Photo by Markus Spiske on Unsplash

Jalan kenangan, biar buat mantan.
Jalan berliku sedap dipandang, buat kamu seorang.
Kalau jalan raya, buat siapa ya?

Amanda Manggiasih Paramita Chalid
Riset Indie
Published in
5 min readJul 16, 2021

--

Jumat, 2 juli 2021 yang lalu, Jaramba bersama Riset Indie mengadakan sesi diskusi online membahas relevansi transportasi publik di masa sekarang, dan bagaimana rupa transportasi di tiga atau lima tahun ke depan. Kami mengundang dua narasumber yaitu Astri Puji Lestari (Atit) sebagai mantan atlet sepatu roda dan pegiat conscious living, dan Imam Wiratmadja yang kini aktif sebagai pegiat isu hunian dan pernah terlibat aktif dalam organisasi transportasi publik.

Sebelum diskusi dimulai, Atit sempat melemparkan polling dalam kanal socmed-nya menanyakan, seperti apakah kira-kira orang-orang bertransportasi di masa depan? Menariknya, semua yang merespon pertanyaan Atit memberikan rekomendasi kendaraan-kendaraan individual. Dari mulai jetpack, hoverboard, bubble car/microcar, sampai teleportasi. Hal tersebut sejalan dengan pengamatan Atit terhadap kebijakan penggunaan jalan yang berubah di London. Dilansir dari sejumlah media Inggris, sejak pertengahan tahun 2020 Pemerintah London memutuskan untuk melebarkan trotoar, merapikan dan menambah jalur sepeda, dan membuat rute satu arah untuk kompensasi jalan raya yang menyempit. Tentu dengan pertimbangan pandemi yang belum juga teratasi dengan baik, utamanya masyarakat akan lebih nyaman dengan transport individu yang memampukan penggunanya menjaga jarak.

Lalu apakah kini semua orang harus memiliki kendaraan pribadi? Bagaimana dengan masyarakat yang tidak bisa memiliki kendaraan pribadi? Diskusi Pun kian menghangat.

Cara atau pilihan melakukan mobilitas secara individu sebenarnya tidak selalu harus diterjemahkan menjadi kepemilikan kendaraan pribadi tersier seperti mobil atau motor, apalagi jetpack atau hoverboard. Sebenarnya bisa juga diterjemahkan dengan berjalan kaki atau disiasati dengan meminimalisir mobilitas itu sendiri misalnya, atau lebih canggih lagi, mendekatkan lokasi mukim. Seperti dikutip dalam pernyataan Imam,

“Sistem transportasi yang baik, pada akhirnya akan kalah dengan lokasi mukim yang lebih baik dan strategis”

Walau terdengar sangat relevan, logis, dan realistis, namun pernyataan ini semakin mengundang pertanyaaan-pertanyaan “jikalau” dan sanggahan yang senada dengan pertanyaan sebelumnya,

Apakah itu berarti semua orang harus pindah ke pusat kota? Apakah masyarakat kebanyakan bisa tinggal di dalam kota? Apakah kemewahan semacam ini bisa dimiliki masyarakat menengah kebawah?

Lagi-lagi, partisipan diskusi kemudian diajak untuk melebarkan perspektif mereka terhadap ide dan kemungkinan yang Imam paparkan. Saya jadi teringat baris lirik Barisan Nisan yang disuarakan Homicide,

Kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan, sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satu pun sudut kemungkinan untuk berkata “tidak mungkin”.

Sebetulnya hal tersebut bisa saja menjadi mungkin, dengan bayangan bukan hunian mentereng macam rumah-rumah pembesar di Menteng yang didiami, tetapi, misalnya, rumah susun bersubsidi yang dibangun pemerintah untuk tujuan meminimalisir mobilitas, demi mengurangi resiko kenaikan angka Covid-19 akibat komuting.

Karena mulai tersentuh kata kunci seperti “pemerintah” dan “kebijakan” dalam alur diskusi, partisipan pun mulai merasa wacana ini mungkin tidak akan pergi jauh dari ruang diskusi virtual kami. Imam pun memberi solusi yang tidak kalah realistis,

“Kita tidak bisa memilih orang tua, atau memilih lahir dari keluarga yang berpunya, tapi kita masih bisa memilih mertua..”

