Berlayar Bersama Rakyat

Lalu MS Aulia Sastra
Sagara Isme
Published in
9 min readDec 21, 2018

Jangkar sudah mulai dinaikkan. Sedetik jantungku rasanya melompat kaget keluar, sampai aku sadar bahwa suara keras itu berasal dari dek kapal. Suara bising pengeras suara yang biasa ada di setiap kapal. Suaranya terlalu keras hingga ingatanku memproses bayangan akan terompet hari kiamat.

Kapal ini terlihat usang meski saya percaya terurus dengan sungguh-sungguh. Maklumkan saja, ini hanyalah transportasi kelas sekian untuk para orang-orang yang tak beruntung bisa terbang dengan burung besi. Paling juga orang terkaya di kapal ini adalah anak orang kaya yang baru gila berkelana dengan ransel dan menyebut kemelaratannya dengan backpacker. Besok juga ketika diminta mandiri, penyakit gilanya akan sembuh dengan kapitalisme.

Tubuhku mulai bergoyang, bukan kerena irama dangdut durjana yang diputar sedari tadi oleh Anak Buah Kapal, melainkan oleh terjangan ombak yang tertawa kepada semua pelayar amatir yang mabuk. Saya pernah mendengar bahwa di kapal-kapal pesiar yang memesona, ombak tak terasa, bahkan katanya kita akan lupa bahwa berada di laut.

Sayang! Di sini anda akan terus ingat ancaman mati di tengah laut dengan bayangan paruh terakhir dari film Titanic. Bagaimana tidak, ketika ombak besar datang, jangankan tubuh anda, segala besi-besi reot ini ikut bergetar mengantarkan anda ke mimpi buruk yang tidak akan membiarkan anda terpejam. Namun, semua raut muka di atas sini memimikkan kepasrahan. Sedikit saya tangkap cerita dari kerut kalud muka-muka itu bahwa ternyata hidup sudah cukup berat dan seram dibanding kematian di tengah sini.

Kapal ini tak memanjakan kami dengan fasilitas selain dangdut durjana dengan kegamangan dan kegalauan yang hakiki menambah resahnya perjalanan. Saya yang ditemani gawai pintar murah-meriah keluaran Tiongkok dan ransel, memutuskan untuk berpergian, berumah dengan alas bumi dan menjadikan langit yang penuh kejutan cuaca sebagai atap yang memanggang kulit-kulit kami hingga legam. Di samping saya ada seorang teman yang pulas terlelap dengan bantuan obat penghilang rasa mual.

Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur masih terlihat samar dan mulai menjauh. Saya bisikkan dalam hati, sampai jumpa kembali. Perjalanan kali ini hanya sebentar kata para pelaut ulung, kami menuju Poto Tano di pulau seberang, Sumbawa. Biru yang lantang dan horizon yang tak berbatas mengiringi kesejenakkan yang mulai mencuat dalam diri, berkontemplasilah, katanya. Vegetasi Pulau Lombok tempatku tumbuh dan ingin mati itu begitu menyihir. Nyiur-nyiur benar-benar melambai seakan mau aku pergi. Orang-orang mulai mengecil dan hilang, seakan tak berarti di semesta yang maha luas ini.

Karena bosan menyerang saya putuskan untuk merasa cuek dan tak peduli dengan kondisi sekitar dengan memasang headset untuk membanjiri gendang telinga saya dengan suara-suara tembang pilihan yang saya anggap keren dan kekinian. Lagu Walls dari Kings of Leon menyuara dan mendaratkan gelombangnya di gendang telinga. Seketika saya larut dalam lirik dan abai dengan sekitar.

You can leave me here alone. Ketika lirik ini mengemuka dalam sunyi, entah dari mana saya ingin menangis, tanpa alasan. Saya coba tanah air mata di ujung kelopak dan, sekali lagi, berusaha abai dengan sekitar. Namun, saya kalah dan tidak bisa!

Riak air yang terbelah oleh kapal menghasilkan buih-buih yang sayapun tak tahu mengapa begitu indah, seakan memanggil saya untuk loncat dan tenggelam. Heningnya suasana meski ada banyak suara merayap memakan diri saya. Tanpa siapapun peduli, hanya ada saya dan rakyat Indonesia di atas kapal ini.

