Sebuah Cerita Pendek: Di Bawah Payung Hukum

Alibi Ali
Ruang Maya
Published in
6 min readMay 14, 2021

"Selamat pagi, Chuck. Bagaimana kabarmu? Kau tampak lebih gemuk dari sapi yang terkena tetanus," ucapnya.

"Tutup mulutmu. Segera lakukan tugasmu dan biarkan aku pulang."

Di hadapanku, berjarak satu lempengan besi yang disulap menjadi daun meja, seorang pria berlencana telah duduk di atas kursi besi yang berada tepat di bawah lampu gantung.

"Baiklah jika itu maumu." Salah satu ujung bibirnya menukik, bersamaan dengan kedua bahu yang kompak terangkat, "apa kau keberatan bila aku merekam semua percakapan kita?"

"Lakukan apa yang harus kau lakukan."

Pria itu mengangguk.

CLEKK!!

Telunjuk yang meruncing itu menghunjam ke bawah, ke arah tombol merah yang terbubuh di atas benda persegi.

"Charles McKinton. Apakah benar itu namamu?"

"Ya."

"Bisa kau jelaskan, di mana keberadaanmu pada hari kamis malam, tanggal 18 November?"

"Aku ada di rumah."

"Di rumah." Ujung pena yang digenggam pria berlencana itu terus bergerak, menorehkan tinta merah pada lembaran kertas kecil. "Bersama siapa kau berada di sana, Tuan McKinton?"

"Derby. Anjing kesayanganku."

Seketika penanya berhenti bergerak. Pandangan yang sejak tadi tertuju pada lembaran kertas kini diarahkan padaku. Kelopak matanya sedikit menyipit, tertutup oleh kulit wajah yang terdorong ke atas akibat ujung-ujung bibir yang merenggang begitu lebar, "hanya kau seorang diri. Jadi ... Tak ada yang bisa menguatkan alibimu. Bukankah begitu, Tuan McKinton."

"Kau bisa bertanya pada anjingku jika mau."

Seketika semuanya kembali normal. Kelopak matanya kini kembali membulat sempurna. Begitu juga dengan kulit wajah dan ujung-ujung bibir yang kembali direkat oleh otot kaku, "kau tak pantas bercanda denganku, kriminal."

CLEKK!!

Suara itu kembali mengikuti gerak telunjuk yang menghunjam ke bawah.

"Kita bisa istirahat terlebih dahulu jika kau mau, Chuck." Tubuh tegapnya membungkuk, tertumpu pada meja besi.

"Tidak. Tidak perlu. Cepat tekan tombol sialan itu dan lanjutkan pertanyaanmu."

"Kau tak pantas memerintahku, Chuck." Kedua matanya menatap tajam, dengan senyum lebar yang menyembunyikan barisan giginya, "saat ini aku sedang ingin berbincang dengan kawan lama. Kawan lama yang sudah begitu lama tak bertemu denganku."

KREKK!!

Kaki-kaki kursi bergerak mundur, menggesek lantai beton hingga suara deritnya menggema dalam ruangan berukuran 6×6 meter ini. Tepat di depan wajah, sepasang alas sepatu telah menyilang, terjulur panjang di atas meja besi ini. Saat itu juga, benda persegi terbanting ke lantai hingga komponen-komponen penyusunnya tercecer keluar, "jadi bagaimana kabarmu, Chuck?"

Dadaku terbusung, diisi oleh oksigen yang tertahan di dalamnya. Tenggorokanku tetap kering walau berkali-kali dialir oleh air yang memenuhi rongga mulut. Bola mataku terus berputar, berlarian ke sana ke mari mengelilingi ruangan persegi yang dipagari tembok beton.

"Kau tak jauh berbeda dari terakhir kali kita bertemu, Chuck. Kau masih tetap gagah. Hanya saja kini badanmu lebih besar. Ya, aku bisa mengerti, mungkin hidup di luar sana lebih membuatmu bahagia."

"Apa kau sudah selesai dengan pertanyaanmu? Jika sudah aku ingin segera pulang," ucapku seraya menumpukan kedua tangan di atas dinginnya meja besi.

"Kenapa kau terburu-buru, Chuck? Apa kau tak senang bertemu denganku?"

Aku tak menjawab. Tubuhku kini telah bangkit dari kursi dan melangkah menuju pintu baja. Dalam genggaman, gagang yang menempel pada pintu itu tak bergerak walau kutarik dan kudorong sekuat tenaga.

"Bisa kau bukakan pintunya?" Aku membalik badan, memandang ke arahnya.

"Pintu itu dikunci dari luar. Jika kau mau, minta saja pada orang yang ada di luar sana. Itu pun kalau mereka dapat mendengar suaramu."

"Kau tak punya hak menahanku. Aku ingin bertemu dengan pengacaraku."

Suara dengusan tiba-tiba keluar dari balik bibir yang menyungging itu.

"Apa? Apa maksudmu? Kenapa kau tertawa? Apa yang salah denganku?"

"Tak ada yang salah, Chuck. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja aku tak habis pikir, mengapa orang sepertimu tak menunjukan rasa hormat pada petugas. Aku bahkan belum memintamu pergi, tapi kenapa kau sudah meninggalkan kursi besi yang nyaman itu? Silakan duduk lagi, kawan. Jika kau tak keberatan, aku akan memberikan satu-dua pertanyaan tambahan."

Aku menelan ludah, dan sesaat kemudian aku sudah kembali terduduk di atas kursi besi itu, "aku ingin bertemu dengan pengacaraku."

