Libur

Nadia Dewani Saraswati
SADEVA SATYAGRAHA
Published in
2 min readJul 26, 2015

Tak terasa bulan suci Ramadhan terlewat sudah. Hari kemenangan pun menyambut. Takbir menggema di langit senja. Suasana bahagia sangat terasa hingga tak kuasa menahan senyum dan tawa. Makanan dan pakaian terbaik telah siap untuk esok. “Alhamdulillah”, ucapnya. Bersyukur masih bisa merasakan bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Walaupun belum bisa mudik ke kampung halamannya, ia tetap bersyukur. Memang tak seramai berlebaran kampung. “Ah sudahlah”, desahnya. Lebaran tiga tahun terakhir memang seperti ini. Tidak banyak saudara yang datang, sepi.

Pagi hari, alunan takbir masih terdengar. Orang-orang bersiap menunaikan sholat Idul Fitri di masjid terdekat. Pakaian terbaik telah dikenakan dengan aksesoris lainnya. Mereka sangat gembira, sangat terlihat dari raut wajah mereka. Ia pun telah bersiap juga. Bersama keluarga berjalan menuju masjid yang tak jauh dari rumahnya. Ayah dan Ibunya banyak menyapa para tetangga selama perjalanan ke masjid, sedangkan ia hanya diam, tak ikut menyapa. “Aku tidak mengenal mereka”, bisiknya dalam hati. Masjid selalu ramai dengan para jamaah yang ingin menunaikan sholat Idul Fitri. Mungkin lebaran rasanya tidak lengkap apabila tidak menunaikan sholat sunnah ini.

Lebaran baginya hanya terasa sehari saja. Keistimewaan lebaran hanya terasa pada malam sebelum lebaran dan pagi harinya. Karena di hari selanjutnya hanya terasa seperti hari-hari biasa. Agenda lebaran yang tak pernah luput adalah menyambut para tamu yang banyak jumlahnya. Maklum, ia dan keluarga tinggal bersama neneknya yang lumayan dikenal di lingkungannya. Bibirnya tak lupa memasang senyum, dan ucapan yang selalu diulang-ulang, mohon maaf lahir dan batin. Sebenarnya ia jenuh, namun apa boleh buat.

Para tamu telah pulang, anak-anak kecil pulang dari rumahnya memegang amplop pemberian neneknya sambil tersenyum riang. Sepertinya tidak ada tamu lagi yang datang. Lebaran telah usai baginya. Kembali ke aktifitas yang sering dilakukan di hari-hari biasa. Menonton televisi, memainkan gadget, makan, membantu ibunya berjualan, mencuci pakaian, hal-hal biasa.

Hari-hari selanjutnya terasa biasa saja, tidak spesial. Pagi, siang dan malam terasa sama setiap hari. Terlalu monoton. Hari terasa amat cepat berlalu. sering terbesit dalam benaknya rasa ingin cepat kembali ke kota perantauan, Kota Bandung. Selain bosan, banyak kegiatan yang harus dilakukan juga di sana. Namun apa daya, rasa rindu orang tua kepada anak sulungnya masih banyak tersisa yang mengharuskan ia tinggal lebih lama di Kota Satria.

--

--