Muhammad Amin Zaim
rubrixpabrix
Published in
5 min readJan 18, 2018

--

Sharing aja

Sebelumnya, saya tidak ada maksud untuk menggurui apa lagi merasa lebih pintar daripada saudara. Saya di sini hanya mencoba menyampaikan apa yang saya rasakan, apa yang hati saya tafsirkan, di saat saya mencoba sedikit mengacuhkan pikiran, dan fokus pada perasaan.

Setiap orang, disadari maupun tidak, pasti pernah mengalami suatu proses kaderisasi. Secara istilah, kaderisasi merupakan proses penurunan nilai antara orang yang memiliki nilai kepada orang yang belum memiliki nilai bersangkutan, tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, bangsa, dan IP. Berangkat dari sana, dapat kita simpulkan bahwa Ospek Jurusan pasti kaderisasi, hadir rutin pada suatu ceramah juga kaderisasi, pendidikan keluarga di rumah ya kaderisasi, sampai pada melihat orang memberi makan kaum papa, ngobrol dengan tukang becak tengah kota yang belum dapat tarikan, hingga membantu petugas sampah memungut sampah juga merupakan proses kaderisasi. Karena di sana kita juga dapat merasakan adanya suatu hal baru yang masuk ke dalam kepala kita dan tidak jarang kemudian menjadi pijakan dalam menjalani hidup.

Namun tak selamanya peristiwa-peristiwa seperti contoh di atas dapat menanamkan suatu hal baru dalam kepala kita. Ada kalanya kita justru merasa sebal karena merasa apa yang kita dengar dari mulut seseorang tidak sesuai dengan ujaran tangannya, ada kalanya kita malah tidak paham dan menilai bahwa apa yang disampaikan oleh seseorang tidak logis / tidak sesuai dengan realita kehidupan (terlalu idealis), terlalu naif, kampungan mudah ditipu, dll. Atau bahkan yang paling parah adalah ketika kita merasa apa pun yang disampaikan oleh orang itu pasti salah, sebenar apa pun orang tesebut, kita akan merasa hal itu tetap salah dan diiringi perasaan sebal. Hal-hal tersebut sangat mungkin terjadi meskipun value/nilai/poin yang ingin disampaikan kepada kita sebenarnya logis dan rasional. Hal tersebut seringkali berakar pada kita telah merasa suudzon dan tidak percaya pada si pengkader, atau lebih ekstrimnya : kita sudah benci dengan pengkader karena berbagai alasan yang berbeda-beda.

Saat kita berada di posisi pengkader, seringkali kita mengalami masalah serupa namun berbeda sudut pandang. Ada kalanya ketika kita ingin menyampaikan suatu materi/value, terjadi misinterpretasi, peserta kader dianggap tidak mampu menyerap materi, tidak mengerti-mengerti nilai, bebal, layaknya gelas penuh, mental generasi Z, dll. Hal yang kemudian kita lakukan adalah mengotak-atik metode penyampaian yang ada menggunakan logika kita. Kita coba dengan metode kasar, lembek, dll. Kita cek lagi analkon yang ada, atau bahkan analkon ulang, mencoba meraba-raba karakter yang mereka miliki, yang seringkali berakhir pada pernyataan bahwa mereka sangat berbeda tidak bisa digeneralisasi, mereka sudah penuh, terdapat oknum yang influencenya sangat kuat, dll. Lalu kaderisasi berjalan dengan monoton dan penuh penolakan. Hal ini terjadi dalam kaderisasi secara luasnya, seperti ketika kakak menasehati adeknya, ketika kita mengobrol dengan tukang nasgor, kaderisasi kampus, dll.

Hal yang berbeda dapat kita rasakan paling mudah saat kita berada di dalam lingkungan keluarga. Lingkungan penuh cinta yang hati kita sudah melebur di dalamnya. Dapat kita lihat, sangat sering (walaupun tidak semua) orang tua dapat dengan mudah menyampaikan suatu point / value kepada anaknya dan anaknya pun mendengarkan serta melaksanakannya. Dalam lingkungan sekolah TK/SD, saat kita SD sangat mudah kita merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Bu Guru merupakan sesuatu yang luhur dan benar serta kita langsung mengikutinya. Fenomena tersebut masih dapat kita temui ketika kita bertemu dengan seorang rekan atau kakak tingkat yang berkata dengan asyik/lembut tentang suatu hal mengandung value kemudian secara tidak sadar kita menerapkan dan mengubah diri kita ke arahnya dengan ikhlas. Hal-hal yang disampaikan tersebut terlepas dari koridor benar/salah, kajian mamet, logika kebenaran, dll. dan seringkali tanpa kita cerna secara mendalam namun di dalam diri kita tidak ada penolakan (entah itu terkadang kita interpretasikan sebagai rasa hormat, kagum,sayang, atau rasa-rasa lain yang sering kita tafsirkan sebagai sifat ‘bigot’)

