli 2020 pemerintah mencoba mengatasinya dengan mengeluarkan kebijakan yang tertuang pada Peraturan Presiden (Perpres) №64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Ketentuan pada pasal 34 kembali diubah sehingga berbunyi besar iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP yaitu sebesar Rp 25.500,00 per orang per bulan, sedangkan sebesar Rp 16.500,00 dibayarkan oleh pemerintah pusat sebagai bantuan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP. Besar tarif untuk pelayanan perawatan kelas II yaitu Rp 100.000,00 per orang per bulan dan untuk pelayanan perawatan kelas I, besar tarif iuran ditetapkan sebesar Rp 150.000,00 per orang per bulan.

Tentu kebijakan yang dikeluarkan ini mendapat reaksi negatif dari masyarakat karena kebijakan ini dikeluarkan di tengah masa pandemi yang membuat masyarakat semakin merasa keberatan untuk membayar premi JKN. Dan keputusan ini juga dianggap tidak menghormati keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan tarif tersebut setelah mengabulkan judical review perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang diajukan oleh komunitas pasien cuci darah Indonesia (KPCDI).

Oleh karena itu, pada Policy Paper ini kami merekomendasikan 3 hal kepada pemerintah. Yang pertama yaitu untuk mengkaji ulang/mengubah kebijakan Perpres №64 Tahun 2020 yang tidak mengedepankan kemaslahatan buat masyarakat karena dampak yang akan terjadi justru akan menurunkan kepatuhan masyarakat untuk membayar premi JKN di masa pandemi ini. Yang kedua lebih mengedepankan strategi penyaluran pembayaran premi JKN yang terdekat oleh masyarakat dapat bekerjasama dengan tingkat RT/RW setempat. Dan yang ketiga adalah meningkatkan strategi upaya preventive dan promotif untuk dapat menurunkan angka kasus penyakit kronis yang menjadi pengeluaran tertinggi bagi BPJS.

A. PENDAHULUAN

Tujuan pembangunan sebuah negara pada hakikatnya adalah untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya. Salah satu upaya pencapaian kesejahteraan tersebut diwujudkan dalam pengembangan Jaminan Kesehatan Nasional. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). JKN diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang №40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pemerintah Indonesia mulai mengimplementasikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara universal di Indonesia, sejak tanggal 1 Januari 2014 dan mengharapkan keanggotaannya berkembang secara bertahap dengan bergabungnya seluruh warga negara Indonesia pada tahun 2019.

Penerapan JKN saat ini membawa perubahan besar dalam sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. Dahulu, sistem pembayaran kesehatan di Indonesia menggunakan sistem fee for service yang sekarang diubah menjadi sistem pembiayaan prospektif dengan menggunakan tarif INA-CBGs dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditunjuk sebagai institusi pelaksana program. Saat ini masyarakat cukup membayar uang pelayanan kesehatan di awal yang tarifnya sudah disesuaikan dengan kemampuan membayar masyarakat yang diklasifikasikan menjadi 3 kelas. Dengan perubahan sistem pembayaran ini, Pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit harus memberikan pelayanan yang terstandar dan seimbang tanpa harus membedakan berdasarkan kemampuan dalam membayar.

Dalam proses perjalanannya memasuki umur 7 tahun ini, BPJS telah melayani peserta sebanyak 222.435.719 jiwa yang telah tergabung menjadi peserta BPJS (BPJS, 2020). Tentu perjalanan yang cukup lama ini tidak semulus yang direncanakan. Banyak sekali permasalahan yang muncul dan harus dihadapi BPJS selaku institusi pelaksana. Masalah yang paling utama yaitu Defisitnya Keuangan BPJS. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, tren kenaikan defisit BPJS Kesehatan terus mengalami peningkatan. Tahun 2014 tercatat defisit mencapai angka Rp 9 Triliun dan ditahun 2016 menjadi Rp 6 Triliun. kemudian, angka defisit mengalami kenaikan pada tahun 2017 menjadi Rp 13,5 Triliun, defisit terus naik hingga mencapai Rp 15,5 Triliun di tahun 2019 (Kurniati, 2020).

