Serentak? Berbarengan? Simultaneous?
Kenapa?

Abi Rafdi
SADEVA SATYAGRAHA
Published in
2 min readAug 21, 2015

Oh, kata orang-orang kebersamaan itu menunjukan persatuan. Ada juga yang bilang bareng-bareng itu rame. Atau mungkin karena kita mahluk sosial beraktivitas pun harus sosial (re: Bareng-bareng).

Entahlah. Hidup sudah terlalu sulit untuk memikirkan kenapa.
Tapi, ada satu topik yang lagi hangat di telinga, mata, dan otak manusia-manusia di Indonesia. Bukan, bukan masalah harga komoditas pasar yang naik, nilai tukar rupiah yang anjlok hingga ke Rp13,941/USD1, kejahatan karena kesenjangan sosial, mau pun kisruh perencanaan kota di DKI Jakarta. Yang satu ini sifatnya lebih politis, provokatif, dan pastinya lebih menyeluruh efeknya ke seluruh penjuru negara kita tercinta.

Yeap. Pilkada serentak. Atau pilkada bareng-bareng.
Oke, pilkada serentak gak jauh beda sama pilkada sebelum-sebelumnya. Bedanya yang paling mencolok ya cuman dilakuin pada periode yang sama di (hampir) semua daerah yang ada di Indonesia. Targetnya? KPU akan ngadain pilkada serentak tahap pertama pada Desember 2015 ini untuk sekitar 269 daerah, yaitu 9 provinsi, 224 kabupaten, serta 36 kota. Tahap kedua akan diadakan pada Februari 2017, ketiga pada Juni 2018, keempat pada 2020, kelima pada 2022, dan keenam pada 2023. Rencananya nanti semua daerah bakal menjalani pilkada serentak tandem dengan pemilihan legislatif dan eksekutif (pemilu) dengan target 2027 pilkada serentak nasional sudah dapat dilaksanakan. Kurang lebih pilkada serentak hampir sama lah dengan wacana periodisasi di kampus ITB terhadap kepengurusan himpunan-himpunan dengan kabinet.

Terus, apasih yang jadi masalah?

1. Siap gak?
Penyelenggaraan pilkada serentak ini baru pertama kali di Indonesia. Katanya sih, secara logistik dan alat kelengkapan lainnya udah siap. Menurut anggota KPU, Ida Budiarti, pilkada serentak memang sudah direncanakan dan diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Namun, perlu dikaji ulang mengenai kesiapan peserta pilkada tersebut baik dari sisi parpol mau pun pemilih. Bukti nyata yang dapat dilihat dari ketidaksiapan peserta adalah adanya calon tunggal di 4 daerah sehingga memundurkan jadwal pilkada serentak di daerah tersebut. Hal ini mengundang banyak saran dan kritik terhadap pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) agar dapat mengantisipasi calon tunggal dalam menghambat pelaksanaan pilkada serentak.

2. Calon tunggal gak boleh, calon boneka gimana?

Tri Rismaharini dan beberapa nama lain yang asalnya menjadi calon tunggal dengan dukungan parpol dan masyarakat paling banyak di daerahnya masing-masing membuat pesaing (atau bakal calon pesaing) mereka tidak mantap dalam mencalonkan diri. Hal ini menyebabkan KPU memundurkan batas waktu pencalonan kepala daerah di beberapa daerah tersebut hingga pertengahan agustus kemarin. Namun, para pengamat menyatakan kekhawatiran mereka karena calon yang ‘tiba-tiba’ muncul pada waktu yang singkat tersebut diragukan elektabilitasnya. Dalam kata lain, mereka dianggap calon boneka yang ada di ballot pemilihan agar tidak memundurkan pilkada. Karena memang manuver politik masing-masing parpol sangat bergantung pada pemilihan kepala daerah untuk konsolidasi kekuatan mereka. Mulai dari isu calon tunggal sengaja agar memundurkan pilkada, calon boneka, dsb.

Nah, singkatnya itu masalah yang bisa dilihat secara kasat mata. Kalau mau mengkaji lebih mendalam atau mempertanyakan tentang pilkada ini, silahkan saja. Tetapi pertanyaan yang paling penting adalah untuk siapakah pilkada serentak ini diadakan?

Parpol?

Pemerintah?

Rakyat?

Coba tanya ulang.

Abi Rafdi

15414070

--

--

Abi Rafdi
SADEVA SATYAGRAHA

Aspriring writer, part-time coffee enthusiast, part-time observer, full-time food-enthusiast.