Bulu Perindu: Sebuah Usaha Menyatakan Cinta
Ketika saya mengetik kata kunci “bulu perindu” di mesin pencari Google begitu banyak hal yang muncul. Mulai dari bagaimana cara mendapatkannya hingga khasiatnya yang telah membuat namanya begitu melambung di dunia maya. Bulu perindu atau Holttumochloa adalah genus dari tumbuhan bambu Malaysia. Bulu perindu dianggap mempunyai kekuatan magis sehingga mereka yang mencari kata kunci di mesin pencari rasa-rasanya akan tidak asing dengan khasiatnya yang berupa medium untuk pelet ataupun untuk penglaris. Adapun bulu perindu adalah benda bertuah yang memiliki panjang sekitar 7 cm dan tebal 1 mm yang diyakini dapat membuat wanita pujaan hati tergila-gila hanya dengan meniup ujung bulu ini. Sebuah usaha yang tidak hanya bersifat mistis namun juga berada di luar akal dan logika seorang manusia.
Di Indonesia, khususnya daerah Pulau Jawa, bulu perindu memang tidak sepopuler sepak terjang medium pelet. Hanya berbeda nama namun berkhasiat sama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pelet memiliki beberapa arti, yakni getah untuk menangkap burung; minyak (dari ikan duyung) untuk memikat hati orang; kata-kata manis untuk mengambil hati dan sebagainya; bujukan; pesona; pikat (karena kagum akan sesuatu). Dari empat macam makna pelet tiga diantaranya memiliki arti kata yang sama yaitu, usaha untuk memikat seseorang. Berdasarkan definisi yang baru saja kita ketahui boleh jadi, bulu perindu dan juga pelet yang memiliki tujuan untuk mengambil hati seseorang tanpa usaha yang masuk ke dalam nalar manusia seperti melalui aji-ajian serta merapalkan mantra.
Proses mistisme yang terjadi melalui medium bulu perindu dan pelet menyerang batas kesadaran manusia. Apakah melalui medium ini relasi yang terbangun diantara kedua individu baik yang memelet maupun dipelet, merupakan relasi utuh yang dilandasi oleh kesadaran dan kemerdekaan atas kuasa diri tanpa menyandang stigma tertentu? Apakah ada pihak yang dirugikan melalui usaha memikat hati seseorang ini? Mengingat hanya ada satu pihak yang ingin mendominasi hubungan privat antara dua orang individu tanpa memedulikan kehendak pihak yang didominasinya.
Tentang Cinta
Cinta merupakan hal yang penting dalam membangun sebuah relasi antara dua orang manusia. Terlepas dari kebutuhan yang lain, cinta masih menjadi faktor utama mengapa seseorang ingin menghabiskan sisa umurnya dengan seseorang yang mereka cintai. Bisa jadi karena motivasi yang beragam dari mulai alasan untuk mengaktualisasikan diri, merasakan nostalgia, atau membangun kehidupan yang didambakan sejak dulu.
Menurut Ian D. Suttie, seorang dokter dan psikoanalis kelahiran Skotlandia, eskpresi seseorang pada hakikatnya adalah sebuah proses sosial, dan meskipun dapat melayani kepentingan individu, ekspresi juga membangun hubungan yang menyenangkan secara intrinsik. Lebih lanjut Suttie menjelaskan bahwa, kata “cinta” memberi tanda pada pikiran, bukan untuk mengantisipasi munculnya kesenangan organik, melainkan perasaan aman dan persahabatan yang terasa menyenangkan di dalam dirinya sendiri, dan yang tentunya memainkan peranan dalam kehidupan sejak kecil, sekalipun cinta tidak sungguh-sungguh bersifat instingtual.[1] Mengingat fungsinya yang merupakan tanda bagi pikiran seseorang maka cinta bukan hanya sebuah hasil melainkan rangkaian proses untuk saling menumbuhkan perasaan aman dan nyaman terhadap seseorang yang lainnya sehingga berujung kepada kemauan untuk membuka diri.
Jika kita menelisik lebih awal apakah cinta merupakan sebuah kebutuhan, maka pada dasarnya selain kebutuhan alamiah tubuh (lapar, haus, seks, dan lain-lain), semua tindakan esensial manusia ditentukan oleh dua hal yakni regresi dan progresi, antara kembali ke eksistensi kebinatangan, atau menyongsong eksistensi kemanusiaan.[2] Maka dari itu manusia tidak bisa hidup secara statis karena kontradiksi–kontradiksi di dalam diri mendorongnya untuk mencari keseimbangan dalam rangka menemukan sebuah harmoni baru. Kebutuhan antar manusia mengantarkan manusia itu sendiri kepada bentuk kebutuhan dalam membangun kesatuan tertentu.
