Alegori Kecil Cemburu
Apakah Tuhan menciptakan cemburu sepenting ini untuk kita, manusia?
Entah harus dimulai dari mana, barangkali sebelum ruang dan waktu terbentuk, atau jauh sebelum maupun sesudahnya. Latarnya dibentuk dari sebuah tempat yang tak tergambarkan, ada segala macam kesenangan manusia yang tak menjelma menjadi dosa, tempat itu bernama surga. dogma-dogma agama Samawi dimulai dari sini.
Tuhan menciptakan manusia pertama dari tanah yang hina berbentuk lumpur dan hembusan napas ilahi yang suci. Dualitas itu menciptakan darah yang kemudian bergumpal menjadi daging. Hingga kesadaran dan kehendak bebas menjadi bagiannya, terciptalah manusia secara harfiah maupun segala macam terminologinya.
Namun, cerita yang sebenarnya baru saja membuka tirai pertunjukan. Drama kecemburuan malaikat Lucifer atau Iblis, atau berbagai nama lainnya yang diberikan dan dijabarkan manusia selanjutnya, mengubah hampir semua jalan cerita. Tuhan, sebuah zat agung, memerintahkan segala hal untuk menghormati (entah dalam bentuk sujud atau emosi) entitas baru itu. Entitas itu bernama Adam.
Sayangnya, seorang (jika tepat secara harfiah) malaikat radikal memilih untuk membangkang, sebelum cerita ini belum ada cerita semenarik ini mengenai sosok pemberahi melawan perintah Tuhan. Ia memilih untuk melawan! Hingga Hawa diciptakan dari komposisi yang sama dengan bantuan tulang rusuk Adam terperangkap hasutan malikat tersebut.
Di sebuah dari yang banal, sang Malaikat radikal dengan bara kecemburuannya datang kepada Hawa untuk menghasutnya. Ia meminta Hawa membujuk Adam memetic buah terlarang untuk di makan bersama-sama. Kisah heroik yang radikal ini kemudian berlanjut dengan dua manusia tersebut memakan buah terlarang dan membuat Tuhan murka.
Karena perintahnya tidak ditaati oleh dua gumpalan darah tersebut, Tuhan cemburu dan mengusirnya jauh ke sebuah dimensi yang kaku, yang kemudian kita sebut Bumi.
***
Cemburu, pada salah satu esai karya Margaret Mead dalam buku The Anathomy of Love, dijabarkan sebagai sebuah patologi emosi di mana seseorang merasa terancam akan kehilangan sebuah otoritasnya terhadap suatu hal, apakah itu pasangan, kekuasaan atau hal-hal materi lainnya. Namun, Mead menjabarkan hal berbeda jika kita bandingkan dengan alegori Samawi sebelumnya, baginya cemburu adalah hal yang sangat relatif, tergantung pada latar budaya dan sosial yang tumbuh dalam suatu peradaban. Cemburu tak pernah sama.
Sebagai contoh dalam esai, Suku Eskimo memiliki budaya di mana jika tamu mereka meminta dilayani secara seksual oleh istri sang tuan rumah, maka itu adalah sebuah kawajaran. Tentunya jika hal ini terjadi di budaya seperti masyarakat Lombok, akan terjadi peperangan besar dan pelanggaran regulasi mengenai perzinahan. Hal ini memperlihatkan bahwa cemburu ternyata bisa berbeda dalam berbagai sudut pandang.
Sebagai tambahan, keperawanan adalah sebuah hal sakral yang dianggap penting untuk dijaga hingga menikah nanti. Ini banyak dianut oleh masyarakat Timur kuno hingga kini. Maka jika tidak ada darah selaput dara pada malam pertama pernikahan, sang mempelai laki-laki akan diserang rasa cemburu hebat dengan amarah ikut menyembur dengan bensin pada api.
Namun, di sebuah social experiment yang beberapa waktu lalu beredar di portal Youtube, cukup bisa menggambarkan beberapa kelompok kaum urban di Timur saat ini, bahwa mereka ternyata sudah tidak mempermasalahkan keperawanan sebagai gagasan penting pernikahan. Apakah cemburu, sebagai sebuah emosi, dapat berubah dari waktu ke waktu?
