Desainer yang Tidak Melekat

petrus narwastu
Rolling Glory Blog
Published in
5 min readJul 5, 2020

Jika saya diminta untuk membagikan pengalaman/mindset untuk desainer pemula mengenai salah satu hal yang paling penting untuk seorang desainer, mungkin hal itu adalah: “belajar untuk melepas kelekatan”.

Apa maksudnya? Saya akan mencoba menjelaskannya menggunakan analogi. Apakah diantara kita ada yang mempunyai klub favorit, artis favorit, pemain olahraga favorit, atau idola favorit? Sebagai contoh, saya sangat mengidolakan Manchester United dan Valentino Rossi, saya yakin kita semua punya idola/favorit seperti itu.

Mari sedikit berimajinasi

Sekarang, bayangkan ada seseorang yang yang melecehkan, menghina idolamu, dengan kata-kata yang kasar, bagaimana perasaanmu? Apakah kamu tersinggung?
Dan bayangkan juga, ketika klub atau idolamu kalah dalam pertandingannya, apakah harimu akan ikut berubah menjadi buruk?

Sekarang bayangkan kebalikannya, ada orang yang memuji, mengelu-elukan idolamu, bagaimana perasaanmu? Apakah kamu menjadi senang karena ada yang sepemahaman denganmu?
Dan bayangkan, ketika klub atau idola kita mendapatkan suatu pencapaian seperti memenangkan pertandingan penting atau memenangkan kejuaraan, apakah harimu ikut berubah menjadi cerah?

Saya tidak bisa menjelaskan arti melekat dengan mudah, tetapi saya bisa memberi indikatornya, jika kita masih terluka ketika seseorang menghina idola kita, dan kita masih merasa senang ketika seseorang memuji idola kita, itu artinya kita melekat pada hal tersebut.

Lalu, apa bahayanya melekat bagi seorang Desainer?

Begini, apabila perasaan/emosi kita masih terpengaruh oleh hal lain di luar diri kita, bagaimana jadinya perasaan/emosi kita apabila seseorang menghina hasil desain/solusi kita? Jelas hal itu akan membuat kita terluka.

Dan kebalikannya, bagaimana jadinya perasaan/emosi kita apabila seseorang memuji hasil desain/solusi kita? Apakah itu akan membuat kita bangga dan terbang ke langit ke-tujuh? Kalau jawabannya: iya, berarti kita masih melekat, dan itu berbahaya, karena sebagai desainer kita harus bisa membuat solusi dengan pemikiran dan pertimbangan yang jernih dalam rangka menyelesaikan masalah, bebas dari pengaruh emosional.

Bagaimana agar kita bisa lepas dari kelekatan?

Kelekatan terjadi karena kita mengidentifikasikan diri kita pada hal-hal tertentu. Saya adalah Manchester United, saya adalah Valentino Rossi, sehingga ketika ada seseorang yang menyerang Manchester United, maka orang tersebut menyerang saya, dan saya sakit hati, padahal orang tersebut tidak menyerang saya.

Bayangkan ada sebuah pertandingan antara Manchester United melawan Liverpool dengan skor akhir 0–5 untuk Liverpool, orang-orang yang melekat pada Manchester United akan merasa hari ini adalah hari yang paling buruk, dan orang-orang yang melekat pada Liverpool akan merasa hari ini adalah hari yang paling cerah, apakah kamumelihat ada yang aneh di sini?

Saya mengidentifikasikan diri saya dengan Manchester United, maka saya kecewa. Coba saya mengidentifikasikan diri saya dengan Liverpool, pasti saya akan bahagia. Lalu kenapa saya mengidentifikasikan diri saya dengan Manchester United alih-alih liverpool? Nah itulah kunci pertama (dari banyak gembok lainnya) untuk melepaskan diri dari kelekatan, saya harus menyadari/mengerti alasan-nya dulu supaya bisa lepas.

Setiap orang pasti mempunyai latar belakang yang berbeda dibalik kelekatannya, sebagai contoh, setelah saya dalami dan sadari, ternyata alasan saya sangat menyukai Manchester United karena di tahun 1998; pertama kalinya saya mengikuti Piala Champions dengan lengkap, bersama Ayah saya, kami kagum dengan semangat juang Manchester United hingga mendapatkan treble winners.