Guna mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menyeimbangkan kondisi finansial BPJS yang defisit. Salah satunya adalah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Tepatnya pada pasal 34 yang mengatur mengenai tarif iuran tiap kelas peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) dan peserta BP (Bukan Pekerja) yaitu sebesar Rp 25.500,00 per orang per bulan untuk pelayanan perawatan pada kelas III. Untuk pelayanan perawatan pada kelas II, besar tarif iuran sebesar Rp 51.000,00 per orang per bulan dan untuk pelayanan perawatan kelas I, ditetapkan tarif sebesar Rp 80.000,00 per orang per bulan. Berdasarkan perpres nomor 75 tahun 2019, ketentuan pada pasal 34 diubah, sehingga berbunyi iuran bagi PBPU dan peserta BP yaitu sebesar Rp 42.000,000 per orang per bulan untuk pelayanan perawatan kelas III. Untuk pelayanan perawatan kelas II, besar tarif iuran sebesar Rp 110.000,00 per orang per bulan dan untuk pelayanan perawatan kelas I, tarif iuran sebesar Rp 160.000,00 per orang per bulan. Kenaikan tarif tersebut mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2020. Hal tersebut menimbulkan berbagai penolakan pada kalangan masyarakat karena kenaikan iuran mencapai 100%, terutama bagi komunitas pasien cuci darah Indonesia yang selama ini sangat bergantung pada BPJS Kesehatan. Sehingga, kenaikan iuran JKN yang tertuang dalam perpres Nomor 75 tahun 2019 tidak berlangsung lama. Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tarif tersebut setelah mengabulkan judical review perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang diajukan oleh komunitas pasien cuci darah Indonesia (KPCDI).

Pada tanggal 1 juli 2020, pemerintah secara resmi memberlakukan kebijakan kenaikan tarif iuran JKN yang tertuang pada Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres Nomor 75 tahun 2019 tentang jaminan kesehatan. Ketentuan pada pasal 34 kembali diubah sehingga berbunyi besar iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP yaitu sebesar Rp 25.500,00 per orang per bulan, sedangkan sebesar Rp 16.500,00 dibayarkan oleh pemerintah pusat sebagai bantuan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP. Besar tarif untuk pelayanan perawatan kelas II yaitu Rp 100.000,00 per orang per bulan dan untuk pelayanan perawatan kelas I, besar tarif iuran ditetapkan sebesar Rp 150.000,00 per orang per bulan.

Kenaikan iuran JKN pada kondisi pandemi covid-19 dinilai tidak tepat. Kenaikan iuran JKN memiliki berbagai dampak, diantaranya yaitu menyebabkan terjadinya inflasi karena akan mendorong administered price atau harga yang diatur pemerintah melonjak lebih tinggi dari sebelumnya. Selain itu, kenaikan iuran JKN juga menyebabkan peserta mandiri mengalami kesulitan untuk membayar dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi penanggalan, sehingga berdampak pada cakupan Universal Health Coverage yang semakin jauh dari 100% (Azzura, 2019).

Oleh karena itu, kenaikan tarif yang tertuang di Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang disahkan ketika di masa pandemi menurut kami tidaklah tepat. Selain menambah beban masyarakat yang berjuang menstabilkan keuangan rumah tangga karena dampak dari kehilangan pekerjaan dan turunnya daya beli masyarakat yang berdampak ke pengusaha atau usaha kecil-menengah. Justru dengan kenaikan tarif ini dapat memperlebar kesenjangan defisit BPJS yang terjadi dan semakin menurunkan kepatuhan masyarakat membayar iuran BPJS tepat pada waktunya. Sehingga tujuan policy paper kami adalah untuk menganalisis Kenaikan Premi JKN yang tertuang di Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 serta peraturan-peraturan yang terkait untuk memberikan rekomendasi yang tepat kepada pemerintah khususnya BPJS agar menaikkan tarif premi JKN dengan tepat dan pada waktu yang tepat sehingga tidak membebankan masyarakat dalam membayar dan sekaligus dapat membantu mengatasi defisitnya finansial BPJS.