***
Promentheus-makhluk setengah dewa-nekad menciptakan manusia dari tanah liat. Kemudian Dewi Pallas memberinya karakter kuat selayaknya singa, indah selayaknya merak serta tak lupa kecerdasan dan rasa malu untuk menyeimbangkan segala urusannya kelak. Promentheus memberi nama ciptaannya itu Palasgus.
Palasgus mendapatkan rumahnya dia Arcadia, tempat indah tak terbantahkan. Palasgus kemudian beranak pinak di sana, sampai akhirnya pada keturuan keduanya terjadi kekacauan yang menyebabkan manusia terusir dari Arcadia. Begitu mirip dengan cerita para pendeta, pastor dan ulama Samawi.
Promentheus yang begitu menyayangi ciptaannya tersebut, kemudia pergi menemui para dewa dan bernegoisasi untuk memberi manusia api. Namun para dewa tidak berkehendak, mereka tetap ingin manusia hidup dalam absurditas dan teka-teki. Kesal, akhirnya Promentheus mencuri api itu dan memberikannya kepada peradaban baru manusia.
Terlihat api sebagai sebuah kekuatan baru manusia, dewa-dewa murka, mereka cemburu! Akhirnya Jupiter yang bertindak setelah melihat ada cahaya api di Bumi. Promentheus akhirnya dihukum dengan diratai di sebuah pegunungan dan seekor burung nazar diperintahkan untuk memakan hatinya. Tak sampai di situ, dewa-dewa yang cemburu itu mengirim air bah untuk melenyapkan manusia. Hingga akhirnya tersisa Deucalion (putra Promentheus) dan Pyrra (putri Ephimeteus). Mereka bereproduksi dan melahirkan bangsa baru, bangsa Yunani.
Sekali lagi, kecemburuan menggagas manusia di Bumi.
***
Cemburu menggerakkan manusia dan melahirkan pemikiran politik yang radikal. Dalam kegusarannya, para pemikir melihat hal-hal yang tak beres. Pada konsep mewakili rasa cemburu akan ketidakadilan dan ketimpangan, mereka mencipta.
Karl Marx, Soe Hok Gie ataupun Gandhi adalah orang-orang yang mewakili rasa cemburu yang lebih besar lagi. Masyarakat mereka kala itu tak mengenal cemburu sosial. Mereka semua tertidur, terlalu lelap hingga tak sadar bahwa keadilan hanyalah sebuah dongen pengantar tidur abadi. Namun, para pemikir tadi bangun dan cemburu. Cemburu adalah bahan bakar yang terus dipompanya untuk bisa terus marah dan melawan!
Soe Hok Gie pernah begitu cemburu dengan Soekarno yang bisa mempersunting banyak wanita cantik bak penerima tahta Majapahit dan Sriwijaya yang sudah gugur. Sedangkan, tak jauh dari istana, ada begitu banyak ketimpangan dan ketidakadilan yang terlelap bersama senyum riang orang-orang istana kala itu. Cemburu itu melahirkan tulisan-tulisan Gie yang begitu keras mengkritik. Waktu itu, para pejabat lebih takut pada kalimat-kalimat yang ditulis Gie daripada bom ataupun terror.
Marx cemburu pada ketidaksetaraan dunia, di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin sebaliknya. Cemburu itu yang membuat Marx terus terjaga dan menulis manifestasinya. Tak pernah ia turun melakukan revolusi, namun kecemburuannya yang dia tulis melahirkan pemikir-pemikir radikal baru yang sampai hari ini masih terus eksis dan melontarkan revolusi. Bahkan kecemburuannya melahirkan tatanan negara yang sangat berbeda dari sebelumnya, negara komunis. Tidak hanya itu, kecemburuan itu melahirkan kecemburuan baru dari pihak kanan yang menjelma menjadi musuhnya. Kecemburuan demi kecemburuan berikutnya melahirkan darah di berbagai belahan sejarah. Siapa bilang cemburu hanya untuk seksualitas, kekuasaan dan hak adalah dua faktor yang pantas anda cemburui.
Gandhi, seorang pelajar bidang hukum, pergi ke University College London untuk mendapatkan gelar sarjananya. Ia belajar berbahasa Inggris, menari seperti orang Inggris bahkan makan seperti orang Inggris. Suatu ketika ia melalukan perjalan ke wilayah konoli Britania Raya, Afrika Selatan. Berbalutkan satu set pentalon dengan jas, sepatu pantofel, dan dasi serta kemeja, Gandhi berharap bisa duduk di kursi kelas satu. Namun, sayang seribu sayang, ia dilempar keluar kereta karena bukan kulit putih.