Walau dibawakan dengan nada bergurau, tidak mengurangi keseriusan Imam dalam pesannya, dan gurauan ini cukup mendinginkan kembali suasana hangat diskusi tempo hari yang, walau masih banyak isu yang belum terbahas seperti isu keamanan transportasi publik, kebijakan pemerintah terhadap lahan non-produktif, kepemilikan lahan, atau bahkan kebijakan transportasi publik itu sendiri, harus dicukupkan karena waktu.

Selanjutnya Apa?

Melanjutkan sedikit dari isu-isu yang terlontar dalam diskusi lalu seperti, “pemilihan moda untuk komuting atau berpindah tempat” dan “menilik kembali pemanfaatan jalan untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat dalam melakukan komuting di situasi pandemi sekarang”, Riset Indie dan Jaramba akan kembali mengadakan sesi diskusi untuk membahas bagaimana seharusnya Badan Jalan, sebagai media masyarakat melakukan mobilitas, dimaknai.

Kami di Riset Indie berpendapat bahwa moda transportasi atau cara komuting yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat masih perlu dan relevan. Pertanyaannya adalah rancangan moda transportasi yang bagaimana? Jika berhenti sejenak dan kita tarik mundur lagi pemikiran ini, modal jalanan yang sudah kita miliki, harus bisa menampung model komuting atau bertransportasi macam apa? Fakta lain yang tak kalah menarik, ada pola di negara-negara Asia yang terhimpun dari sejumlah penelitian, mengatakan bahwa justru sebagian besar transportasi publik di negara-negara Asia dikuasai dan dikendalikan arahnya oleh badan-badan swasta komersial dan konglomerasi real estate.

Kami percaya sistem transportasi publik yang terfasilitasi dan terjangkau tidak hanya membantu masyarakat untuk berpindah tempat, tapi juga bisa berperan dalam usaha menjembatani jurang pembatas, setidaknya, antara Kelas Menengah, dan Calon Kelas Menengah (Aspiring Middle Class). Menurut penelitian World Bank, Kelas Menengah Indonesia adalah mereka yang rata-rata memiliki pendapatan 15 juta rupiah per bulan. Sedangkan Calon Kelas Menengah, adalah masyarakat yang sudah terentas dari garis kemiskinan, tapi belum cukup bisa masuk kategori Kelas Menengah jika ditilik dari ciri bagaimana keluarga mereka bisa mengakses atau memperoleh pendidikan dan fasilitas kesehatan. Masyarakat Calon Kelas Menengah disinyalir memiliki pendapatan rata-rata UMR per bulan, atau sekitar 2–4,8 juta rupiah. Hampir setengah dari total jumlah penduduk di Indonesia masuk ke dalam kategori Calon Kelas Menengah. Kalaulah kita bicara tentang kebijakan atau fasilitas yang bisa dibangun untuk mayoritas masyarakat Indonesia, kelas inilah yang perlu mendapat perhatian.

Melengkapi tulisan Anugrah Nurrewa dari Jaramba,

“Jalan” adalah jalur darat yang menghubungkan antar tempat yang telah dibenahi, untuk memungkinkan perjalanan, baik itu dengan cara berjalan kaki ataupun dengan beberapa bentuk alat angkut, seperti kendaraan bermotor atau tanpa motor. Hierarki pengguna jalan menyediakan kerangka berpikir untuk menciptakan kebijakan transportasi, agar bisa mengarahkan rancangan pembangunan serta moda transportasi yang harus dipertimbangkan dan diprioritaskan. Kurangnya pengetahuan terhadap hirarki pengguna jalan dan gambaran umum jangka panjang masyarakat terhadap transportasi publik, kemudian berdampak pada cara memandang penggunaan jalan semata-mata sebagai fasilitas lintasan kendaraan pribadi.

Topik diskusi kini bergulir tak kalah menarik, pun memang “sistem transportasi yang baik, pada akhirnya akan kalah dengan lokasi mukim yang lebih baik dan strategis”, dan tingkat kebutuhan pelayanan jalan raya menjadi lebih ringan, fakta bahwa negara berkembang belum mampu untuk membangun jaringan transportasi elevated ataupun underground yang sanggup menjangkau seluruh bangkitan di kota, menyebabkan semua kebutuhan mobilitas masyarakat tumpah ke dalam badan jalan. Maka, minimal peran jalan seharusnya bisa menjadi enabler yang memungkinkan masyarakat berpindah tempat dengan mudah. Pada diskusi selanjutnya, kita akan membahas perihal seputar bagaimana seharusnya jalan berfungsi dan bisa memfasilitasi gerak berbagai kalangan masyarakat Indonesia.

--

--