B. METODE

Metode dalam Policy Paper ini adalah melalui telaah dan analisis peraturan presiden nomor 64 tahun 2020 serta peraturan-peraturan yang terkait, yang kemudian didiskusikan bersama-sama dampak dari kebijakan ini untuk Pemerintah, BPJS, Fasilitas Kesehatan, dan Masyarakat. Hasil dari telaah dan analisis pada policy paper ini diolah menjadi poin argumentasi yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan diakhiri dengan memberikan rekomendasi yang dapat diusulkan untuk memperbaiki peraturan yang telah dibahas.

Hasil dan Pembahasan

Peserta BPJS tahun 2014 tercatat sebanyak 133.423.653 juta jiwa dan meningkat menjadi 224.149.019 juta jiwa atau 83.86% dari total penduduk pada tahun 2019. Namun, dalam pelaksanaannya, program JKN mengalami defisit biaya. BPJS Kesehatan mengklaim bahwa defisit disebabkan oleh tingginya penduduk yang menderita penyakit kronis, sehingga biaya pelayanan kesehatan meningkat. Berdasarkan laporan pengelolaan program BPJS tahun 2019, biaya penyakit katastropik mencapai lebih dari 20 triliun. Selain itu, tingginya beban kesehatan tidak di imbangi dengan besaran iuran yang memadai (Aidha & Adrian, 2020). Hal lain yang menyebabkan program JKN mengalami defisit yaitu besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri, sehingga menyebabkan defisit meningkat dari tahun ke tahun. Apabila tidak dilakukan kenaikan iuran, maka defisit program JKN diperkirakan akan mencapai 56 Triliun pada tahun 2021.

Berbagai pihak dari pemerintah telah memberikan pernyataan bahwa perubahan dilakukan untuk memastikan jaminan kesehatan dapat mencakup semua warga dan dapat dijalankan secara berkesinambungan. Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunto Wibawa Dasa mengatakan bahwa jika mengikuti perhitungan aktuaria, besaran iuran untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) mandiri kelas I bisa mencapai Rp. 286,000, kelas II mencapai lebih dari Rp 184.000, dan kelas III Rp. 137,000. Akan tetapi, pemerintah tidak menetapkan besaran tersebut dan lebih disesuaikan dengan kemampuan masyarakat

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menyatakan bahwa kenaikan iuran JKN bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Seperti diketahui, hingga akhir 2019 defisit BPJS tercatat sebesar Rp 15,5 triliun dan membuat pembayaran kepada banyak rumah sakit menjadi tersendat. Dengan adanya kenaikan iuran JKN, defisit dapat teratasi, tunggakan ke rumah sakit bisa terbayar, cash flow rumah sakit terbantu dan pelayanan kepada masyarakat bisa semakin meningkat (Saputra, 2020). Selain bertujuan menutup defisit, kenaikan iuran JKN juga disebut sebagai perbaikan ekosistem jaminan kesehatan nasional, dimana penyesuaian iuran dari JKN bertujuan agar program kesehatan tetap berkesinambungan dan juga memberikan layanan yang tepat waktu dan berkualitas.

Hal tersebut menyatakan penguatan pemerintah untuk menaikkan premi dengan tujuan utama menutup defisit BPJS yang terus meningkat. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi akar permasalahan dan solusi konkrit terhadap permasalahan utama BPJS, defisit. Dalam pelaksanaannya, banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal. Setelah sembuh, peserta berhenti membayar iuran atau tidak disiplin membayar iuran. Pada tahun 2018, klaim rasio dari peserta mandiri mencapai 313%. Total iuran dari peserta mandiri hanya sebesar 8.9 Triliun, namuan total klaim mencapai 27.9 triliun. Defisit pada program JKN juga disebabkan oleh ketidak disiplinan pembayaran premi oleh peserta. Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7%. Artinya, 46,3% dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Sejak 2016 sampai 2018, besar tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp 15 triliun. Oktober 2019, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan 50 persen peserta mandiri BPJS Kesehatan menunggak iuran. Dari 32 juta total peserta mandiri yang ada saat ini, 16 juta di antaranya tercatat tidak tertib membayar premi (Rosana, 2019). sehingga ditahun 2019 masih terdapat 50% peserta mandiri yang membayar premi, dan selebihnya tidak membayar ataupun tidak tertib membayar premi. Sehingga besaran pengeluaran BPJS tidak dapat ditutupi dengan income pembayaran premi peserta dikarenakan tidak semua peserta membayar. Strategi dan upaya BPJS dalam mendorong dan memastikan masyarakat membayar premi inilah yang perlu diperbaiki, sehingga income yang didapatkan BPJS dapat menutupi pengeluaran sehingga tidak terjadi defisit.