Ada beberapa jalan untuk meraih penyatuan tersebut. Manusia dapat menyatu dengan dunia melalui submisi (penyerahan kekuasaan) pada seseorang, kelompok, institusi, dan Tuhan. Dengan cara ini, keterpisahan eksistensi individualnya akan terlampaui dengn menjadi bagian dari diri seseorang atau sesuatu yang lebih besar darinya, dan menemukan identitasnya setelah ia menyerahkan kekuasaannya. Sebaliknya, manusia juga dapat menyatukan diri dengan dunia dengan meraih kekuasaan yang melampauinya, dengan membuat yang lainn sebagai bagian dari dirinya, dan itu akan membuatnya melampaui eksistensi individualnya dengan mendominasi.[3]
Jika kita kontekstualisasikan si pemelet dengan yang dipelet, maka Fromm menjelaskan lebih jauh bahwa elemen yang umum dalam submisi (masokis) dan dominasi (sadistis) adala simbiosis alami dalam keterhubungan. Pengejawantaan dari submisi dan dominasi tidak pernah mengarah pada kepuasan. Hasrat itu memiliki dinamika sendiri. Ketiadaan submisi atau dominasi (kepemilikan atau kepopuleran) akan membangkitkan gairah pencarian identitas dan gairah penyatuan yang lebih banyak lagi. Hasil yang paling utama dari hasrat itu adalah penaklukan.[4]
Fromm melanjutkan bahwa hanya ada satu hasrat yang akan memuaskan kebutuhan manusia, yaitu menyatukan dirinya dengan dunia pada saat yang sama memperoleh integritas dan individualitasnya. Hasrat tersebut adalah cinta. Cinta adalah penyatuan dengan seseorang, atau sesuatu, diluar dirinya pada saat seseorang sedang mempertahankan keterpisahan integritas dengan dirinya. Berikut adalah pandangan Erich Fromm tentang cinta:
“Dalam cinta citra seseorang atau cintra diri sendiri tidak perlu dinaikkan, karena realitas cinta dapat meningkatkan eksistensi indvidual. Pada saat yang sama, membuat seseorang mengemban kekuasaan aktif yang membangun lelaku mandiri. Yang paling penting adalah kualitas dari lelaku mencintai, bukan objeknya.
Cinta hadir dalam pengalaman solidaritas manusia dengan manusia yang lainnya, seperti cinta erotis laki-laki kepada perempuan, cinta ibu dan anak, juga cinta pada diri sendiri — semuanya terdapat dalam pengalaman mistis dari gairah penyatuan. Dalam aktivitas mencintai, saya satu dengan semua — selain saya adalah diri saya sendiri — saya adalah manusia fana yang unik, terpisah dan terbatas. Dan memang benar adanya, bawa di luar polaritas antara keterpisahan dan kesatuan, cinta lahir dan dilahirkan kembali.”[5]
Untuk berbicara lebih panjang tentang bagaimana konsep cinta terjadi terlampau jauh berbeda di dalam kepala dua orang yang berlainan jenis kelamin, dalam bukunya, The Second Sex, Simone de Beauvoir, intelektual Prancis terkemuka, mengungkapkan bahwa dalam memandang cinta baik laki-laki maupun perempuan memiliki kacamata yang berbeda. Perbedaan tentang konsep cinta ini terjadi berdasakan situasi yang berlangsung di tempat mereka berada. Individu yang berperan sebagai subjek –dalam hal ini laki-laki– apabila ia cenderung berusaha untuk melebihi perempuan, berarti ia seseorang yang ambisisus dan selalu mengambil tindakan teradap sesuatu. Di sisi lain, individu yang tidak punya kuasa –dalam hal ini perempuan- tidak bisa memenuhi keinginan subjektifnya, karena ia terjebak di dalam keadaan yang sudah “ada” sejak awal, dan karena itu, ia tidak bisa memutuskan tindakan yang harus diambil.[6]
