USD begitu kuat atau Rupiah begitu lemah?

Indriyanti Nurdin
SADEVA SATYAGRAHA
Published in
3 min readAug 21, 2015

Whenever we begin to feel as if we can no longer go on, hope whispers in our ear to remind us that we are strong — — Robert M. Hensel

Mungkin kita sering mendengar atau bahkan juga menyadari mengapa rupiah kini menjadi loyo, apa penyebabnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya terkait rupiah pun bermunculan. Dan tidak sedikit pula dari kita mengetahui loyonya rupiah akibat fenomena Strong Dollar. Dan muncullah pertanyaan baru lagi, apa itu Strong Dollar? Seberapa kuatkah dolar itu hingga membuat perekonomian Indonesia bahkan negara lainnya juga ikut melemah?
Dollar is too strong, mengapa? Hal ini terkait dengan kebijakan jangka menengah The Fed. Pada tahun 2008 Amerika Serikat pernah dilanda krisis sehingga pada tahun 2009 The Fed mulai mengambil kebijakan Quantitative Easing secara besar-besaran. Amerika mencetak dolar dalam jumlah besar untuk menarik obligasinya. Jumlahnya sekitar $3,5 T — $4,5 T. Dengan program itu, dolar mengalir deras ke emerging countries, termasuk Brazil, Indonesia, Chili dan negara lainnya sehingga ketersediaan dolar di emerging countries jadi berlimpah. Hal inilah yang sempat membuat kurs mata uang menurun dan rupiah juga mata uang berbagai negara menguat.
Ekonomi Amerika yang relatif kuat menjadi salah satu mpenyebab munculnya Strong Dollar ini mengalahkan sebagian besar perekonomian internasional dalam beberapa tahun terakhir terutama negara maju yang menjadi mitra dagang terbesar di Eropa dan Asia. Ekonomi yang relatif baik membantu meningkatkan pasar keuangan Amerika Serikat dan membuat Amerika Serikat lebih menarik bagi pemodal asing. Akibatnya,neraca perdagangan Amerika Serikat meningkat secara drastis , sebagian berkat produksi energi dan penurunan harga minyak yang menyebabkan Amerika telah mengurangi impor dan meningkatkan ekspor. Selain itu, Amerika meningkatkan defisit anggarannya dengan memotong pengeluaran dan meningkatkan pajak. Ini telah mengurangi federal Amerika Serikat dari setinggi 11% dari Produk Domestic Bruto (PDB) pada tahun 2010 menjadi sekitar 3 % pada akhir 2014. Dengan memperkuat neraca Amerika Serikat , defisit anggaran menyusut adalah suatu bullish untuk dolar.
Kebijakan Quantitative Easing tidak selamanya berjalan, ada juga batas waktunya. Sehingga pada tahun lalu kebijakan ini diakhiri. Dolar pada tahun 2014 naik 13% dan naik lagi 5% pada 2015. Rupiah dan mata uang negara lain yang sebelumnya terkesan menguat kini harus pontang-panting terutama bagi peminjam yang kena beban bunga lebih mahal. Investor di Amerika Serikat tentu saja senang mendapat return yang lebih baik. Mereka yang biasa meminjam di Bank USA untuk menanam saham di Asia dan Amerika mulai mengurungkan niatnya. Pasokan dolar di negara-negara Asia menurun dan menguatlah dolar.
Menurut Morgan Stanley, The Fed dan beberapa biro reset, negara yang bakal mengalami kesulitan utama antara lain Brazil, Chili, Turki, Afrika Selatan, lalu kemungkinan Indonesia. Ya seperti sekarang ini kita rasakan. Dirilis dari berita ANTARA News, Jakarta, pada Jumat (21/8), Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro megatakan, mata uang rupiah sedang berada dalam tekanan karena faktor global. “Nilai tukar rupiah sedang dalam tekanan, tetapi ini tidak hanya terjadi pada kita, tetapi semua mata uang mengalami hal yang sama,”
Bank Indonesia dikabarkan menerapkan beberapa strategi, diantaranya memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah di pasar uang, melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, dan mengubah mekanisme lelang Reserve Repo (RR) SBN dari variable rate tender menjadi fixed rate tender.
Semoga segala apa yang direncanakan Indonesia menuju kea rah yang lebih baik. Untuk Indonesia tercinta.

www.sbsinews.com/ekonomi/fenomena-strong-dollar-jangan-salahkan-jokowi/
www.businessinsider.com/why-the-dollar-is-strong-2015-1?IR=T&
www.seputarforex.com/berita/ekonomi/detail.php?id=243500&title=menkeu_rupiah_sedang_dalam_tekanan

--

--