Seperti Pertama Kali

Muhamad Danar Pradono
Rurasi
Published in
4 min readJan 25, 2019

“Mungkin sudah kesekian kali,tapi rasanya selalu seperti pertama kali. Berbeda yang menemani, berbeda yang ditempati,berbeda yang dipelajari.”

Setiap desa selalu punya cerita. Begitupun juga dengan pengalaman kami di Desa Cisondari yang akan menjadi cerita kami. Sejak pertama kali menginjakan kaki, lega rasanya meninggalkan sejenak hiruk pikuk kegiatan yang sungguh meresahkan hati. Walau matahari sudah tak lagi menerangi, kesan perdesaan tetap terasa dari kesunyian di kala itu. Masih terhitung belum larut yaitu sekitar pukul 21.00, tapi suara jangkrik dan desiran angin sudah dapat terdengar. Terima kasih atas sulitnya sinyal, karenanya kami lebih memaknai alam dan manusia di sekitar kami untuk sekedar saling memandang dan berinteraksi.

Bermodal persepsi seperti pertama kali agar selalu banyak yang bisa dipelajari, seperti terakhir kali agar selalu bisa menghayati, kami siap untuk mengarungi hari. Cerita ini bermula ketika pada akhirnya kami terbagi ke rumah-rumah untuk menginang selama 2 hari 2 malam. Tak lama obrolan kami dengan keluarga yang kami tinggali karena sudah cukup larut, dan segan bagi kami untuk mengganggu waktu istirahat mereka.

Betul saja, waktu istirahat itu sangat berharga untuk energi mereka bisa bangun dipagi hari dan langsung beraktivitas, di saat kabut masih menyambut. Pagi itu sedikit saja kami terlambat terbangun, kami sudah tertinggal aktivitas untuk membersihkan kandang sapi, memberikan pakan, dan memeras susu. Ternyata bapak segan untuk mengajak kami padahal ketika itu kami sudah terbangun walau masih senyap, karena di pagi itu sangat dingin, tapi demi mengejar waktu angkut dari hasil memeras, maka bapak pergi sendiri dan kami hanya menunggu di rumah lalu tiba-tiba kami disuguhi sedikit dari hasil perah pagi itu, susu murni hangat untuk memulai hari.

Sehari itu kami mencoba banyak hal dimulai dari menyiram, menanam, mengarit, memetik jambu, dan sebagainya. Tidak semudah yang dilihat, ternyata cukup menguras tenaga. Saya rasa, saya sekarang suka sayuran, mengingat jerih payah dalam menanamnya. Kegiatan kami diselingi makan bersama, duduk-duduk dan berbincang. Malam itu ditutup dengan menonton bersama. Sungguh suasana yang berbeda, membuat kami ikut larut ke dalam cerita.

Hari baru tiba dan kami bertekad tidak tertinggal lagi, kami segera bangun dan ikut bapak untuk memeras susu. Lagi-lagi tidak semudah yang dilihat, tak jarang saya mengarahkan susu ke luar wadah penampungannya. Kata bapak memang butuh bakat. Selanjutnya kami menghabiskan waktu di pabrik permen caramel. Memasak serta membungkus sembari sesekali kami curi-curi untuk mencicipi permen karamel yang masih hangat itu.

Terakhir, yang menurut saya paling berkesan adalah ketika kami bermain bola dengan bocah setempat. Saya yang tidak berniat untuk mengotori diri seakan-akan masa bodoh lagi dengan itu. Bahkan saya sempat jatuh ke kubangan. Terlebih lagi akhirnya kami terjun langsung ke kolam di sebelah lapangan. Bermain kucing-kucingan. Sungguh seakan-akan tidak ada sekat. Segan pun tidak ada. Ada yang sampai membuka seluruh pakaiannya, tapi ini anak kecil kok. Lucunya setelah kami kembali ke rumah, ada kabar bahwa belum lama ada masyarakat setempat yang terkena penyakit dan gatal-gatal sehabis berenang di kolam itu, pantas saja karena air yang ada di sana merupakan hub aliran air dari rumah-rumah warga. Ah gatal-gatal sekali takapa dibanding keseruan tadi. Tapi karena takut, saya mandi dengan sebersih mungkin ketika itu.

Dua hari ini terkesan hanya refreshing dan main-main? saya rasa tidak. Ada ribuan pembelajaran jika kita mau memaknainya. Misalnya seperti menghargai waktu dan jerih payah. Tanpa sadar kita mengenal karakteristik masyarakat, kegiatan sehari-harinya, serta kebutuhannya. Menemukan tempat-tempat strategis yang menjadi penunjang kegiatan masyarakat. Serta bertemu dengan tokoh-tokoh yang akan menjadi kunci pembangunan desa tersebut kedepan. Semua itu kita perlu tahu, dalam menggali potensi desa. Social mapping dengan berkegiatan bersama masyarakat, tidak semenakutkan teorinya. Hanya mencoba mengalir untuk melakukannya, dan lebih cermat mengamati ketika kita melakukannya.

Tak banyak yang saya bisa ceritakan hanya dengan kata-kata. Pengalaman batin yang juga memanjakan mata yang hanya bisa didapat dengan ada di sana. Memang sejak awal itu tujuan kami, mengajak warga HMP untuk bisa merasakan langsung hal ini. Sebuah pengalaman baru, seperti pertama kali.

“Akan tetapi semoga tak mengubah isi hati untuk selalu bisa mewujudkan desa membangun majunya indonesia di hari nanti”

--

--