Serunai

Yasmin Meidiana Syarif
Ruang Maya
3 min readFeb 25, 2021

--

Hatiku sedikit mencelos saat melihat serunai yang tak kunjung berbunga, padahal Februari telah menginjak minggu terakhirnya. Langkahku perlahan mendekat pada tanaman itu, menyentuh daunnya seakan sedang bertanya, “Mengapa kamu tak kunjung berbunga, bahkan di hari ulang tahun Serunai?”

Lamunanku buyar saat istriku memanggil dari balik pintu teras. Aku menghampirinya seraya berucap khawatir, “Bunganya tak kunjung mekar.”

Kulihat jelas air muka istriku berubah murung, namun sejurus kemudian ia menghibur sembari menaruh gelas kopiku di atas meja teras, “Tidak apa, Pa. Hujan turun terus akhir-akhir ini, jadi mungkin waktu mekarnya berubah. Kita bisa beli bunga serunai di dekat taman kota untuk hadiah Serunai nanti. Aku juga sudah menyiapkan kue brownies coklat kesukaannya.” Istriku lalu kembali masuk ke rumah untuk menyiapkan kue ulang tahun Serunai, meninggalkan aku sendirian di teras rumah.

Aku menyesap kopi sembari berpikir. Ini pertama kalinya serunai itu tak berbunga, bahkan muncul kuncupnya pun tidak. Sejatinya tanaman itu telah istriku tanam sejak hari pertama kami tinggal di rumah ini. Istriku adalah seorang penyuka bunga dan menanam banyak jenis bunga, tapi serunai itu paling spesial. Ia hanya berbunga sekali dalam setahun, di bulan Februari, dan akan mekar saat ulang tahun Serunai, dengan jumlah kelopak bunganya akan sama persis dengan genap umur Serunai setiap tahunnya.

Benakku memutar kenangan perayaan tahunan kami saat hari lahir Serunai: kami akan memetik bunga serunai dan menghitung jumlah kelopaknya — kemudian bersorak saat jumlahnya sama dengan umur Serunai — lalu lilin kue dinyalakan dan kami akan bernyanyi bersama. Tahun ini, kami tak bisa merayakan ulang tahun bersama, jadi aku dan istriku berinisiatif mengantarkan bunga serunai dan kue ulang tahun untuknya.

Ingatanku melompat lagi ke momen di hari saat Serunai resmi berpraktik sebagai dokter di salah satu rumah sakit di pusat kota. Di malam hari saat kami berkumpul bersama, ia bercerita tentang harinya dan mimpinya melanjutkan studi spesialis. “Kamu kok hobi banget belajar,” tanggapku saat ia selesai berbicara, yang hanya dibalas oleh tawa Serunai.

Hari-hari itu, sayangnya, harus berakhir sejak pandemi terjadi. Rumah sakit tempat Serunai ditunjuk menjadi tempat rujukan, dan Serunai menjadi salah satu dokter umum yang menjadi garda depan. Ia hanya diperbolehkan pulang satu bulan sekali, itupun harus melalui proses isolasi mandiri.

Lagi-lagi sahutan istriku yang membangunkanku dari lamunan itu. Aku buru-buru menghabiskan tetes terakhir kopi, kemudian lekas bersiap-siap ke rumah sakit. Kami tidak bisa bertemu langsung dengan Serunai dan hanya diperbolehkan menitipkannya ke loket barang pada jam-jam tertentu — aku dan istriku harus bergegas.

Penjual bunga itu memberikan uang kembalian melalui jendela mobil sembari memberikan beberapa tangkai bunga serunai beragam warna. Aku segera memutar kemudi menuju ke rumah sakit — waktu kami terbatas. Aku sengaja menyalakan radio untuk mengetahui kabar lalu lintas sebab macet telah kembali dari semedinya. Istriku mengeluhkan betapa orang-orang bersikap acuh pada pandemi sementara anak semata wayang kami harus mengurus orang-orang yang sakit dan kini berjibaku antara hidup dan mati sejak dinyatakan positif seminggu yang lalu.

Radio tengah memutar lagu sendu kekinian dan aku tengah menatap barisan panjang mobil yang hendak berbelok ketika handphone istriku berdering. Sekilas kulihat istriku menegang, namun tetap mengangkat telepon itu. Samar-samar kudengar kabar yang membuat pagi itu terasa gelap.

“Kondisi Serunai memburuk sejak semalam…saturasi oksigennya turun drastis…dipindahkan ke ICU…jika terus memburuk harus dipasang ventilator.”

Hatiku semakin mencelos saat tiba-tiba teringat pada serunai yang tak berbunga di pekarangan rumah.

Karya ini merupakan bagian dari publikasi bersama Ruang Maya dengan tema Ulang Tahun.

--

--