Sebagai pengkader, keadaan-keadaan di atas seringkali kita anggap bahwa peserta kader mengalami sesat pikir, terlalu mengandalkan perasaan, sulit diajak berpikir dalam koridor logis-rasional, dll. Tapi, menurut pengalaman saya yang baru hidup ya paling kurang dari 13 tahun (usia waktu tidur tidak dihitung), memang seperti itu lah cara manusia bersikap. Algoritma berpikir manusia merupakan kombinasi antara logika dan perasaan. Manusia memang berpikir menggunakan logical fallacy-nya, manusia memang berpikir dengan menyertakan perasaan di dalamnya, sehingga hal yang benar menurut logika akan menjadi salah di mata seseorang apabila terdapat suatu penghalang dalam perasaannya, begitu pula sebaliknya. Sangat sering kita langsung berkata bahwa peserta kader gagal menafsirkan, tidak mampu menangkap maksud implisit, dll. Tapi ya memang begitu. Kesalahan terbesar kita adalah ketika kita ingin membuild suatu kaderisasi hanya dengan pendekatan logika saja, ketika kita tidak memperhatikan aspek perasaan di sana. Suatu aspek yang sangat menentukan diterima atau tidaknya segala value kebanaran hasil sintesis logika, suatu aspek yang akan menerjemahkan maksud implisit suatu kaderisasi, suatu aspek yang sangat menentukan apakah materi masuk atau tidak.

Aspek perasaan ini sebenarnya simpel, kasarnya adalah kita hanya perlu mendapatkan hati nya. Karena sekali hati ini lepas, akan menjadi bahaya. Secara sadar/tidak, hal-hal minor selama kaderisasi lah yang secara fluktuatif meningkatkan/menurunkan kepemilikan hati mereka di tangan kita, dan kabar buruknya adalah seringkali kita tidak sadar bahwa kita sedang mengatur salah satu aspek terpenting dalam kesuksesan kaderisasi. Misal, seringkali kita menekankan bahwa pengkader harus melakukan semua hal yang dikaderkan kepada peserta kader (yang kemudian muncul konsep KADERISASI DENGAN KETELADANAN), lalu sekali kita terlambat dalam suatu interaksi maka tingkat kepercayaan peserta kader akan turun serta menganggap nilai kedisiplinan yang selalu kita teriakan adalah omong kosong -> hati mereka lepas. Contoh lain, ketika kita menerapkan konsep perang pengkader sebagai kakak yang harus mengayom, ikut merasakan apa yang adiknya rasakan dan pikirkan (yang kemudian muncul konsep KADERISASI DENGAN HATI), suatu saat kita melakukan tindakan keras kepada peserta kader yang kalap, mereka dengan cepat akan menganggap kita kekanak-kanakan dan tidak bisa mengendalikan emosi -> hati mereka lepas.

Hal simpel dalam mendapatkan hati sebenarnya lebih sering terjadi dalam lingkup keluarga, misal ketika seorang kakak sering mengajak adiknya jalan-jalan naik motor setiap sore serta melindunginya ketika ada orang lain yang berlaku jahat, maka adik akan merasa bahwa adik akan selalu aman apabila berada di dekat kakanya, merasa bahwa kakak adalah makhluk superior yang selalu benar perkataannya, dan hati kita akan selalu mengatakan bahwa setiap perkataan kakak merupakan suatu titah yang harus dijalankan, karena kita pasti tidak ingin melihat kakak kita kecewa. Contoh lain adalah ketika kita menemukan seorang kakak tingkat yang sering mengajak kita bermain bersama, nyanyi bersama, futsal bareng, naik gunung bareng, datang di saat kita jatuh, ketika dia berkata pasti akan kita dengar, saran yang keluar dari mulutnya selalu kita pandang sebagai jalan keluar, karena sekali lagi hati kita sudah tertaut padanya, kita sudah bisa percaya bahwa dia bisa membuat kita aman. Sesesat itu kah logika berpikir manusia ? Selemah itu kah hati kita manusia ? Wallahualam bi shawab, ini hanya pengalaman saya, yang coba saya re-check ketika saya menggerakkan roda kehidupan sosial di jurusan saya (re : Himpunan), ketika hati hilang maka benar/salah akan selalu bermasalah, ketika hati didapatkan maka segala ucapan pasti akan diTuhankan.

Saya percaya, ketika kita ingin mengotak-atik pikiran seseorang, apa yang dilakukan terlebih dahulu adalah memahami bagaimana pikiran mereka bekerja lalu menyelam mengikuti dinamikanya, bukan justru melawannya

Faktor perasaan memang bukan perkara mudah untuk ditaklukan, karena memang tidak ada yang pernah bilang bahwa kemenangan itu mudah didapatkan

Memenangkan perasaan bukan lah perkara instan, sama seperti Jakarta yang juga tidak dibangun dalam semalam. Namun waktu yang lama tidak lantas menjadikan Jakarta untuk boleh tidak dibangun bukan ?

Dan hingga saat ini saya masih percaya, bahwa cara paling mudah apabila kita ingin dekat dengan perasaan seseorang: ya dengan mendekatkan perasaan kita sendiri kepadanya, dan kepada-Nya. Mendekatakan perasaan kita sendiri secara ikhlas terlebih dahulu, bukan berharap perasaan orang lain dahulu yang mendekat, karena perasaan kita sendiri adalah satu-satunya hal yang bisa kita kontrol. Serta mendekatkan perasaan kita kepada-Nya karena Dia lah yang bisa mengkontrol segala sesuatu yang tidak mungkin lagi kita kontrol.

--

--