Kenaikan iuran JKN yang disahkan pada kondisi pandemi Covid-19 juga trurut menimbulkan keresahan bagi banyak masyarakat, terutama masyarakat yang terdampak langsung oleh pandemi covid-19. Pengesahan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dianggap tidak mematuhi hukuman MA yang meminta pemerintah mengembalikan biaya iuran BPJS kembali ke aturan lama yakni Perpres Nomor 82 tahun 2018. DPR menganggap peraturan baru yang diterapkan justru malah menyengsarakan rakyat karena Perpres ditetapkan saat krisis pandemi Covid-19 melanda di Indonesia (Putri, 2020). Tarif JKN yang tertuang dalam Perpres No 64 Tahun 2020 masih terlalu mahal dan tidak jauh berbeda dengan iuran yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Padahal Perpres Nomor 75 Tahun 2019 sebelumnya telah dibatalkan MA melalui putusan uji materi yang juga dimohonkan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Hal tersebut juga dinyatakan tidak menghormati dari putusan MA itu sendiri.

Kenaikan Premi BPJS bukanlah solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan BPJS termasuk defisit itu sendiri. pasalnya, banyak dampak yang ditimbulkan dari peraturan tersebut. Diantaranya ialah banyaknya masyarakat yang memilih turun kelas. Kenaikan iuran BPJS pada setiap kelas memberikan pandangan ke masyarakat bahwa biaya yang harus dikeluarkan akan semakin tinggi. Dikarenakan hal tersebut mendorong masyarakat untuk memilih menurunkan kelas dengan iuran yang lebih rendah dari yang sebelumnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, menyebutkan bahwa dari bulan november 2019 hingga Januari 2020 masyarakat yang turun kelas mencapai hingga 700–800 ribu peserta (Jannah, 2020). Penurunan kelas termasuk dari kelas satu turun menjadi kelas dua, begitu juga kelas dua menjadi kelas tiga. faktor lain yang menyebabkan masyarakat memilih untuk menurunkan kelasnya ialah karena mereka menganggap jika berada pada kelas satu dengan iuran yang tinggi maka akan merugikan dikarenakan jarang melakukan klaim (Wijayanti, 2020). sehingga pembayaran kelas satu memberatkan mereka sehingga mereka memilih untuk turun kelas. Penjelasan tersebut membicarakan dampak dari naiknya iuran BPJS berkaca dari disahkannya Perpres no 75 Tahun 2020. terlebih lagi pada kenaikan BPJS sesuai dengan perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang notabene akan mulai diterapkan di masa pandemi covid yang akan memungkinkan penurunan kelas semakin meningkat.

Kenaikan iuran JKN pada kondisi pandemi covid-19 dinilai tidak tepat. hal tersebut juga disampaikan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) bahwa langkah pemerintah menaiikkan premi dimasa pandemi untuk menambal defisit tidaklah tepat untuk saat ini. dikarenakan hal tersebut akan memberatkan masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi dampak pandemi (Kumparan, 2020). Kenaikan iuran JKN memiliki berbagai dampak, diantaranya yaitu menyebabkan terjadinya inflasi karena akan mendorong administered price atau harga yang diatur pemerintah melonjak lebih tinggi dari sebelumnya. Selain itu, kenaikan iuran JKN juga menyebabkan peserta mandiri mengalami kesulitan untuk membayar dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi penanggalan, sehingga berdampak pada cakupan Universal Health Coverage yang semakin jauh dari 100% (Azzura, 2019). Kenaikan iuran JKN dinilai dapat membuat daya beli masyarakat menurun. Adanya anggapan bahwa kelompok peserta kelas I dan II tidak mengalami penurunan daya beli pun dirasa kurang tepat. Kenaikan iuran JKN pada masa pandemi juga berdampak pada tingginya angka peserta pindah kelas perawatan yang lebih rendah. Apabila peserta banyak yang melakukan turun kelas ke tingkat yang lebih rendah seperti kelas III, maka target penerimaan negara dari premi BPJS juga akan rendah. Dampak lain dari kenaikan iuran JKN bagi masyarakat yaitu peningkatan jumlah peserta non aktif, dan calon peserta baru enggan mendaftar.

