Demokrasi Indonesia bersama Latahnya Rakyat akan Nilai Perjuangan dan Nilai Kebenaran

Muhammad Amin Zaim
Rubrik Pabrik
Published in
5 min readFeb 16, 2018

--

Realitas Bangsa

Belum lama ini, kita semua mendengar berita tentang tertangkapnya Bupati Subang oleh KPK akibat kasus suap. Uang suap tersebut kabarnya akan digunakan sebagai dana kampanye Pemilihan Bupati Subang 2018. Sebelumnya kita juga sempat keheranan saat mendengar Bupati Ngada, yang juga Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae yang tertangkap OTT KPK di Surabaya. Tak mau kalah, Bupati Lampung Tengah sekaligus Calon Gubernur Lampung, Mustafa, juga ikut ditangkap KPK.

Sebuah pernyataan mengejutkan dari La Nyalla Matalitti membuat kita seolah ‘maklum’ kenapa hal di atas bisa terjadi. La Nyalla yang awalnya sempat digadang-gadang akan menjadi Cagub Jatim batal melaju dikarenakan ketidakbersediaannya untuk membayar ‘mahar politik’ awal sebesar Rp 40 M. Sempat disampaikan bahwa merupakan suatu kewajaran ketika seseorang akan bertarung di pentas politik untuk membayar ‘mahar politik’ yang akan digunakan sebagai dana operasional kampanye. Tidak jarang, jumlah fantastis tersebut dibebankan kepada sang calon pemimpin, yang belum tentu berasal dari kalangan berdompet super tebal. Biaya politik mahabesar merupakan realitas panggung perpolitikan, kata banyak orang. Yang mana dari hal tersebut minimal kita akan bertanya, darimana asal uang tersebut ? atau bagaimana cara mengembalikan biaya sebesar itu ?

Rakyat sebagai Penentu

Politik berbiaya tinggi bukan lagi menjadi hal yang asing di telinga kita. Besarnya jumlah uang yang dikeluarkan acap kali berbanding lurus dengan jumlah suara rakyat yang diraup. Niatan politisi untuk memenangkan pertarungan dengan cara bertarung besarnya uang di masa pemilihan disambut baik oleh rakyat yang membutuhkan dana secara cepat namun dengan tidak bertanggungjawab. Tidak sadar kah rakyat bahwa mereka sendiri lah yang menjadi perestu agar para koruptor naik menjadi pejabat, sekaligus sebenarnya memiliki kesempatan untuk berperan sebagai garda terakhir pencegahan adanya pejabat dari kalangan koruptor ?

Dalam sistem demokrasi yang saat ini Indonesia anut, apabila kita ditanya : Siapa yang memilih kepala daerah ? Rakyat jawabannya. Siapa yang memilih anggota DPR ? Rakyat kembali jawabannya. Siapa yang memilih Presiden ? Lagi-lagi rakyat lah jawabannya. Apabila kita menemui ada pejabat pemerintah yang berbuat menyeleweng, seharusnya kita bertanya balik, kenapa orang tersebut bisa menjadi pejabat pemerintah ?

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, luas wilayah terluas di Asia Tenggara, sumber daya alam terkaya di Asia Tenggara, namun hanya menempati peringkat ke-5 dalam hal pendapatan per kapita, menjadi hal yang kerap dimaklumi jika rakyat Indonesia seringkali dengan mudah tergiur oleh godaan berbau ‘penebalan dompet’. Adalah sebuah hal yang wajar apabila seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu atas dasar pemenuhan kebutuhan dasarnya, apalagi bagi mereka yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya secara konsisten dan mapan. Namun, hal yang perlu kita soroti di sini adalah adanya dorongan untuk berbuat yang tidak semestinya atas dasar kemudahan dan kepraktisan, contohnya adalah melanggengkan politik uang. Pada akhirnya, rakyat yang berintelek akan menulis di kolom media massa, rakyat golongan pertengahan akan memobilisasi diri turun ke jalan, rakyat golongan bawah akan merintih kesakitan mengharapkan pertolongan pemerintah yang sudah semrawut. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi masalah rakyat, masalah yang timbul karena perilaku rakyat itu sendiri.

Bangsa sebagai Cerminan Pemimpinnya, Pemimpin sebagai Cerminan Rakyatnya

Suatu bangsa akan bergerak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh si pemegang kekuasaan tertingginya. Keberhasilan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sangat bergantung kepada kualitas rakyatnya. Sama halnya dengan memberikan obor kepada seorang bayi yang akan mana obor itu akan membakarnya, memberikan kekuasaan kepada pihak yang belum berkompeten hanya akan menghancurkan pihak itu sendiri bersama dengan pihak-pihak lain dalam komunitas tersebut. Sistem demokrasi mengharuskan suatu kondisi dimana rakyat telah siap menjadi pemimpin. Pemimpin dalam hal ini berarti rakyat mampu mengawal dan menunjukkan jalan yang harus bangsanya lalui dengan prinsip kebenaran, bukan atas dasar kenyamanan serta ego sektoral.

