Menjadi Civitas yang Berkelas dan Berintegritas dalam Universitas Kelas Dunia

Faizal Chan.
Risetnya Mfc
Published in
7 min readDec 6, 2018

Mfc, Bandung - Dewasa ini, korupsi menjadi sebuah tindak kejahatan nyata yang luar biasa, dan dapat terjadi di seluruh tingkatan elemen masyarakat, baik itu dari golongan bawah, menengah, maupun atas. Seperti dilansir dari Komisi Pemberantasan Korupsi, sedikitnya ada 781 tindak pidana korupsi dari tahun 2004 hingga 2018, mulai dari kasus pengadaan barang/jasa, perizinan, penyuapan, pungutan, penyalah-gunaan anggaran, pencucian uang, hingga menghambat proses kerja Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Tentu saja hal-hal tersebut telah mencoreng nama baik bangsa dan negara, dan masyarakat terkena imbasnya.

Tidak hanya dalam skala yang lebih besar, praktik korupsi-korupsi kecil juga terjadi di ranah perguruan tinggi. Bentuk korupsi seperti mencontek, plagiat, datang terlambat, dan lain sebagainya masih sering terjadi, seakan sudah menjadi suatu tindakan yang umum dan biasa dilakukan. Ironinya, hal-hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa, di mana mereka akan menjadi insan penerus bangsa di waktu yang akan datang. Meskipun tidak semua mahasiswa berperilaku seperti itu, namun eksistensi pelaku tindak korupsi-korupsi kecil tersebut sudah menjadi indikasi bahwa bisa saja nantinya mereka akan menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Jika tidak ditanggapi dan ditangani secara serius, bisa saja angka tindak pidana korupsi tadi terus melambung tinggi, dan mengakibatkan kerugian yang jauh lebih besar.

Melihat fenomena dahsyat ini, dapat terlihat bahwa korupsi menjadi masalah berkelanjutan apabila tidak cepat ditanggapi secara tepat. Hal ini sudah menjadi sebuah urgensi tersendiri, karena saat ini Indonesia tengah menuju Indonesia Emas 2045 dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Republik Indonesia pernah memaparkan bahwa ada empat indikator yang harus dicapai untuk meraih Indonesia Emas tahun 2045 mendatang, yakni kualitas SDM (sumber daya manusia), kualitas infrastruktur, kualitas kelembagaan, dan kebijakan pemerintah. Dari keempat aspek ini, terlihat bahwa aspek yang paling penting adalah kualitas SDM, karena akan sangat memengaruhi tingkat kualitas dari ketiga aspek lainnya.

Karena aspek sumber daya manusia menjadi penting, sudah jelas bahwa keterlibatan masyarakat akan membawa pengaruh besar bagi bangsa dan negara. Masyarakatlah yang berhak dan berkewajiban dalam menentukan nasib dari negara dari berbagai aspek. Hal ini juga telah ditekankan pada UUD 1945 pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Namun, pengertian bela negara di sini bukanlah terbatas kepada kegiatan wajib militer saja, namun juga untuk turut berperan dalam pengabdian sesuai dengan profesinya masing-masing. Hal tersebut dibenarkan oleh Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, Pramono Anung Wibowo. Ia mengatakan bahwa pendekatan bela negara bukanlah pendekatan melalui wajib militer, namun menanamkan kembali rasa cinta ke bangsa dalam bentuk cinta ke bendera negara, cinta ke konsep negara kesatuan, dan lain-lain. Hal tersebut akan melekat dan mengikat terhadap seluruh elemen masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali dalam lingkup pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.

Pada perguruan tinggi, dikenal istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi, atau dapat diartikan sebagai tiga kewajiban yang harus dipenuhi oleh seluruh civitas academica perguruan tinggi. Adapun ketiga kewajiban tersebut adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat dimaknai sebagai kewajiban seorang warga akademik untuk terus belajar dan mengembangkan dirinya, lalu melakukan penelitian berdasarkan apa yang telah ia pelajari sebelumnya yang kemudian dapat menjadi manfaat bagi kehidupan bermasyarakat. Mahasiswa yang menjadi bagian dari civitas academica sudah pasti memiliki kewajiban dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang tertuang dalam kegiatan-kegiatan akademik. Namun, hal tersebut masih belum sepenuhnya disadari oleh seluruh mahasiswa. Dan bahkan, hal tersebut juga diwarnai berbagai praktik korupsi kecil yang masih sering terjadi di kalangan mahasiswa, baik itu disadari maupun tidak.