Ia cemburu berpadu marah pada segala hal. Ia paham bahwa ia tak bisa memilih warna kulitnya atau bangsa tempatnya akan dilahirkan. Ia ingat betapa ia telah berusaha untuk menjadi sangat mirip dengan orang Inggris tapi tetap tidak bisa. Lebih jauh lagi, ia tahu bagaimana bangsanya telah lelah dengan kolonialisme. Kelelahan itu adalah kecemburuan akan ketimpangan dan ketidakadilan di tanah mereka sendiri. sampai akhirnya kecemburuan yang berbalut amarah itu sadar tak bisa melawan kekerasan dengan kekerasan. Menjelma ia menjadi Ahimsa.
Cemburu adalah fase, di mana sesuatu hal yang lebih baik atau lebih buruk atau kedua akan datang.
***
Tak ada yang lebih lucu dari mayoritas yang cemburu terhadap minoritas. Untuk apa? Namun narasi kelucuan itu benar-benar dituturkan. Itulah yang menjadi tragedi umum dewasa ini, di mana banyak yang berteriak bahwa umatnya ditindas oleh aktor-aktor atifisial. Sekali lagi, untuk apa?
Jawabannya: untuk menyematkan visual kebenaran pada mereka yang percaya. Dengan kepercayaan itu, cemburu kolektif akan muncul. Sama halnya dengan lekaki konservatif di timur yang tak menemukan darah pada malam pertamanya dan kemudia kalap melakukan hal-hal dengan berpikir singkat, mayoritas yang cemburu akan menimbulkan chaos.
Dengan jumlah yang lebih besar dan narasi kecemburuan yang lebih banyak tidak mendasar, hal ini akan berbeda wujud dengan narasi Ahimsa atau Marxisme. Tujuannya bukan lagi mengecilkan ketidaksetaraan, namun mengeliminasi perbedaan. Sehingga mayoritas sirna, bukan sirna karena melebur bersama perbedaaan, namun sirna karena mereka menjadi entitas tunggal tanpa orang lain yang berbeda. Kita kenal ini dengan narasi politik yang memuakkan pada konstelasi perpolitikan Indonesia beberapa waktu belakang.
Kesamaan rasa pada sebuah kelompok akan memudahkan aktor untuk mengendalikan perintah. Ketika kebijakan atau pemerintahan secara menyeluruh tidak sejalan dengan aktor, masa masa yang cemburu itu akan mudah digerakkan. Efek yang timbul di depan bukan hal yang spontan, namun dirancang. Apakah itu demo masal dengan klaim jutaan orang tawaf pada sebuah monumen untuk mempertontonkan ke-mayoritas-an mereka atau anarkisme, semuanya dirancang. Oleh sebab itu cemburu adalah narasi yang lugas, di zaman jari-jari bisa lebih cepat mengantarkan propaganda dengan media internet, seperti saat ini.
Narasi cemburu ini kerap menjadi tidak terkendali pula ketika hari raya agama lain datang, atau hari kasih sayang, ataupula bulan Ramadhon menggema. Berpuasa yang menjadi urusan individu dengan Tuhannya, ditarik lebih jauh menjadi urusan orang-orang yang tidak berpuasa. Mereka minta dihargai lebih dari sekedar korden. Mereka ingin semua lapar meski tidak wajib berpuasa. Kecemburuan akan persamaan ini adalah cerita lama, namun bukan persamaan yang mereka inginkan, melainkan superioritas.
Terlalu lama terlelap dalam keistimewaan sebagai mayoritas, menyebabkan kita asing terhadap kesetaraan atau toleransi. Seketika, ketika konsep-konsep keadilan untuk semua digaungkan, hal itu akan terdengar seperti sumpah serapah penghinaan. Begitupula ketika toleransi untuk menghargai hak orang lain akan terasa seperti pelanggaran HAM berat terhadap diri sendiri. kecemburuan yang sudah tidak waras ini sudah waktunya tidur, bahkan untuk selamanya!
Ketika ada sebuah kelompok atau individu mengajak anda untuk secara kolektif cemburu, percayalah itu sebuah propaganda, yang menginginkan anda menjadi tidak waras!
***
Jadi, cemburu seperti apakah yang menjelma menjadi anda saat ini?