Membedakan Metrik Produk dan Fitur

Hendro Riyadi
Ruangguru
Published in
3 min readNov 30, 2021

Di tahun 2019, saya mendapat kesempatan untuk membantu penyelenggaraan Product Management Festival di Zurich, Swiss. Saat itu, saya mendapat kesempatan bertukar pikiran dengan salah satu pembicara yang kami undang, yaitu ex-VP Product dari Netflix. Dia menjelaskan bahwa di perusahaannya, CEO berfokus pada growth, sedangkan CFO lebih memperhatikan bottom line, jadi sebagai VP Product, ia harus menjadi penengah dengan fokus pada retention. Sejak pembicaraan ini, saya mulai menjadikan retention metrics sebagai fokus dari tim product.

Lalu, sebagai seorang Product Manager, bagaimana cara kita mengevaluasi performa produk vs. fitur? Apabila sebuah produk dinilai bagus, apakah artinya semua fitur-fitur di dalamnya juga baik? Belum tentu demikian. Contohnya, ada sebuah produk dengan performa bagus yang mempunyai sepuluh fitur. Dari sepuluh fitur tersebut, delapan diantaranya baik, sedangkan dua yang lain masih kurang baik. Jika kita hanya melihat performa produk secara keseluruhan, bukan performa dari setiap fiturnya, maka dua fitur yang kurang baik ini akan selalu tersembunyi di belakang fitur-fitur lainnya. Fitur dengan kinerja yang lemah perlu kita identifikasi agar dapat diperbaiki atau dihapus. Selain itu, fitur yang sudah baik juga perlu untuk selalu dijaga atau ditingkatkan kualitasnya.

Jadi, bagaimana kita bisa menilai kualitas sebuah fitur?

Framework yang sering dipakai di industri seperti AARRR lebih cocok untuk melihat performa sebuah produk, bukan fiturnya. AARRR merupakan singkatan dari Acquisition, Activation, Retention, Referral, dan Revenue. Metrik-metrik Acquisition, Retention, serta Revenue paling sering digunakan untuk menganalisa produk. Ada beberapa kendala jika kita menggunakan metrik tersebut untuk menganalisa fitur:

  1. Acquisition: Metrik ini hanya bisa digunakan untuk produk secara keseluruhan. Tidak mudah untuk mengukur berapa banyak pengguna dari suatu produk yang dikarenakan oleh fitur tertentu. Data pelengkap lain yang sering digunakan bersama metrik ini adalah CAC (Customer Acquisition Cost), yang akan sangat rumit implementasinya jika digunakan untuk mengukur fitur.
  2. Retention: Tingkat retention yang sering dilihat adalah retention produk secara keseluruhan. Jumlah ini tidak dapat mewakili tingkat retention masing-masing fitur, karena tiap fitur di dalam produk dapat memiliki frekuensi penggunaan yang berbeda-beda. Misalnya, dalam sebuah aplikasi e-commerce, pengguna umumnya lebih sering menggunakan fitur beli pulsa karena merupakan kebutuhan bulanan, sedangkan fitur pembayaran PBB hanya perlu digunakan sekali setahun.
  3. Revenue: Kita tentu ingin mengetahui kontribusi revenue dari setiap fitur, sehingga kita dapat menyusun prioritas dengan lebih mudah, jelas, dan objektif. Ini adalah tujuan yang baik, tapi pada kenyataannya, tidak semua fitur mempunyai kontribusi langsung pada revenue. Jika hanya kontribusi revenue yang diperhitungkan dalam menganalisa kesuksesan sebuah fitur, maka fitur yang berbau platform akan selalu dianggap kurang penting. Produk atau fitur yang masih baru atau belum berkembang juga akan sering kehilangan prioritas.

Ada tantangan tersendiri dalam mengevaluasi fitur, karena product outcome seperti keberhasilan produk serta kemampuan memperoleh, mempertahankan, atau memonetisasi pengguna tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan tiap-tiap fitur di dalam produk. Maka, untuk menganalisa fitur, kita harus memperhatikan metrik-metrik berikut:

  1. Adoption: Jumlah pengguna yang memakai sebuah fitur untuk pertama kalinya. Jumlah acquired user untuk sebuah produk belum tentu memanfaatkan semua fiturnya, maka penting untuk mengetahui jumlah pengguna baru dari setiap fitur yang ada. Tapi, ini saja belum cukup karena terkadang kita menemui fitur yang kurang baik namun memiliki jumlah new users yang tinggi karena pengaruh exposure dan promosi berlebih. Sebaliknya, ada pula fitur bagus dengan jumlah new user yang rendah akibat kurangnya promosi.
  2. Retention: Seberapa banyak user yang kembali memakai sebuah fitur berdasarkan frekuensi gunanya. Metrik ini diperlukan untuk menjadi penyeimbang masalah promosi berlebih yang disebutkan di metrik sebelumnya. Biasanya, fitur yang kurang baik namun sering dipromosikan dapat menarik banyak new user, namun angka ini tidak akan bertahan lama karena pengguna dapat sewaktu-waktu berhenti menggunakan fitur tersebut.
  3. Active Users: Jika kedua metrik di atas sudah baik, maka total active users dari sebuah fitur akan naik seiring dengan waktu.

Setelah mendapatkan analisa fitur-fitur yang ada dalam sebuah produk, kita bisa membuat strategi produk dengan dasar yang kuat, terarah, serta berbasis data, bukan berdasarkan gut-feeling. Selamat mencoba!

Untuk informasi menarik lainnya seputar produk dan karir di Ruangguru, ikuti Instagram kami di @lifeatruangguru dan LinkedIn Ruangguru.

--

--

Hendro Riyadi
Ruangguru

SF Bay Area — Jakarta. SVP Product @Ruangguru. MBA @BerkeleyHaas. Board Member @ProdMgmtF. (Prev: VP Product @ Bukalapak, @Intuit, @GoDaddy)