Kepedulian pemerintah terhadap pentingnya peranan mahasiswa dalam upaya penurunan jumlah korupsi di Indonesia, telah tercermin dari terbitnya surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi nomor 1016/E/T/2012 tentang Implementasi Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Surat edaran tersebut menjelaskan bahwa butuh adanya suatu upaya luar biasa untuk menangani korupsi yang dikenal sebagai kejahatan luar biasa, di mana dalam praktiknya harus melibatkan seluruh unsur masyarakat yang termasuk di dalamnya adalah perguruan tinggi dan mahasiswa sebagai inisiator gerakan anti korupsi di masyarakat. Perguruan tinggi diimbau untuk menyelenggarakan pendidikan anti korupsi ke dalam bentuk mata kuliah atau menyisipkan materi tersebut ke dalam mata kuliah yang relevan, terhitung awal tahun ajaran 2012 lalu, dan hal ini telah terlaksana dalam berbagai cara, sesuai dengan kebijakan dari masing-masing perguruan tinggi.

Namun seperti yang disebutkan sebelumnya, penanganan korupsi haruslah melibatkan seluruh unsur masyarakat lainnya yakni mahasiswa. Harus ada mahasiswa yang memprakarsai hal tersebut supaya memengaruhi rekan-rekan mahasiswa lainnya agar turut berinisiatif dalam segala upaya anti korupsi, bahkan dalam hal yang terkecil sekalipun seperti anti titip presensi kelas, anti tindak plagiarisme, dan lain sebagainya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kampanye melalui organisasi mahasiswa intra kampus, di mana organisasi tersebut memiliki suatu kekuatan untuk mempersuasif mahasiswa secara langsung, karena organisasi mahasiswa terbentuk dari mahasiswa perguruan tinggi itu sendiri. Mahasiswalah yang paling mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dan menjangkau sesama mahasiswa agar pesan dapat tersampaikan dengan baik.

Seiring perkembangan zaman, tentu saja terjadi perubahan-perubahan dalam berkomunikasi, salah satunya adalah faktor media yang digunakan. Sebagai contoh, Faizal et al telah mengidentifikasi bahwa tiga media yang digemari mahasiswa untuk berkomunikasi adalah media sosial Line, Instagram, dan juga Facebook. Dengan diketahuinya hal tersebut, maka proses komunikasi maupun pelaksanaan kampanye anti korupsi dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Adapun hal-hal tersebut dilaksanakan dengan beberapa keuntungan, yakni selain mahasiswa mendapatkan pemahaman mendalam terkait tindak korupsi, organisasi mahasiswa yang melancarkan aksi kampanye tersebut dapat lebih dikenal mahasiswa secara menyeluruh, melalui tindakan-tindakan yang dilakukannya.

Meskipun tidak dirasakan secara langsung, namun dengan memperkenalkan organisasi mahasiswa dapat membantu pencapaian Indonesia Emas 2045. Hal ini merupakan suatu strategi berkelanjutan yang akan berpengaruh besar terhadap bangsa dan negara, atau dalam lingkup yang lebih kecil yakni perguruan tinggi itu sendiri. Adapun strategi yang dapat dilakukan mahasiswa dalam membantu menyongsong iktikad baik tersebut adalah dengan meningkatkan pemahaman akan urgensi untuk bergabung dan berkegiatan di dalam organisasi mahasiswa. Dengan bergabung ke dalamnya, tidak hanya membantu kegiatan kampanye anti korupsi, namun pada saat lulus nanti sang mahasiswa tersebut akan mendapatkan berbagai pengetahuan dan pengalaman non akademis yang mungkin tidak akan mereka dapatkan di perkuliahan. Dengan aktif berkegiatan selama duduk di bangku perguruan tinggi, maka besar kemungkinan bahwa mahasiswa tersebut dapat lebih unggul saat bersaing dalam persaingan di dunia kerja, karena ia memiliki kompetensi selain dari yang ia dapatkan selama mengikuti perkuliahan di kelas. Dan dengan berorganisasi selama berkuliah, harapannya adalah mahasiswa tersebut menjadi pribadi yang disiplin, berkelas, dan menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.