Memang seringkali terasa wajar ketika kita berada di posisi seorang politisi, yang berniat untuk menjadi pengabdi rakyat, harus mengumpulkan dana dari sana-sini untuk bisa memenangkan pilkada. Terasa wajar ketika kita harus membuat kontrak politik dan perjanjian kemudahan perizinan, demi mendapatkan modal kampanye, yang mana tanpa modal tersebut akan terasa sulit untuk memenangkan pertarungan. Menjadi hal yang seolah dapat dimaklumi ketika seorang kepala daerah berniat untuk mencari pengembalian modal ketika Ia menjabat, dikarenakan mahar politik yang Ia panggul selama masa pemilihan. Lalu kita akan bertanya, sebenarnya apa niat mereka yang mengajukan diri untuk memperoleh amanah tersebut ? Apabila Ia berniat untuk mengabdi kepada rakyat banyak, bukan kah tindakan menyeleweng seperti itu justru menjadikan amanah yang Ia panggul gagal mengantarnya untuk menggapai tujuan mulia tersebut ?

Antara benar dan mudah, benar dan nyaman, serta semangat juang

Hal-hal di atas sebenarnya bukan perkara abu-abu untuk diputuskan. Untuk menjadi seorang pemimpin di negeri yang perpolitikannya butuh biaya tinggi, seringkali dirasa bahwa mengumpulkan uang dengan cara menyeleweng serta berbagi kepentingan dengan para penggerogot sumber daya adalah hal yang maklum. Dimaklumi karena tanpa dana dan pembagian kepentingan tersebut, dirasa sebagai hal yang mustahil untuk bisa memiliki kekuasaan. Seringkali ada anggapan bahwa korupsi dalam hal ini adalah korupsi demi kebaikan karena dapat mengantarkan pemimpin yang baik ke puncak kekuasaan, tapi apakah benar pemimpin yang baik rela mengambil yang bukan haknya ? Pada titik ini lah pola pikir seseorang yang tidak memiliki semangat juang akan menganggap bahwa kebenaran adalah hal yang abu-abu, karena Ia mencampurkan antara kebenaran dengan kenyamanan.

Perpolitikan berbiaya mahal (high cost politics) merupakan suatu hal yang nyata di depan mata kita. Untuk berkuasa, memiliki dana besar merupakan hal yang tidak bisa ditabrak. Namun, fakta-fakta tersebut tidak lantas membuat korupsi, suap, berbagi kepentingan, dan tindakan-tindakan menyeleweng yang lain sebagai suatu kebenaran. Dengan kondisi ini, sudah jelas bahwa seseorang yang ingin memimpin negeri ini harus lah memiliki modal yang kuat, namun modal kuat tersebut harus lah berasal dari sesuatu yang halal. Di titik ini lah pemimpin tersebut harus mampu mengumpulkan modal sejak lama dengan cara bekerja keras, baru kemudian Ia mampu menggapai kekuasaan. Pemimpin dalam sistem kita harus lah seseorang yang telah selesai dengan urusan dirinya sendiri.

Pada titik ini lah, perjuangan untuk mengabdi kepada rakyat harus lah berlandaskan pada kebenaran, karena apabila tidak benar, akan ada yang terdzolimi. Pada titik ini lah, perjuangan untuk menggapai kebenaran harus diiringi dengan semangat perjuangan, karena pada dasarnya untuk mewujudkan suatu kebenaran merupakan proses yang panjang, dipersiapkan sejak lama, bukan merupakan proses instan yang dapat dipilih secara instan pula, Ia adalah suatu rangkaian.

Usaha Rakyat dalam Sistem Demokrasi

Dan pada titik ini lah, izin kan saya untuk berpendapat tentang rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia, sang pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini. Rakyat Indonesia, dari sana lah pemimpin Indonesia berasal, lalu kemudia memerintah antara satu dengan lainnya. Rakyat Indonesia butuh penyampai kebenaran, yang diiringi dengan semangat juang. Karena selama rakyat Indonesia belum bisa melihat kebenaran, belum memiliki semangat juang, posisi nya sebagai yang tertinggi memegang kekuasaan hanya akan menghasilkan kemudharata demi kemudharatan.

“Aku hanya berusaha menyampaikan apa yang benar, namun seringkali berakhir kurang didengar. Aku bisa memaklumi itu adalah hal yang wajar apabila kebenaran susah untuk diterima, karena kebanyakan kebenaran adalah hal yang tidak menyenangkan, kebanyakan kebenaran itu pahit, dan mengusik zona nyaman. Namun sebenarnya, apabila kita bersedia menghilangkan ego sektoral dengan tidak mencampur adukkan mana yang benar dengan mana yang nyaman bagi diri kita sendiri, kebenaran tersebut akan dengan mudah dapat kita lihat”.

Muhammad Amin Zaim

13014070

Referensi :

Budiarjo, Miriam. 2014. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Rumi, Jalaluddin. 2017. Fihi Ma Fihi. Yogyakarta : FORUM

http://nasional.kompas.com/read/2018/02/15/21235401/kpk-tangkap-bupati-lampung-tengah

https://news.detik.com/berita/d-3867846/bupati-subang-imas-diduga-pakai-uang-suap-untuk-kampanye

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/02/14/p45ann384-bupati-subang-terima-suap-untuk-kampanye

http://finansial.bisnis.com/read/20180107/9/723969/pendapatan-per-kapita-indonesia-hanya-tempati-peringkat-kelima-di-asia-tenggara

http://nasional.kompas.com/read/2018/02/15/20031191/politisi-pdi-p-penahanan-marianus-sae-ganggu-proses-kampanye-di-pilgub-ntt

http://news.liputan6.com/read/3224548/nyanyian-sumbang-la-nyalla-untuk-prabowo

http://www.pengertianahli.com/2015/01/demokrasi-adalah.html

--

--