Perbedaan situasi eksistensial antara laki-laki dan perempuan inilah yang mempengarui konsep cinta di antara mereka. Tanpa cinta, perempuan dianggap tidak eksis. Laki-laki yang sedang jatuh cinta merasa memiliki dan membuat perempuan yang dia cintai masuk dalam eksistensinya, sementara perempuan menjalani takdirnya untuk mengabdi dan menyerah begitu saja pada takdirnya, sampai ia yakin bawa ia adalah seseorang yang benar-benar dicintai. Kasih sayang dan kekaguman dari seorang laki-laki akan melenyapkan semua perasaan terhina dan perasaan direndakan, dan akan memuliakan ketergantungan perempuan terhadap laki-laki.[7]
Tentang Harapan
Baik Fromm maupun Beauvoir menganggap relasi antar manusia yang berlandaskan cinta merupakan manifestasi eksistensi manusia. Walaupun pada akhirnya Beauvoir menegasikan pendapat-pendapat yang menempatkan perempuan pada posisi objek melalui analisis berbasis gender yang berdasarkan pada mitos dan fakta seksualitas perempuan itu sendiri, membuka kesadaran bahwa pihak yang selama ini “terdominasi” merupakan pihak yang dirugikan. Hal tersebut menyalahi hak keberadaan manusia. Proses menemukan keterpisahan menuju penyatuan yang dianggap sebagai kebutuhan eksistensi seorang manusia mengalami begitu banyak dinamika. Namun keadaan mistis dengan mempercayai suatu kekuatan yang ada di luar tubuh manusia telah mengantarkan manusia kepada iman, kepada angan-angan kehidupan yang satu. Untuk meraihnya dibutuhkan kesadaran dan kemerdekaan dalam memilih. Maka apakah adil dan bermartabat ketika cinta diraih dengan cara mencurangi dengan menyerang batas kesadaran manusia?
Sampai pada hari ini apakah kita sudah berhasil adil dalam memandang bagaimana sebaiknya memandang cinta dan relasi yang akan kita bangun bersama individu lainnya dengan tidak mengingkari nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya? Manusia ketika dilahirkan sudah memiliki kemerdekaan untuk memilih meskipun, pada masa rentan dalam hidupnya dia membutuhkan figur orang tua dan keluarga sebagai lembaga peradaban pertama dalam hidupnya. Bahwa menjawab “ya” dan “tidak” adalah bentuk kemerdekaan yang lain dan seharusnya dihormati. Bisakah kita berhenti memandang cinta sebagai kekuatan yang mampu mengambil alih keteraturan dalam hidup seseorang, alih-alih membuatnya menjadi membebaskan? Bahwa mencintai itu membebaskan, membebaskan dia -cinta kita- memilih siapapun dan apapun sebagai wujud penyatuannya dengan keterpisahan yang menampilkan kekosongan menjadi terisi dan bermakna.
Dalam proses mistisme yang terjadi pada medium bulu perindu maupun pelet melibatkan sebuah arogansi seorang manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Relasi yang terbangun dengan mengandalkan jampi-jampi dan keadaan tidak sadarkan diri hanya akan merugikan semua pihak karena tidak akan mencapai kepuasan “penyatuan” dengan keterpisahan yang sudah lama dirasakan. Dari sekian banyak bentuk keterhubungan, hanya cinta yang mampu melampaui makna produktif itu sendiri yang memungkinkan seseorang dapat menjaga kebebasan dan integritasnya dalam proses meraih eksistensinya, dan pada saat yang sama, ia dapat menyatu dengan kerabat-kerabatnya.
Footnote:
[1] Disadur dari buku The Origins of Love and Hate, oleh Ian D. Suttie. Hak cipta 1952 oleh Julian Press, Inc, Pulishers. Dietak ulang atas izin The Julian Press Inc.
[2] Erich Fromm. Cinta yang Produktif dalam Anatomi Cinta, hlm. 268
[3] Ibid. Anatomi Cinta. Hlm. 272
[4] Ibid. Anatomi Cinta. Hlm 273
[5] Ibid. Anatomi Cinta. Hlm. 275
[6] Simone de Beauvoir. The Second Sex. Hlm. 12
[7] Simone de Beauvoir. Perempuan yang Sedang Jatuh Cinta dalam Anatomi Cinta. Hlm. 345
Sumber:
· http://manado.tribunnews.com/2017/10/17/3-misteri-bulu-perindu-beserta-kegunaannya
· Krich, A.M. 2009. Anatomi Cinta: Risalah Jalan Cinta, Arti Cinta dan Kekuatan Cinta. Jakarta: Komunitas Bambu.
· Beauvoir, Simone de. 2016. Second Sex: Fakta dan Mitos. Yogyakarta: Narasi.