Steve Vai, Selebriti atau Seniman?

Sang virtuoso gitar rock yang mendunia, dikenal oleh hampir semua penggila musik rock

Sambodo Sondang
ROCK dut
7 min readJan 4, 2016

--

gambar: acehmusician.org

Membicarakan gitaris rock tentu akan menyeret ingatan kita pada hal-hal berbau selebriti. Narkoba, miras, gonta-ganti pasangan, gaya berpakaian yang ala hippie atau semacamnya. Lagu-lagu rock yang berlirik nge-pop dan cengeng, skill bermusik pas-pasan, atau tampang cute sebagai komoditas utama sebuah kelompok musik rock; hal-hal semacam itu tentu terdengar lazim dalam dunia rock.

Terkadang musisi rock yang idealis dan unik dalam berkarya pun tak pernah bisa menyandang label seniman sejati. Patti Smith mungkin salah satu wakil dari kalangan pemusik rock yang beruntung, bisa menyandang predikat sebagai seorang seniman sejati. Ia adalah salah satu dari sedikit musisi rock yang juga aktif sebagai seorang penyair.

Sedangkan Steve Vai, banyak orang melabelinya sebagai virtuoso gitar elektrik terbaik yang pernah ada. Ada pula orang yang melabelinya sebagai guitar artist, sebab karya-karyanya sangatlah unik dan brilian. Namun tidak sedikit yang mengenal Steve Vai sebagai sosok yang berlebihan dan perlente, layaknya selebriti. Mungkin hal ini benar adanya, busana yang ia kenakan amatlah mencolok mata, layaknya musisi Glam Rock 80-an. Lengkingan dive bombing-nya kadang dianggap terlalu berlebihan. Atau keterlibatannya dalam berbagai band dan proyek solo para selebriti rock tentu tidak bisa menghadiahkannya label seorang seniman atau artist sejati.

Namun seperti banyak hal yang kita jumpai di dunia ini, label adalah sesuatu yang amat relatif.

Nyatanya label seniman atau selebriti nampak absurd (bagi saya). Seniman? Apa itu seniman? Selebriti? Apa itu selebriti? Kenapa label seniman sangat susah dimiliki oleh band-band Rock. Mungkinkah kehidupan ala seleb yang menjadikan mereka tidak bisa sepenuhnya memahami seni? Apakah semua musisi rock hanya tergerak oleh motif ekonomi? Lalu bagaimana karya seorang musisi rock bisa dikategorikan artistik? Mungkin sebaiknya kita mengacu pada teori akademis yang dibuat para profesor sosiologi tentang gejala sosial semacam itu, atau bertanya pada pengampu teori estetika seni agar kita bisa tahu mana karya yang estetis dan mana yang tidak estetis. Tapi kesuen, selak jeleh!

Nah apakah sebenarnya selebriti adalah label yang tepat untuk pemenang Grammy Award kategori Instrumental Rock terbaik ini? ataukah artist adalah label yang lebih tepat untuknya?

For The Love of God — berlabel apakah lagu ini?

Bagi penggemar Steve Vai, lagu ini (atau dalam bahasa akademisnya repertoar) semacam theme song trilogi, prolog sekuel, atau prekuel Steve Vai blockbuster collection. Bila anda tidak mengenal lagu ini, sebagian fans beratnya (seperti saya), akan melabeli anda anti-mainstream, atau malah bukan fans Steve Vai.

For The Love of God punya sisi ‘menjual’ sebagai sebuah lagu. Melodinya mudah diingat. Solo gitarnya manis madu. Musik yang mengiringi terkesan syahdu. Cocok sekali dilabeli sebagai ‘hiburan’.

Namun ada banyak sekali hal lain yang lebih menarik di lagu itu, menurut saya.

Dalam mengulang riff (semacam verse atau ref/refrain lagu) lagu tersebut ia menggunakan tone dan picking gitar yang berbeda dari sebelumnya (mengingatkan kita pada kebiasaan Jeff Beck yang selalu men-switch pickup gitarnya di setiap riff lagunya). Kerja kerasnya menghasilkan lagu bercita rasa seperti tangga dramatik sebuah cerita, sekilas terdengar sama, namun sebenarnya berbeda. Pengulangan riff berikutnya semakin ruwet, seperti alur cerita yang berkelanjutan, kontinuitasnya terbangun dari dasar yang sama.