Iya! Rakyat Indonesia yang tak seberuntung rakyat yang lain, barangkali. Tak pula seberuntung mereka yang di Jakarta atau kota besar lainnya. Di antara mereka, banyak yang tak pernah menginjakkan kaki di mall atau tempat-tempat hiburan. Namun bukan berarti mereka tak pernah terhibur. Rakyat seperti kami biasanya begitu gampang terhibur akan hal-hal yang tak terlalu mahal harganya, dangdut durjana tadi contohnya. Akan tetapi, seberat apapun goresan hidup menjelma menjadi kerut di muka mereka, murung tak pernah rasional dipilih untuk menjadi mimik yang dibagikan untuk orang lain. Mereka selalu dan akan selalu ramah untuk semua orang.

Berdiri dan saya mulai beranjak dari tempat duduk ke pinggir kapal. Saya masukkan tangan ke kantong celana jins lusuh, karena ternyata angin laut cukup dingin mendarat di kulit saya. ternyata ada sobekan karcis kapal di sana. Tertulis angka Rp. 30.000,- tanpa tambahan pajak atau tips. Hal yang sangat murah untuk harga perjalanan ini. Di kota uang segitu bisa lenyap hanya dalam beberapa detik, namun tidak di atas kapal ini. Uang itu mengantarkan banyak orang yang merindu dengan rumah reoknya kembali ke rumah atau keluarga yang sudah terlampau lama terpisah karena rantau dan ringgit. Pada posisi ini, uang sekecil itu tak ternilai dengan apapun yang bisa atau tidak bisa dinilai di dunia ini.

Semakin lama semakin tidak bisa saya elakkan bahwa lagu ini memaksa saya untuk tetap peduli dengan sekitar. Saya coba tengok sekeliling. Di bawah tangga itu, ada seorang wanita lanjut usia, terlihat dari kerut wajahnya yang begitu bergelombang, bersama seorang anak kecil di pangkuannya, dipeluk dan begitu terlihat kasih sayangnya. Ingatan saya langsung melambung ke nenek saya dahulu, menggendong saya dengan penuh sayang, di tempat yang sama, ferry menuju Bali, ketika salah seorang paman saya akan diwisuda menjadi seorang dokter gigi.

Sayapun jauh berpikir, bagaimana perasaan nenek saya kala itu. Bangga dan haru bisa menghantarkan anak desa menjadi dokter gigi. Maklumlah menjadi dokter, tantara, polisi, bahkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah begitu prestisius. Mereka bak nabi yang dianggap segala ucapannya adalah sebuah kebaikan untuk semua. Kini salah satu anaknya menjadi dokter yang akan membawa kebaikan, bukan hanya untuk dirinya dan segenap keluarga, namun juga untuk seluruh penduduk desa yang berhak ikut serta berbangga.

Larutlah saya dalam udara berbau garam ini. Kembali ke nenek dan cucunya di bawah tangga itu, barangkali kali ini ia dan cucunya tak sedang berangkat ke Sumbawa untuk menghadiri wisuda salah satu anaknya, namun hanya untuk kembali pulang. Saya bisa lihat itu, kebahagiaan nenek saya dan nenek di bawah tangga sama-sama terpancarkan, meski alasannya berbeda.

Cucu di dekapannya barangkali adalah seorang anak dari anaknya yang terpaksa bekerja di luar negeri menjadi buruh tani atau pembantu rumah tangga dan harus meninggalkan segenap rasa di dalam negeri karena kesempatan sungguh langka. Hal ini sudah lumrah. Ada ratusan anak di Lombok dan berbagai daerah di Indonesia yang hidup tnnpa orang tua. Nenek dan kakek merekalah yang merawatnya. Jarak generasi yang terlampau jauh menyebabkan banyak masalah.

Memikirkan ini darah saya menjadi mendidih. Butir-butir mikro air hasil tabrakan kapal dan laut yang menghantam muka saya tak mampu memadamkannya. Saya marah dengan keadaan dan ingatan di mana saya melihat ke belakang mengenang teman-teman saya yang putus sekolah karena pernikahan dini. Entah berapa sudah jumlahnya, cukup banyak untuk ditangisi. Mendengar keadaan mereka sekarang, beberapa sungguh tak perlu saya ceritakan. Saya marah dengan segala hal ini. Ketidakadilan dunia.

Tell me what I have to say. Ternyata lagu Walls ini masih terus berulang. Saya diam tanpa bahasa melihat ke bawah. Seakan deburan air asin ini memanggil saya untuk jatuh dan berhenti mendunia agar segala resah ini selesai dan tak ada beban lagi untuk orang-orang di sekitar saya. hidup ini memang nestapa.

