Punchline bernama Pandji

Rendy Ridwan Hidayat
Rolling Glory Blog
Published in
4 min readMar 14, 2018

Brace with me for a long reading material.

Beberapa waktu ini, dunia politik dan social media sedang dibuat ramai oleh manuver Pandji Pragiwaksono. Kemunculan billboard ‘caleg’ ini sukses membuat hangat situasi di tahun politik ini.

Tidak sampai billboard, Pandji meyakinkan semua orang bahwa dia akan terjun ke dunia politik dengan manuver-manuver lanjutan seperti membuka tawaran menjadi relawannya.

Beragam reaksi tentu saja diterima Pandji melalui kanal sosial medianya. Banyak sekali orang yang kecewa akan keputusannya ‘nyaleg’ namun tidak sedikit juga orang yang memuji keberaniannya melakukan hal tersebut.

Apalagi, Pandji terkesan memberikan informasi yang sangat terbatas mengenai pencalonannya tersebut. Pandji hanya membuat situs pilihpandji.com dengan sebuah countdown timer.

Reaksi yang berdatangan semakin bergulir seperti snowball effect sampai, tadi malam. Apa yang sebenarnya terjadi?

Set up and Punchline.

Kalau anda akrab dengan dunia stand up comedy, tentunya anda akan tahu bagaimana pola penyajian jokes dilakukan oleh seorang comic. Saat menyajikan jokes seorang comic akan membuat set up berupa premis premis yang diambil dari dunia nyata, kejadian nyata yang terjadi dan hal-hal yang bisa kita rasakan bersama.

Saat audience sudah bisa menerima premis tersebut, comic kemudian menyampaikan pesan yang ingin disampaikan secara komedi melalui sebuah punchline. Tentu saja punchline harus memiliki element of suprise untuk membuat audience tertawa secara jujur.

Apa yang dilakukan Pandji dengan billboardnya kurang lebih adalah sebuah set up and punchline yang sungguh berani. Keyakinan orang-orang bahwa Pandji akan ‘nyaleg’ sirna seketika begitu countdown timer pada website pilihpandji.com berakhir. Alih-alih ‘nyaleg’, Pandji mengumumkan stand up special-nya yang ke-5.

Curtain close, some give applaud, others disappointed.

Melakukan hal tersebut diruang yang begitu terbuka dengan audience yang begitu luas dan beragam adalah sebuah langkah yang riskan. Karena sudah barang tentu aksi dan reaksi yang didapat sangat mustahil untuk diprediksi. Tidak peduli, Pandji sukses dengan social experiment-nya.

Pandji is Mr. World Tour

Big revealing yang dia lakukan dirasa sangat special karena ini adalah kali ke-3 dia melakukan world tour untuk stand up special-nya. Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi mengingat titel ‘orang Indonesia pertama yang melakukan world tour dengan karyanya’ juga dimiliki oleh orang yang sama.

Dengan pencapaiannya tersebut pula, Pandji meyakinkan masyarakat bahwa selain menghasilkan karya yang berkualitas, bagaimana pekarya memasarkan karyanya juga tidak kalah penting.

Pandji tahu persis rasanya menjadi orang yang tidak dihargai atas pencapaiannya menjadi Mr. World Tour. Mesakke Bangsaku adalah kali pertama Pandji berkeliling dunia menjajakan opininya lewat komedi tapi gagal mendapat apresiasi yang layak karena kurangnya exposure dari media.

Terlebih lagi, kegagalan tersebut bukanlah hal pertama yang dia rasakan saat memasarkan karyanya. Pandji yang juga membuat karya rap selalu memutar otak saat memasarkan album barunya. Dari membagikan albumnya secara gratis sampai merilis album yang tidak laku dibagikan juga pernah dia rasakan.

Akumulasi kegagalan itu membuat Pandji sangat fasih membuat strategi marketing untuk karyanya. Hal ini membuat saya sangat yakin bahwa street smart sangat dibutuhkan bagi seorang pemasar. Kalian tidak akan pernah dapatkan insight-insight emas dari buku-buku pemasaran yang dijual di toko buku. Untuk menjadi pemasar yang handal, kalian harus berada dijalanan, babak belur, lapar dan sakit hati.

He who danced in Grey.

Lalu apa yang bisa kita pelajari bersama dari kasus menarik ini?

  1. People believe what they wanted to believe.

Track record Pandji sebagai timses Jokowi lalu Anies, membuat Pandji berada dalam radar netizen. Opini-opini yang Pandji lemparkan pada stand up special-nya kontradiktif dengan manuvernya membela Anies di Pilkada DKI.

Netizen sangat menunggu Pandji melakukan kesalahan. Dalam hal ini, ‘nyaleg’ adalah santapan lezat bagi para netizen untuk melakukan bullying; hal yang sangat lumrah ketika membela sebuah ide, ironis.

Pandji, yang tahu betul hal tersebut, mencoba ‘menari’ diantara cemoohan dan caci maki netizen. Mencuri perhatian dan pandangan sambil terus menerima caci maki, Pandji terus memberikan apa yang netizen mau. Kesalahan demi kesalahan seolah dibuat untuk memberi asupan para haters.

Namun pada saatnya tiba, Pandji balik mengolok-olok semua orang dengan apa yang sebenarnya sedang dia lakukan. Dia sukses mencuri perhatian, mendapatkan exposure sekaligus menjadi sebuah cermin betapa bobroknya mental masyarakat saat menghadapi informasi yang belum jelas rimbanya.

2. Mainstream Media akhirnya mengakui Pandji.

Ingat betapa Pandji struggling mendapat exposure media untuk stand up special-nya? Kali ini dia berhasil mendapat exposure dari Kompas dan Detik (cari aja sendiri artikelnya ya, hamba letih). Ya, liputan mengenai terjunnya Pandji ke dunia politik, tapi ‘kan akhirnya bukan. Tapi ‘kan akhirnya dapat exposure, toh?

Apa prestasi itu se-begitu-tidak-seksi-nya sehingga susah sekali mendapatkan exposure dari media mainstream?

3. Pandji menggiring opini dan membuat narasi.

Ini sih yang paling #ugh. Hanya bermodal website, video youtube, series of tweet, Pandji sukses membuat opini dan narasi. Sekali lagi Pandji membuat cermin bobroknya mental masyarakat. Mengingatkan bahwa kita harus selalu berhati-hati ditengah proxy war yang sedang terjadi, apalagi di tahun politik seperti ini.

Boleh jadi apa yang dilakukan Pandji ini jauh dari kata lucu. Boleh jadi apa yang dilakukan itu jauh dari kata etis. Boleh jadi idealisme yang selama ini dia gadang gadangkan hanya gimmick marketingnya.

Tapi menjadi sebuah pencapaian bagi sang pekarya bahkan menjadi pelajaran yang unik bagi kita diskusikan bersama. Dan pada akhirnya punchline itu bernama Pandji Pragiwaksono, marketeers handal.

--

--