Jakarta itu Tidak Romantis

Radiva N. Nabila
Ruang Maya
Published in
3 min readFeb 3, 2021

Sesungguhnya aku tidak mau meromantisasi Jakarta, karena Jakarta sungguh tidak romantis bagiku. Jadi jangan kira tulisan ini adalah sebuah surat cintaku kepada Jakarta, mungkin ini lebih seperti surat komplen.

Love-hate: cinta dan benci.

Mungkin itulah dua pasang kata yang tepat untuk mendeskripsikan Jakarta bagiku. Kalau jauh rindu, kalau dekat kesal bukan main. Bahkan mungkin rasa itu adalah rasa yang saling terbalas.

30 April 1998, saat itu Ibuku dilarikan ke salah satu rumah sakit di sebuah Kota dekat dengan Kota Jakarta. Roman-romannya aku akan segera lahir. Berjam-jam lamanya, keluargaku menunggu kedatanganku ke dunia, namun berjam-jam pula aku menolak untuk keluar. Merekapun kembali pulang ke rumah. Lalu 1 Mei 1998, ibuku kembali dilarikan ke salah satu rumah sakit, namun kali ini ia dilarikan ke salah satu rumah sakit di Jakarta. Lalu siang itupun aku resmi hijrah (atau sebaliknya) ke alam dunia.

Saat memasuki jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama orang tuaku memberikanku kepercayaan untuk memilih sekolah mana yang ingin aku tuju selanjutnya. Waktu itu aku dibuat bingung dengan dua pilihan sekolah yang ingin aku tuju. Yang satu letaknya dekat dengan rumahku dan yang satunya terletak di Jakarta. Lalu anak bodoh berusia12 tahun itu malah berani mengambil keputusan untuk bersekolah di Jakarta. Pukul 5.15 pagi adalah waktuku berangkat sekolah dan pukul 5.15 sore adalah waktuku sampai ke rumah. Jaraknya tidak seberapa, namun kemacetan yang seakan mengurangi usiaku beberapa tahun itu adalah masalah utamanya. Terhimpit orang-orang di trans jakarta, berebut kursi, menunggu angkot, dipalak, menyaksikan kecelakaan, bertemu orang gila, menunggu bus berjam-jam, dan berbagai macam kejadian lainnya telah aku alami selama kurun waktu 3 tahun dalam perjalananku bolak balik Jakarta ke rumah. Mungkin mulai saat itu aku mulai membenci kesemrawutannya Jakarta. Padahal aku sendiri yang memilih untuk mengenalnya.

Lalu saat memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah atas, karena satu dan lain hal, akhirnya aku terpaksa pindah ke Jakarta. Sedih rasanya harus meninggalkan kota di mana aku dibesarkan, meski sebenarnya jarak tidak seberapa. Namun pada akhirnya aku kembali ke kota kelahiranku itu.

Dan sekarang hampir 5 tahun lamanya aku jauh dari kota itu. Kadang aku merasa rindu, namun juga sesak bila harus kembali kepadanya. Pernah saat itu aku, temanku, dan kakakku berkesempatan pulang ke Jakarta. Awalnya aku senang dan menantikan perjalanan tersebut, namun makin dekat dengan Jakarta, makin kesal rasanya aku melihat gedung-gedung dan fly over tumpuk tiga, yang makin lama makin menutupi langit. Belum lagi banyaknya motor, mobil, becak, delman, bajaj, bus, angkot, dan segala jenis entah apa kendaraan itu yang menutupi aspal jalan, sampai warna abu-abu itupun sulit terlihat. Sungguh rasanya aku ingin buru-buru keluar dari Kota sialan itu.

Tapi melihat kembali kebelakang, berbagai kejadian selalu menarikku kembali ke Jakarta. Mungkin ada suatu entitas yang mengikatku dengan Jakarta.

Tapi,

Mungkin sesungguhnya Jakarta bukan hanya sekedar sebuah kota bagiku. Karena ia bertindak selayaknya bagian dari keluargaku. Yang daripada diikat oleh darah, hubungan itu terjalin karena adanya entitas apalah itu yang selalu mengikatku kepada kota itu. Selayaknya seperti saudara, kadang kala ia membuatku jengkel, namun juga memberi rasa aman. Karena seburuk-buruknya aku, setidaknya aku masih disebut dalam doanya atau sekedar terbesit dalam benaknya.

Sesungguhnya tulisan ini membuatku merasa geli sendiri. Mungkin karena aku merasa sedekat itu dengan Jakarta, makanya malah makin sulit untuk menunjukkan rasa cinta kita kepadanya. Jadi, mungkin inilah hubunganku dan Jakarta, yang sama sekali tidak ada romantis-romantisnya.

Tulisan ini adalah bagian dari tulisan rutinitas menulis bulanan bersama teman-teman Ruang Maya.

--

--