Lumba-lumba dari kejauhan menari memecah kekacauan di dalam pikiranku. Entah emosiku denganya sama atau sebaliknya. Air tak mampu mematikkannya, kedalaman Samudra tak mampu memutus napasnya. Barangkali ia ingin juga.

Seketika ada ibu duduk di dekat dek tempatku merenung ini. Buyar sudah kontemplasi ini. Anaknya merengek dan kumal. Di bukanya bekal yang berbekal tempe goreng dan potongan telur. Sudah dingin tampaknya nasi itu. Tak terlalu nikmat kalau dibandingkan makanan sehari-hari orang kota. Tetapi, dengan ketulusan yang tiada banding, disuapinya anaknya. Hati saya remuk.

Dalam dewasa ini saya sudah malu ketika disuapi ibu saya, meskipun seingin apapun saya. Sempat saya berpikir untuk mengecil kembali dan hidup dalam pangkuan dan suapan seperti anak itu. Saya janji tidak akan nakal. Bila perlu lebih kecil lagi untuk hidup dalam rahim dan plasenta ibu saya. tempat teraman terakhir di dunia sebelum semua drama kehidupan ini terasa begitu memuakkan.

Beberapa jengkal dari saya berdiri ada seorang pria. Ditaksir umurnya barangkali sekita empat puluh hingga lima puluh tahun. Di tangannya ada rokok yang dibiarkannya terbakar perlahan tanpa dihisap. Kulitnya seperti kulit para petani tak beruntung di seantero Indonesia, hitam terbakar matahari. Tak satupun dokter kulit bisa membuatnya kinclong lagi. Kepalanya melihat ke horizon. Resah ia terlihat. Barangkali rindu akan rumah dan orang-orang di dalamnya terlalu besar untuk selesai dengan sebatang rokok.

Melalui jeruji pembatas antara dek dan laut lepas itu, pria itu masih saja melihat dunia. Diam dan sunyi. Tenang dan redam. Abu rokoknya semakin menjalar dan sesekali terbang terbawa angin seperti pesan-pesan yang tak mampu dia rangkai untuk segenap kerinduannya.

Indonesia sudah setua ini. 73 tahun sudah. Orang-orang tak beruntung masih begitu banyak hingga ketika mereka semua menangis, lautan tak akan mampu menampung air mata. Beruntungnya, orang-orang ini tak punya lagi alasan yang lebih besar dari hidup mereka untuk menangis. Air mata itu sudah lama mengkristal dan membatu. Tak mampu untuk cair dan meleleh menbanjiri hidup.

Ternyata lama sudah saya berdiri di dinginnya hembusan laut ini. Setampak lanskap Poto Tano terlihat di kejauhan. Bukit-bukit kering dan pegunungan Mantar yang memesona dan magis sudah mulai jelas terlihat. Ombakpun bergelombang semakin besar, seakan memberi tahu bahwa akan sesuatu di ujung sana.

Beberapa gili atau pulau kecil juga sudah mulai jelas tertampak. Ada Kenawa, Paserang dan Ular, nama-nama pulau itu. Sekarang pulau-pulau yang tak berpenghuni itu mulai sesak dengan turis dari Lombok dan berbagai penjuru Indonesia serta dunia. Datang mereka sebagai wisatawan dan pulang juga tanpa tahu ada orang-orang malang ini. Sesekali meninggalkan sampah dan kebakaran karena putung rokok atau kembang api mereka. Agar terlihat keren katanya di jejaring sosial media. Sebenarnya niat berkunjung itu untuk melihat atau dilihat? Ah dunia!

One by one I’m seeing’ them fall. saya coba untuk memikirkan hal lain yang benar-benar ada di ferry ini. Kadang pikiran saya memang seperti belati yang menusuk perlahan. Hingga akhirnya saya melihat seorang anak. Kulitnya sama legamnya dengan pria tadi. Remaja sudah ia. Barangkali ia baru saja putus sekolah dan memilih untuk pergi dari rumah untuk merantau mencari pekerjaan sebagai transmigran. Banyak saya dengar hal ini dari kecil. Menjadi buruh di perkebunan jambu mente di sepanjang garis pantai Sumbawa yang kering akan air dan mimpi.

Ah! Jenis makanan apalah itu mimpi, omong kosong semua itu! Apalah mimpi bagi asa yang telah putus dan usang. Kini hidup adalah menunggu mati. Tak ada yang abadi, bahkan itu namamu. Batu nisan kelak akan dtiinggalkan dan dilupakan. Terjun dari kapal adalah cara terbaik untuk tidur dengan tenang.

