Di Tengah Peperangan

Lalu MS Aulia Sastra
Sagara Isme
Published in
5 min readMar 6, 2018

Anakmu bukan bagian dari perangmu

Sumber: Tim Publikasi Sagara Isme.

Dewasa lalu, saya pikir bahwa betapa menyenangkannya menjadi Peter Pan dan kawan-kawan yang tinggal di Neverland dan tak pernah beranjak tua. Bagi saya, menjadi anak-anak selamanya akan memberikan saya rasa aman dan ketidakpedulian akan dunia nyata yang ternyata menakutkan. Sampai akhirnya, The New York Times merilis Tempat-Tempat Paling Berbahaya Bagi Anak-Anak di Tahun 2017.

Begitu berbahayanya menjadi anak-anak, ‘ternyata’. Lemah dan tak ada kuasa untuk sekadar mempertahankan diri dari pelbagai hal buruk yang diciptakan orang dewasa. Saya sadar bahwa kartun The Rugrats saja beranjak dewasa dengan versi remajanya, maka kita dengan sel-sel fisik yang semakin menua pun sama. Realitas menjadi hal yang paling menakutkan.

Anak-anak menjadi korban nomor wahid setiap kali konflik meledak. Sayangnya, pertolongan pertama untuk menyelamatkan anak-anak baru dimulai pada tahap eskalasi konflik. Terlebih lagi pada konflik-konflik agama yang laten dan mengendap. Secara garis besar, konflik berpotensi untuk merenggut hak-hak anak diantaranya pendidikan, nutrisi (makanan dan air) serta bermain dan bersosialisasi.

Pada konflik-konflik yang sudah mencapai posisi eskalasi dan entrapment (pada Teori Konflik Ho Won Jeong, 2008) seperti di Sudan Selatan dan Afganistan, anak-anak tidak lagi disuguhkan traumatik sebagai santapan, pemerkosaan, pernikahan anak, dan juga tentara anak menjadi realitas utuh. Pada laporan The New York Times Februari 2018, ada 300 tentara anak yang telah dibebaskan di Sudah Selatan. Dalam konflik tersebut, sudah ada 19.000 anak yang direkrut masa kecilnya untuk menjadi tentara anak. Untuk apa?

Dalam konflik yang berujung pada perang, pendanaan menjadi variabel mayor. Pihak-pihak yang berseteru membutuhkan dana untuk senjata, logistik dan kesehatan guna satu tujuan: mendominasi. Selaiknya, tidak ada pemenang dalam konflik, yang ada hanyalah korban yang mendominasi korban lainnya. Sehingga penggunaan tentara anak cendrung lebih hemat dan dapat lebih mudah dikerahkan ke area lawan, karena ukuran tubuhnya.

Selama beberapa tahun terakhir Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyelamatkan hampir 2000 tentara anak, jumlah yang tidak ada apa-apanya jika kita bandingkan dengan perkiraan total tadi. Di Kongo tahun 2017, ada 600 sekolah yang diserang, hal ini menghilangkan hak belajar ribuan bahkan puluhan ribu siswa. Pihak-pihak konflik mengerti, bahwa dominasi yang diangankan akan terjadi dengan cara melakukan pembodohan kepada pihak lawan. Pelaku konflik secara sengaja maupun tidak telah merancang peperangan untuk berdampak bukan hanya pada masa peperangan saat itu, namun juga hingga bertahun-tahun yang akan datang.

Bagi anda barangkali Sudan Selatan dan Afganistan terlampau jauh untuk dilihat. Di sini anak-anak hanya bermain dengan bercak lumpur sedangkan di sana dengan bercak darah. Namun, jika lihat beberapa puluh tahun yang lalu, Afganistan tidak jauh berbeda dengan situasi kita saat ini, damai yang tidak sepenuhnya damai. Orang-orang masih tidak takut untuk berjalan-jalan di pinggir terotoar tanpa salah menginjak ranjau; atau para keluarga tidur lelap dan nyenyak di malam hari tanpa takut ada bom yang jatuh menimpa genteng rumah mereka.

Namun, itu semua sebelum agresi Rusia dan Amerika. Konflik serupa memiliki probabilitas yang mendekati sangat mungkin terjadi di Indonesia. Perlu kita tengok lagi beberapa tahun yang lalu, saat isu-isu Syi’ah dan Ahmadiyah begitu memuakkan. Di salah satu daerah di Indonesia saja, pernah muncul baliho yang bertuliskan menentang salah satu sekte Islam yaitu Ahmadiyah yang diungkapkan dengan provokasi akan membunuh anak-anak dari para pengikutnya.