Selain itu, dengan berorganisasi ini juga mahasiswa dapat lebih terbentuk pola pikirnya untuk mengembangkan dan memecahkan berbagai permasalahan yang tumbuh di masyarakat. Selain membawa dampak positif bagi sekitarnya, berbagai prestasi yang dapat dicapai oleh para civitas academica ini dapat membawa citra positif bagi Indonesia di ranah internasional. Apabila hal tersebut dapat terimplementasikan dan tercapai di berbagai perguruan tinggi, maka sudah tidak mustahil lagi bahwa perguruan-perguruan tinggi di Indonesia dapat menjadi perguruan tinggi kelas dunia dengan cepat dan mudahnya. Tentu saja hal ini tidak dapat terealisasi secara instan, di mana dalam pelaksanaannya harus terjalin kerja sama yang baik dan kokoh antara berbagai pihak terkait, baik itu dari perguruan tinggi sebagai fasilitator, maupun mahasiswa selaku pelaksana utamanya.

Hal lain yang sering terjadi di kalangan mahasiswa adalah adanya tindakan korupsi berupa plagiarisme. Plagiat seringkali terjadi baik itu dalam pengerjaan tugas harian, pada saat ujian dalam bentuk mencontek, maupun dalam pengerjaan penelitian tugas akhir. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010, plagiarisme adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya dengan tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Di luar konteks kesengajaan, mungkin tindak plagiat dapat dihindari dengan menggunakan parafrase atau semacamnya. Namun, yang tidak jarang terjadi adalah tindakan tersebut dilakukan secara sadar, baik dengan alasan apapun. Salah satu yang melandasi hal tersebut adalah kurangnya wawasan pelaku dalam berpikir maupun menyelesaikan suatu permasalahan, yang berujung kepada tindakan plagiarisme tadi. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mencari cara bagaimana mahasiswa dapat membuka wawasan dan juga merekonstruksi pola pikirnya selama ini, dan menjadi pribadi yang lebih intelektual serta sensitif terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya.

Lagi-lagi, solusi yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah dengan mengajak mahasiswa untuk aktif berkegiatan di organisasi mahasiswa. Mahasiswa harus belajar untuk berorganisasi, tidak peduli itu di Dewan Perwakilan Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa, maupun jenis organisasi mahasiswa lainnya, karena hal utama yang dituju adalah bagaimana mahasiswa tersebut bisa aktif berkegiatan untuk membuka wawasan dan menambah pengalamannya. Setelah itu tercapai, mahasiswa tersebut dapat diarahkan untuk membuat karya-karya solutif, menyesuaikan dengan permasalahan apa yang tengah tumbuh di sekitarnya. Sehingga, mahasiswa tersebut memiliki semacam portofolio sebagai saksi bisu atas jejak integritasnya terhadap bangsa dan negara, yang dimulai sejak dini dari masyarakat di sekitarnya.

Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai mahasiswa, kita memiliki peranan besar dalam berkontribusi sebagai penggerak kampanye anti korupsi dan juga sebagai salah satu elemen pendukung utama dalam pencapaian Indonesia Emas 2045. Hal tersebut dapat terealisasi dengan optimal, salah satunya dengan berkontribusi pada organisasi mahasiswa dan melakukan berbagai kegiatan positif guna membuka wawasan baru dan menambah pengetahuan agar dapat menjadi pribadi yang solutif, disiplin, berkelas, serta berintegritas, guna meningkatkan jumlah SDM yang unggul di Indonesia sehingga dapat meningkatkan kualitas infrastruktur, kualitas kelembagaan, dan bahkan meregulasi kembali kebijakan pemerintah yang telah ada menjadi lebih baik. Dengan menjadi pribadi yang berintegritas, mahasiswa tersebut sudah mencerminkan perilaku insan anti korupsi, yang dapat menjadi teladan dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara.

Sumber :

--

--

Faizal Chan.
Risetnya Mfc

Actually a UX researcher, but often work as UX engineer. Jack of all trades, Master of Management.