Implikasi Kebijakan

Defisit BPJS menjadi alasan paling utama pemerintah menaikkan premi JKN. Upaya tersebut telah dilakukan dua kali. dimana untuk pertama kalinya, pada tahun 2019 Perpres no 75 tahun 2019 terkait perubahan pertama Perpres no 82 tahun 2018 tentang JKN yang didalamnya menyatakan kenaikan premi BPJS sebesar 100% disetiap kelasnya telah membawa kontroversi yang sangat besar. kenaikan tersebut gagal melalui putusan MA. upaya kedua, yakni kenaikan premi BPJS melalui Perpres no 64 tahun 2020 sebagai perubahan kedua atas Perpres no 82 Tahun 2018 tentang JKN kembali menuai kontroversi ditengah masyarakat. pasalnya, kenaikan tersebut bertepatan dengan permasalahan Pandemi yang sedang dihadapi masyarakat secara keseluruhan. dimana Pandemi Covid 19 memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi maupun kesehatan masyarakat pada umumnya.

apabila kebijakan ini terus dilakukan akan memberikan dampak yang cukup besar dan juga akan menggagalkan tujuan awal dibentuknya kebijakan tersebut. mulai dari banyaknya masyarakat yang turun kelas dikarenakan menganggap bahwa premi cukup besar dan masyarakat sendiri tidak menggunakannya sehingga memilih kelas dengan biaya yang lebih rendah. banyak dari masyarakat yang mulai enggan membayar karena terbatasnya ekonomi dan beban hidup semakin meningkat. banyaknya pula masyarakat yang di PHK di masa Pandemi sehingga akan meningkatnya beban biaya PBI bagi pemerintah. dengan dampak yang akan ditimbulkan dari naiknya premi BPJS tersebut, membuat pemasukan BPJS juga kecil disamping meningkatnya kasus penyakit baik kronis maupun akut. padahal, tujuan utama dari dinailkkannya premi adalah menurunkan angka defisit itu sendiri menjadi tidak terealisasikan.

Rekomendasi

Pemerintah membatalkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020, dan mengkaji ulang terkait peningkatan premi sesuai dengan kenaikan inflasi dan keadaan ekonomi masyarakat. Kenaikan premi boleh dilaksanakan sesuai dengan perpres sebelumnya yang memperbolehkan adanya perubahan premi. namun, perubahan tersebut bukan ditujukan untuk menutup defisit BPJS tapi hanya menyesuaikan dengan inflasi. Penerapan kenaikan premi yang telah ditelaah kembali tersebut diterapkan tidak dimasa pandemi yang notabene seluruh masyarakat sedang kebingungan mengatasi dampak pandemi baik dari segi sosial, kesehatan maupun ekonomi. Terkait permasalahan defisit yang menjadi alasan utama pemerintah membuat kebijakan tersebut, dapat diselesaikan dengan melakukan upaya untuk membuat masyarakat tertib membayar premi. Salah satu faktor pendukung tertibnya peserta BPJS membayar ialah jarak tempat tinggal ke tempat pembayaran (Mardika, DT, 2018). Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk mendekatkan tempat pembayaran dengan peserta ialah dengan bekerjasama dengan RT/RW untuk menjadi penyalur pembayaran dan pengingat kepada masyarakat untuk tertib membayar. dengan penerapan sistem tersebut diharapkan memberikan kemudahan akses bagi peserta untuk dapat membayar premi sehingga mendorong peserta untuk lebih tertib membayar. Kepatuhan membayar iuran juga dipengaruhi oleh perilaku sesorang yang memiliki kemauan dan kemampuan membayar iuran secara tepat berdasarkan waktu yang telah ditetapkan (Mardika, DT, 2018). sehingga untuk dapat memastikan peserta membayar ialah meningkatkan kemauan peserta dengan memberikan manfaat dan pemahaman terkait pentingnya BPJS. target pemahaman ialah kepala rumah tangga ataupun orang yang berpengaruh. disamping itu juga dengan memperkuat pengkontrolan terhadap tertibnya pembayaran dengan terus meningkatkan social media marketing dengan strategi terbarukan. Pemerintah juga harus meningkatkan strategi upaya preventive dan promotif untuk dapat menurunkan angka kasus penyakit kronis yang menjadi pengeluaran tertinggi bagi BPJS.