Akrobatik whammy bar, dive bombing berulang, permainan handle tremolo ala orang kesetanan di beberapa bagian solo gitarnya adalah gambaran rumitnya lagu yang kedengarannya sederhana itu. Mungkin berbicara tentang teknis memainkan gitar akan membawa kita pada ranah buta ‘rasa’. Namun yang perlu digaris bawahi dari permainan gitar Steve Vai di lagu tersebut adalah bagaimana dia memasukkan banyak ketrampilan teknis gitar dalam sebuah lagu, namun tidak terdengar klise. Klise adalah momok menakutkan bagi semua manusia, tidak hanya gitaris. Kasus yang paling dekat dengan dunia Rock adalah bagaimana pecinta gitar rock ‘bosan’ dengan Yngwie Malmstem, sekalipun di awal karirnya ia begitu dipuja. Yngwie juga seorang legenda rock layaknya Steve, akan tetapi teknik, cara bermain, dan lagu-lagunya yang itu-itu saja telah mengurangi kecintaan banyak penikmat musik rock padanya. Yngwie dianggap terlalu bergantung pada kecepatan petikan gitarnya, ia dipandang sebagi musisi yang tidak kreatif, sebab lagu atau repertoar yang dibuatnya selalu terdengar mirip.

Steve Vai selalu hadir dengan tawaran kreatif yang mungkin ia dapat dari kedisiplinannya mengasah ketrampilan bermain gitar elektrik yang diselingi dengan bermacam-macam aktifitas unik. Ia sering bermeditasi, melakukan puasa, atau melakukan yoga. Aktifitas-aktifitas tersebut menurutnya bisa menumbuhkan ketenangan berpikir.

Tender Surrender, tipikal repertoar pop-mellow-rock instrumental nominasi Grammy Award-kah? ternyata bukan!

Berbekal komposisi lagu yang terdengar sendu, Tender Surrender menjadi salah satu track terpopuler milik Steve Vai. Grammy Award pun hampir dimenangkan lagu ini untuk kategori Instrumental Rock Terbaik.

Tender Surrender adalah salah satu lagu yang memperlihatkan sisi kreatif seorang Vai. Ia mampu hadir sebagai komposer lagu yang brilian. Menampilkan petikan gitar yang manis di awal, lantas menaburkan riff-riff yang terdengar sedikit rumit, dan memberikan kejutan di akhir. Di bagian akhir lagu anda bisa mendengar teknik pull off dan hammer on miliknya yang sangat legendaris. Ending yang sempurna untuk lagu ini.

Secara keseluruhan lagu ini malah kedengaran nge-jazz. Namun label jazz tidaklah cocok untuk lagu ini, sebab suara gitar ber-overdrive yang sedemikian melengking adalah kepunyaan musik rock (secara umum), dan tentu akan mengecewakan sebagian besar penikmat jazz. Kita pun tidak bisa memasukkannya dalam barisan lagu-lagu instrumental rock milik Satriani atau Yngwie, di mana Tender Surrender akan terdengar paling nge-pop diantara mereka. Secara singkat, Tender Surrender bukan lagu yang mudah untuk kita berikan label.

Building The Church — membangun gereja pemujaan dive bombing

Diawali dengan teknik tapping (teknik yang dipopulerkan oleh Eddie Van Halen), di susul oleh petikan power chord ber-palm mute, lagu ini membawa kita menuju ke lagu Rock yang tipikal. Namun jangan melabelkan terlebih dahulu, simak lengkingan-lengkingan dive bombing panjangnya di lagu tersebut yang segera muncul sesaat setelah riff pertama selesai dimainkan.

Lagu ini identik dengan lengkingan dive bombing-nya yang berdurasi cukup panjang. Konon kabarnya, ia tidak menggunakan pick up Di marzio atau Ibanez, namun ia memakai pick up Fernandez (yang waktu itu sedang mengembangkan pick up ber-sustain super panjang). Dive bombing adalah teknik yang beresiko, apabila terus menerus dimainkan dalam sebuah lagu Rock, dive bombing akan mengganggu lagu tersebut, sebab lengkinganya bisa merusak keindahan sebuah komposisi. Beberapa musisi yang gemar melakukannya kerap kali di cap sebagai tukang ‘pamer’ atau sok-sok-an, beberapa bahkan dikatakan tidak memiliki sensitivitas bermusik . Namun Building The Church tidak akan terdengar seperti lagu rock yang dive bombing-nya merusak komposisi lagu, sebab Steve Vai berhasil menghadirkan dive bombing bernada di lagu ini (dalam kasus penggunaan dive bombing, Joe Satriani patut juga kita berikan jempol, sebab ia turut serta mengembangkan teknik dive bombing bernada).

Di Ending lagu ini, anda bisa mendengar (dan menonton) aksi dive bombing gila-gilaan miliknya. Kontrol nada-nada dive bombing dengan cara yang akrobatik di akhir lagu tersebut adalah bukti ketekunan berlatih seorang Steve Vai, dan hasilnya tentu saja sangat artistik (menurut saya).

Are you ready to build the church?

The Audience is Listening — kacau, namun indah bukan?