Ia tersenyum, "pengacara? Apa maksudmu wanita itu? Wanita yang saat itu berhasil mengeluarkanmu dari sini?"

"Ya. Dan sekarang ia akan melakukan hal yang sama."

Kepala pria itu terus dianggukan, "ya. Wanita itu memang pintar. Ia berhasil mengeluarkanmu saat aku dibebas tugaskan. Benar-benar suatu kebetulan."

Kedua mataku menyipit.

"Bagaimana kabarnya? Dia ada di mana saat malam kejadian?"

"Itu bukan urusanmu."

"Dari cerita yang kudengar, hubungan kalian semakin tak harmonis setelah kematian anak pertama kalian setahun yang lalu. Apakah itu benar?"

"Kau tak berhak menanyakan kehidupan pribadiku."

"Kau tahu jika aku dan dia dulu pernah memiliki hubungan, kan, Chuck? Legendaris. Sangat legendaris. David dan Kim. sheriff dan pengacara kebanggaan kota yang menjadi sepasang kekasih." Kakinya perlahan diturunkan dari atas meja "legenda itu bertahan cukup lama, sebelum akhirnya ia pergi, memilih seorang kriminal dan membiarkan legenda itu menjadi sebuah kenangan."

"Apa maksudmu menceritakan kisah ini padaku? Aku ingin bertemu dengan pengacaraku."

"Tidak. Kau tidak bisa bertemu dengannya."

"Apa maksudmu?!! Itu hakku untuk bertemu dengan pengacara."

Sangat cepat untuk tubuhnya bergerak maju dan memberikan tatapan tajam di depan wajahku, "kriminal sepertimu tak pantas mendapatkan hak."

Mendengar kalimat itu, cairan kental seketika keluar dari mulutku dan mendarat tepat di atas wajahnya. Tak menunggu lama, kepalan tangannya seketika membalas itu semua. Tak hanya sekali, kepalan tangan itu terus menghujani pipi hingga aku terhempas ke lantai.

Pandanganku kabur. Aku tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di hadapanku kecuali tubuh besar yang berjalan mendekat. Tak menunggu lama sebelum akhirnya tubuh besar itu menindih dan kembali menghadiahkan kepalan tangannya padaku. Masih sama, tak hanya sekali, tetapi berkali-kali, hingga aku tak bisa lagi merasakan organ-organ yang menyusun wajahku.

Tangan besarnya kini menarik, menyeret tubuh yang tak lagi berdaya ini ke ujung ruangan dan menyandarkannya pada dinding beton, "apa kau masih ingin bermain-main denganku, Chuck?"

"Kau melanggar hukum, keparat!! Aku akan menuntutmu."

Saat itu juga suara tawa yang memekakan telinga memantul pada dinding-dinding beton dan menggema dalam ruangan ini, "apa aku tak salah mendengar? Kau, Charles McKinton, seorang kriminal kelas teri ingin menuntutku, David Bowman, seorang sheriff kebanggaan kota ini? Kau benar-benar lucu, kawan."

"Lihat saja nanti."

"Ya, kita lihat saja nanti. Kau pikir aku tak bisa menghukummu atas kejadian kamis malam yang terjadi di dekat rumahmu itu?"

"Aku tak bersalah, bangsat!!! Kau yang melakukan itu semua!! Kau yang menyuruh orang-orang itu!! Kau ingin menjebakku!! Kau ingin memasukanku ke dalam penjara lagi!! Kau yang harus bertanggung jawab atas itu semua!!!"

"Jika memang seperti itu, sayangnya kau tak memiliki cukup bukti, Chuck."

"Kau juga tak punya bukti untuk memenjarakanku, bangsat!!!"

Sekali lagi suara tawa itu menggema, hanya saja kini diikuti oleh tangan besar yang mencengkeram leher, "asal kau tahu, aku tak perlu bukti untuk memenjarakanmu. Aku adalah David Bowman. Semua orang yang ada di pengadilan hormat padaku. Aku yang membukakan pintu untuk mereka hingga bisa duduk manis di balik meja hakim. Hanya perlu satu kalimat yang keluar dari mulutku untuk membuat mereka menghukummu dengan berat. Jadi kau tak usah bersedih."

"Kalian manusia-manusia keparat!! Semoga kalian membusuk di neraka!! Kalian melanggar hukum, bangsat!!!"

"Hukum? Apa yang sudah dikatakan wanita itu padamu, Chuck? Apa kau lupa sedang berada di mana? Sekarang kita ada di Bananes, sebuah daerah yang ukurannya tak lebih besar dari tanda koma. Jika kau ucapkan nama daerah ini di ibu kota, lantas orang-orang di sana akan mengira kau menyebutkan makanan berbahan dasar pisang yang dipadukan dengan keju basi." Tangan kanannya menarik rambut belakangku, "akan kuperjelas jika kau masih belum paham juga. Tidak ada hukum yang berlaku di daerah sialan ini."

Tangan besar itu kini kembali menyeret, dan mengangkat tubuh ini ke atas kursi besi.

"Waktunya untuk pulang, Chuck. Pulang ke tempat di mana semestinya kau pulang. Tempat yang sudah ditakdirkan untuk orang-orang sepertimu. Selamat tinggal, Chuck." Bersamaan dengan itu, tangan besarnya mendorong kepalaku hingga menghantam meja besi.

Kini aku tak bisa lagi merasakan betapa dinginnya meja besi ini, yang bisa kurasakan hanyalah cairan hangat yang mengalir di sekitar wajah.

--

--

Alibi Ali
Ruang Maya

Bukan siapa-siapa, hanya gumpalan otak yang kebetulan menemukan pena dan kertas.