Studi Pustaka

Al Hikam, Herdi.(2020, Mei 15). Ini Dampak Buruk Jika Banyak yang Turun Kelas BPJS Kesehatan. Detik Finance. https://finance.detik.com/moneter/d-5016341/ini-dampak-buruk-jika-banyak-yang-turun-kelas-bpjs-kesehatan

Banjarnahor, Donald. (2019, Sept 10). Ini Sebab Iuran BPJS Kesehatan Wajib-Kudu-Harus-Naik. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190910135337-4-98325/ini-sebab-iuran-bpjs-kesehatan-wajib-kudu-harus-naik

Community of Practice for Health Equity. (2020, Mei 19). Jaminan Kesehatan Nasional dan Keadilan dalam Kesehatan di Masa Pandemi. https://manajemenrumahsakit.net/2020/05/jaminan-kesehatan-nasional-dan-keadilan-dalam-kesehatan-di-masa-pandemi/

Jannah, SM. 2020. BPJS Watch Sebut 800.000 Peserta BPJS Turun Kelas Usai Iuran Naik. online 11.12 WIB

Kumparan. 2020. Defisit BPJS Kesehatan Akibat Manajemen Buruk, Mestinya tak DIbebankan ke Rakyat. https://kumparan.com/kumparanbisnis/defisit-bpjs-kesehatan-akibat-manajemen-buruk-mestinya-tak-dibebankan-ke-rakyat-1tS6w90HJy3/full .

Kurniati, D. (2020, Feb 18). Lima Tahun Berturut-turut, BPJS Kesehatan Defisit Triliun Rupiah. Trusted Indonesian Tax News Portal. https://news.ddtc.co.id/lima-tahun-berturut-turut-bpjs-kesehatan-defisit-triliun-rupiah-19024

Mardika, DT. 2018. Faktor Predisposing, Pendukung, dan Pendorong yang Mempengaruhi Perilaku Terhadap Kepatuhan Pembayaran Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) di Kabupaten Pacitan Tahun 2018. Skripsi Prodi Kesehatan Masyarakat Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun.

Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan

Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan

Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan

Pratama, Wibi. (2020, Mei 19). Kenaikan Iuran di Tengah Pandemi Dianggap Momen yang Tepat. Bisnis.com. https://finansial.bisnis.com/read/20200519/215/1242707/kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan-di-tengah-pandemi-dianggap-momen-yang-tepat-

Rosana, FC. (2019 Okt 8). Kemenkeu: 16 Juta Peserta Mandiri BPJS Menunggak Premi. Tempo.co. https://bisnis.tempo.co/read/1257029/kemenkeu-16-juta-peserta-mandiri-bpjs-kesehatan-menunggak-premi.

Thea, Adi. (2019, Nov 14). DJSN Ingatkan Dampak Kenaikan Iuran JKN. Hukumonline.com. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dcc3b7784f71/djsn-ingatkan-dampak-kenaikan-iuran-jkn/#:~:text=Antara%20lain%20peserta%20turun%20kelas,pembayaran%20klaim%20kepada%20fasilitas%20kesehatan.

Wijayanti, L, Nur, Z, Pimada, LM. 2020. Dampak Kebijakan Kenaikan Iuran BPJS terhadap Pengguna BPJS. Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi. Vol. 4 №1

--

--