Bagi anak muda itu, bagaimana bisa orang masih sibuk berbicara mimpi ketika ketidakadilan sungguh di sini. Tak ada mimpi untuk anak daerah tanpa gelar feodal atau bukan keturunan kyai besar. Kini hidup untuk makan, beranak pinak dan mati.

Baru saya sadari, ibu-ibu di samping saya beberapa kali sibuk ke toilet yang berbau bajingan itu. Isi perutnya keok melawan gelombang yang semakin garang ini. hina baginya naik ferry reok ini. Namun apa daya, tak ada rupiah yang jatuh dari langit untuk bisa iaa bersuka ria dengan besi terbang dan ruang tunggu berpendingin rungan. Semua harus seperti ini.

Kerasnya gelombang membawa tubuh saya ikut bergoyang bersama besi-besi tua dan pelampung berwarna menarik. Begitupun seluruh rakyat Indonesia tak beruntung di kapal ini. Ada pedangan asongan yang masih saja merayu saya untuk membeli minuman bersoda dengan harga tak wajar. Saya paham hal ini untuk menyambung hidupnya, tapi sayang tanpa berbekal ilmu ekonomi dari kampus keren nan bernama, harganya memang terlampau mahal untuk rakyat Indonesia di atas kapal ini.

Kadang ini menampar saya, bahwa saya terlalu banyak berhitung untuk menyelamatkan orang yang pantas dan berhak seperti pedangan asongan ini. Tapi, saya tanpa perhitungan membeli minuman mangga dengan rasa penuh gula dan harga yang tak pantas pula di pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Ternyata saya tidak adil, bahkan untuk orang-orang yang tidak berminat dengan keadilan. Tuhan, buruk sekali cara saya berpikir.

Daratan semakin dekat. Terlalu dekat hingga pengeras suara berbunyi lagi untuk memberitahu segenap rakyat Indonesia yang di atas besi tua berlayar ini untuk bisa turun mengambil kendaraannya di bawah atau bersiap keluar. Sayapun turun bersama segenap rakyat Indonesia menghirup bau solar di bawah. Seketika saya tersadar bahwa headset masih terpasang dan juga dari baju hingga sandal semuanya membuat saya tampak berbeda dengan segenap rakyat Indonesia ini. Mengapa saya harus berbeda? Kaos yang saya gunakan masih kinclong dan tampak bagus. Jauh berbeda dengan yang di sekeliling saya dengan baju yang telah luntur dengan keringat dan detergen.

Padahal saya berasal dari tempat yang sama dengan mereka, daerah. Daerah yang tertinggal dan kering akan mimpi. Untuk apa juga saya menjadi berbeda? Apakah dengan berbeda bisa membuat saya lebih superior dari mereka sehingga itu melegitimasi saya untuk boleh merasa angkuh dan berkelas? Oleh sebab itu wajarkah saya merasa jijik bersama mereka?

Ternyata kota telah merubah saya begitu jauh, begitu berbeda. Terlalu beda untuk menjadi satu dengan segenap rakyat Indonesia yang tak beruntung ini. Pada saat ini saya benci untuk berbeda dan segela propaganda mengenai keunggulan menjadi berbeda seakan memakan dirinya sendiri. Berbeda dengan mereka dan angkuh dengan penderitaan mereka menghadirkan jarak antara saya dan segenap rakyat Indonesia yang tak beruntung ini.

Baju saya terlalu bagus untuk merasakan bagaimana mewahnya baju kumal mereka. Kaca mata saya terlalu aneh untuk melihat keindahan alam dengan keadaan rabun. Celana saya terlalu kekinian untuk bisa merasakan tambalan-tambalan pada celana mereka yang itu-itu saja. Saya lelah untuk berbeda. Saya ingin ikut serta merasakan atau membantu menyelesaikan penderitaan mereka. Hal inilah satu-satunya alibi saya untuk tetap bersekolah di kota dan kelak kembali untuk mereka.

Ternyata perlahan gerbang kapal terbuka dan terlihat sudah daratan Poto Tano yang gersang itu. Barangkali sampai di sinilah cerita ini dulu. Semoga suatu saat ada kesempatan lagi untuk bisa bercerita mengenai pelayaran dan perjalanan berikutnya bersama rakyat Indonesia yang tak pernah murung meski hidup bersejahtera ria bukan di giliran mereka. Semua sudah bergerak keluar dari kapal, termasuk tubuh saya. Sampai jumpa!

--

--