Sejak awal dimainkannya lagu tersebut pendengar pasti akan merasakan kesan semrawut yang dihasilkan bunyi wah-wah pedal yang rutin ia injak. Billy Shenan yang mengendarai bass juga turut serta menambah kacaunya lagu tersebut.

Simak pertunjukan sirkus yang dimainkan Steve Vai dan anggota bandnya dalam The Audience is Listening. Di sanalah letak kekuatan The Audience is Listening. Ketrampilan instrumen yang dimiliki Steve Vai serta band pendukung memang berkelas master, namun lagu ini tidak melulu hanya menonjolkan kekuatan teknis belaka. Amati susunan lagu yang cukup rumit tersebut, ia memang sengaja membuat lagu tersebut sedemikian rupa guna memberikan ruang tersendiri bagi para pemainnya untuk berakrobatik. Seperti menonton sirkus, aksi-aksi akrobatik mereka tidak hanya luar biasa, namun juga memperlihatkan pengalaman serta kematangan mengolah nada. Mungkin teknis-lah yang berperan di sini, dan membuat lagu ini nampak ‘berbahaya’, namun apakah lagu ini cuma sebatas kekuatan teknis? Tidak juga.

Christmas Time is Here — tidak banyak yang tahu, lagu ini merepresentasikan sosok Steve Vai sebagai komposer yang artistik dan peka

Entah apa inspirasi lagu ini, yang jelas lagu ini susah untuk saya labeli sebagai lagu rock yang mainstream. Lagu ini punya segudang ‘nada-nada yang asing’, serta didukung komposisi yang rumit.

Saya tidak kaget bila komentar-komentar para user Youtube kebanyakan memuja-muji lagu ini. Pure Genius! atau semacamnya. Lagu ini memang artistik. Tema dan suasana sangatlah kuat terbangun di dalamnya.

Suara gemerincing lonceng yang terdengar di lagu ini indah, bukan?

Hampir semua teknik gitar andalannya, ia kerahkan pada lagu ini. Mulai dari kombinasi bending dan tremolo picking di awal lagu, disusul pull off dan hammer on maut miliknya. Semua teknik bermain gitar yang ia mainkan dalam lagu ini ia susun layaknya kalimat-kalimat cerita pendek yang ditata sedemikian rupa. Jadilah sebuah repertoar yang seolah-seolah bercerita tentang suasana damai saat natal tiba.

Pilihan nada-nada yang ia mainkan terbilang ganjil dan rumit untuk taraf musik rock. Kita sama sekali tidak bisa mendengar petikan pentatonis dalam lagu ini. Namun ia berhasil membuat pendengar musik rock, termasuk saya, menikmati lagu unik ini tidak hanya sebagai sebuah lagu rock balada yang indah, namun juga sebuah komposisi musik yang brilian.

Steve Vai tidak hanya seseorang yang mahir dan terampil dalam memainkan gitar, namun sensibility-nya terhadap rasa patut di apresiasi. Lagu ini adalah bukti kepekaan rasa seorang Steve Vai dalam menyusun sebuah repertoar.

Nah, label apakah yang sebenarnya cocok untuk Steve Vai? Seniman ataukah selebriti? Tentu saja gambaran seorang seniman lebih cocok untuknya, daripada sekedar selebriti rock.

Glosarry:

virtuoso gitar: seseorang yang sangat terampil memainkan gitar.

Glam Rock : Aliran rock tahun 80an yang berciri make up dan busana ala hippie .

dive bombing : Teknik memanipulasi suara petikan gitar agar terdengar melengking, seperti suara bom yang dijatuhkan dari angkasa.

riff : petikan gitar yang diulang-ulang dalam sebuah lagu

tone : warna suara gitar

pull off : teknik melepaskan jari dari sebuah senar gitar agar menghasilkan nada

hammer on : teknik mengetukkan jari pada senar gitar agar menghasilkan nada

overdrive : pedal efek gitar yang berfungsi menumpuk sinyal gitar, efek standar untuk musik rock

power chord : chord, atau kunci gitar yang biasanya hanya terdiri dari 4 senar teratas pada sebuah gitar

palm mute : teknik menahan petikan suara gitar agar terdengar seperti terbekap

bending : menarik sebuah senar agar menghasilkan nada yang lebih tinggi

picking : memetik gitar

wah-wah : pedal efek gitar yang berfungsi mengubah tone gitar, menghasilkan suara yang kedengaranya seperti mengucapkan ‘waow waow’

pickup : alat yang digunakan untuk menangkap suara gitar.

whammy bar : pedal efek gitar yang berfungsi membuat suara gitar menjadi melengking

handle tremolo : tuas pada bagian bawah gitar yang digunakan untuk meninggikan dan merendahkan nada sebuah senar gitar.

--

--