Konflik Ahmadiyah yang dimulai era Orde Baru dan memuncak dengan keluarnya SKB 2008 bukan hanya bisa dilihat pada hak-hak korban secara general, namun juga bagaimana negara harusnya mengakomodir hak-hak anak. Negara lebih banyak membiarkan anak dan keluarganya mengungsi tanpa ada kejelasan bahwa akan ada penanganan traumatik. Konflik Syiah-Sunni di Sampang Madura saja harus memaksa 224 jiwa untuk mengungsi ke Sidoarjo. 123 di antaranya adalah anak usia balita dan sekolah serta perantren tempat mereka belajar kemarin telah hangus dibakar masyarakat yang marah. Anak-anak inilah yang kemudian hari akan mengingat hal-hal pada masa kecilnya sebagai trauma dan dendam. Perdamaian, jika hanya divisualkan dengan bentuk tidak ada konflik fisik, maka perdamaian itu hanyalah fatamorgana belaka.

Anak-anak adalah kertas putih yang begitu mudah digoreskan tinta dogma. Kita bisa memilih dogma seperti apa yang mau kita susun. Sebagai contoh, pernah muncul dan viral bagaimana arak-arakan anak-anak di DKI Jakarta pasca Pemilukada 2017 mempertontonkan hujatan-hujatan dan teriakan bunuh-bunuh kepada salah satu mantan calon Gubenur pada saat itu. Dengan asumsi sederhana, anak-anak yang tidak memiliki hak pilih dan dilindungi UU nomor 35 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak pada pasal 15 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.

Dokrin kepada anak dengan unsur politik yang dilabeli agama barangkali tidak akan kita rasakan saat ini, namun ketika anak-anak tersebut beranjak dewasa, dua puluh hingga tiga puluh tahun lagi, mereka akan menggantikan generasi tua dan menjadi penyusun kebijakan. Dokrin-doktrin kebencian seperti bunuh-bunuh tadi akan ikut bersama mereka tumbuh dan berkembang. Akan menjadi landasan dalam mengambil sikap di sepanjang hidupnya. Anak merasa bahwa kemanusian dan hidup itu boleh saja direnggut dengan ketentuan-ketentuan yang timpang. Tentu ini sama sekali bukan basic parenting yang baik untuk peradaban kita.

Untuk melawan riuhnya dunia yang marah ini, mulai saat ini kita bisa menanamkan prinsip Active Non-Violence kepada anak-anak kita (Khisbiyah, 2000). Ada empat variabel yang bisa kita tanamkan, pertama, anak-anak kita ajak untuk melihat kehidupan sebagai sesuatu yang suci. Hanya kematian yang bisa merenggutnya dan itu bukan atas kehendak kita sebagai manusia. Kedua, kita harus meyakinkan kepada anak-anak bahwa sebenarnya setiap manusia adalah baik dan memiliki hati nurani. Ketiga, mau berkorban untuk temannya atau orang lain. Keempat, anak-anak kita ajak melihat anti kekerasan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan. Konsep ini sebenarnya bukan spesifik ditujukan kepada anak-anak, namun kepada semua orang. Oleh karena itu untuk mewujudkan Pendidikan damai tersebut, haruslah terlebih dahulu orang-orang dewasalah yang mengilhaminya. Tujuan dari Active Non-Violence ini adalah bagaimana menumbuhkan sikap untuk melawan kekerasan dengan tanpa kekerasan. Hampir mirip dengan konsep Ahimsa milik Gandhi.

Menjadikan anak sebagai tantara tidak lebih buruk dengan menjadikan anak sebagai aktor politik yang pada tahap hidupnya itu, mereka belum bisa memproduksi pilihan-pilihan rasional. Sehingga apa kata emak-bapak menjelma menjadi hukum, bukan hanya untuknya namun juga dalam kehidupan sosialnya. Kita bisa saja menikmati hidup yang damai sekarang, namun akibat dari perbuatan kita pula (siapa tahu) anak kita akan menjadi menyulut peperangan di masa depan.

Daftar Pustaka

Khisbiyah, Yayah. 2000. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Press Release Unicef regarding Children under attack at shocking scale in conflicts around the world

Karasz, Palko, Jina Moore and Ceylan Yeginsu. 2017. The Most Dangerous Places for Children in 2017. The New York Time.

Jeong, Ho Won. 2008. Understanding Conflict and Conflict Analysis. London: Sage Publication.

--

--