Pengalaman intim tersebut menjadi dasar kelekatan di alam bawah sadar saya, yang pada akhirnya membuat saya meng-identifikasikan sebuah klub bernama Manchester United dengan diri saya. Saya tidak menyadari bahwa hal ini ternyata memberikan konsekuensi, karena ketika ada orang yang menghina Manchester United, saya merasa mereka menghina saya (juga menghina pengalaman saya bersama Ayah saya di tahun 1998). Padahal yang terjadi adalah: seseorang menghina klub bernama Manchester United (yang bahkan komposisi pemain dan manajernya sudah berubah), dia tidak menghina saya ataupun pengalaman saya. Manchester United bukan saya, dan lebih jauh lagi, pengalaman saya juga bukan saya.

Latar belakang setiap orang pasti berbeda-beda, dan hanya kamu sendiri yang mampu menguak asal muasalnya. Di hari ketika kita berhasil menyadari kelekatan kita, kita tidak akan merasa senang lagi ketika dipuji dan tidak akan merasa terluka lagi ketika dihina karena-nya. Karena yang dipuji bukan dirimu, dan yang dihina juga bukan dirimu.

Desainer yang tidak melekat

Jika saya berhasil menyadari bahwa Manchester United itu bukan “saya”, dengan berjalannya waktu (dan banyak latihan), saya bisa menyadari bahwa “desain/solusi saya” itu juga bukan “saya”. Betul desain/solusi itu adalah hasil usaha/keringat saya, tetapi itu bukan saya. Kenyataannya adalah: desain/solusi tersebut lahir dari pemikiran/knowledge/riset yang saya punya/lakukan pada waktu tersebut, tetapi itu bukan “saya”. Bisa jadi ketika 6 bulan setelahnya saya di-assign lagi untuk memecahkan masalah yang sama, desain/solusi saya bisa berbeda, karena bisa jadi saya sudah mendapatkan pemikiran/knowledge/riset yang baru, yang tidak saya ketahui sebelumnya.

Ketika kita bisa memisahkan “saya” dan “desain saya”, kita tidak akan terpengaruh secara emosional apabila ada seseorang yang memuji ataupun menghina “desain saya”. Desain/solusi tersebut adalah hasil pemikiran saya, bukan saya, jadi ketika ada yang menghina “desain saya” mungkin memang ada kesalahan dalam pemikiran/pertimbangan saya, dan saya pun bisa menelusurinya lagi tanpa terpengaruh secara emosional. Begitu pula bila ada yang memuji “Desain saya” mungkin saja ada kesepemahanan dalam pemikiran/pertimbangan saya dengan orang yang memuji tersebut, dan itu hal yang biasa saja.

Level yang lebih dalam

Pada akhirnya, tahapan tertinggi terjadi ketika kita bisa menghilangkan “saya” di dalam solusi/desain yang kita kerjakan, sehingga hanya tersisa “problem” dan “solusi” (beserta pemikiran/knowledge yang mendasarinya). Kita/saya hanyalah sebuah media fasilitator yang mempertemukan kedua hal tersebut. Tidak ada lagi “saya” di dalam desain/solusi saya, saya tidak identik dengan desain/solusi saya, tidak ada peng-identifikasian diri, tidak ada keterikatan emosi pada prosesnya, sehingga problem yang ingin dipecahkan bisa dilihat dengan jernih secara objektif, dan solusinya pun bisa muncul dari pemikiran dan pertimbangan yang jernih lepas dari pengaruh emosional.

Ketika saya berbicara mengenai melepas kelekatan, itu bukan berarti melepas tanggung jawab. Tentu saja kita harus mempertanggung jawabkan solusi/desain kita, segala konsekuensi yang mengikuti solusi/desain yang kita ajukan tetap harus kita pertanggung jawabkan. Kita tetap harus mempertanggung jawabkan prosesnya, datanya, knowledgenya, risetnya, dan tentu saja landasan yang kita gunakan. Yang kita lepas adalah keterikatan emosionalnya, sehingga ketika ada kritikan/hinaan/pujian/approval hal itu tidak mempengaruhi perasaan/emosi kita, sehingga kita bisa melihat kritikan/hinaan/pujian/approval tersebut dengan pikiran dan hati yang jernih.

Ada seorang bijak yang pernah berkata, manusia itu seperti robot dengan 2 button, tekan button hinaan maka robot tersebut akan marah, dan tekan button pujian maka robot tersebut akan senang. Apakah kita adalah robot?

Saya tidak mengatakan bahwa diri saya sudah terlepas dari semua kelekatan, secara sadar maupun tidak sadar, saya masih melekat kepada banyak hal, termasuk pada hasil desain/solusi saya, dan saya pun masih terpengaruh secara emosional pada celaan dan pujian. Tetapi dengan belajar menyadari hal ini setiap saat di dalam proses berkarya, bahwa kita masih sering melekat, akan membantu kita untuk lepas sedikit demi sedikit dari kelekatan tersebut.

--

--