Intimidasi Generasi

Khasemy R
Sagara Isme
Published in
5 min readMar 6, 2018

Oleh Khasemy Rafsanjany

Narasi Fiksi

Dalam sebuah film fiksi ilmiah “Lucy” Professor Norman (yang diperankan oleh Morgan Freeman) menarasikan sejatinya manusia hidup dan lahir dari generasi ke generasi untuk mewarisi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dilahirkan bermetaforsis dari satu medium ke medium yang lain. Dengan melakukan penyempurnaan dari satu kondisi ke kondisi yang lainnya. Pada dunia akademik kita mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan yang bisa berkembang dan bisa diperdebatkan.

Ruang perdebatan pada akhirnya akan melahirkan relung tersendiri. Relung ini akan menuntut partisipasi generasi berikutnya. Partisipasi untuk memberikan sumbangan ide, pemikiran, imajinasi serta pemenuhan sisi kognisi lainnya. Sumbangan ini sebagai bentuk dukungan dan harapan generasi sebelumnya.

Tepat jika dalam salah satu agama memberikan pemahaman tentang pentingnya mendidik seorang anak. Dan menyiapkan sang anak untuk siap menghadapi tantangan generasinya. Hal ini disebabkan karena kondisi generasi seorang anak berbeda dengan kondisi zaman orang tuanya. Mempersiapkan seroang anak menghadapi tantangan generasinya tentu tidak memandang tempat di mana anak akan dibesarkan, baik itu di kota metropolitan, atau di desa sekalipun.

Namun, ada satu kondisi yang terjadi di desa. Tentang warisan ilmu pengetahuan. Tidak seperti narasi fiksi ilmiah Lucy yang mewarasikan ilmu pengetahuan dengan perdebatannya. Bahkan di desa hal tersebut sangat jarang ditemukan. Mewariskan ilmu pengetahuan sesuatu yang langka. Bahkan hanya bisa dirasakan dalam lingkungan seragam anak sekolah.

Tidak ada perdebatan mengenai ilmu pengetahuan, karena dianggap tidak begitu penting bagi kehidupan di desa, dan seolah ilmu pengetahuan terasa sangat jauh untuk diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat desa. Sehingga mereka beranggapan ilmu pengetahuan hanya untuk orang formal dan orang tertentu saja. Tidak heran, jika penelitian Jean-Marc de Grave menjelaskan, anak desa yang lulus sekolah Menengah Atas (SMA) lebih memilih untuk kerja, daripada melanjutkan ke studi selanjutnya.

Namun, pada kondisi tertentu bekerja merupakan peruntungan yang baik bagi seorang lulusan SMA. Contoh, Badan Pusat Statistika (BPS) Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), merilis data kemiskinan tahun 2016–2017. Penyumbang kemiskinan kedua di Lombok Tengah adalah orang yang tidak bekerja dan mereka yang pernah menempuh pendidikan, dengan persentasi 24 persen.

Tak Ada Tempat yang Sepenuhnya Damai

Memahami ilmu pengetahuan bagi orang desa, adalah sesuatu yang jauh dan sulit dipahami, setidaknya begitulah yang orang-orang desa katakan. Seolah ada “Jarak” dengan ilmu pengetahuan. “Jarak” dengan ilmu pengetahuan membuat sekat tersendiri, seolah mereka terpisah dan takkan pernah ditemukan.

Dan bagi anak desa, tumbuh dan berkembangnya tidak selayak yang digambarkan dalam buku fiksi maupun non fiksi. Dalam banyak buku, desa digambarkan sebagai tempat yang nyaman dan damai. Seolah di dalamnya hanya ada kerukunan dan saling memahami jika ada kepentingan yang menyangkut kepentingan bersama.

Tidak. Tidak demikian adanya. Di desa lebih menakutkan dari yang dibayangkan. Ada banyak masalah di desa: ekonomi, sosial, kemiskinan, pengangguran, infrastruktur serta akses informasi yang sangat terbatas. Faktanya adalah 13.93 persen kemiskinan di Indonesia berasal dari desa. Dan jangan salah, bahwa kondisi kemiskinan yang disebutkan dalam seminar-seminar pengentasan kemiskinan di banyak universitas, sebagian besar adalah kemiskinan di desa.

Sementara masyarakat desa seolah sudah terbiasa dengan kondisi-kondisi yang mereka temukan. Kemiskinan, pengangguran, inftrastruktur serta kondisi sosial yang mereka temukan sejak kecil.

Tidak ada pengentasan kemiskinan seolah tidak masalah, tidak ada pemberdayaan masyarakat tidak jadi persoalan, tidak adanya pengerjaan infrastruktur bukan masalah besar bagi mereka. Kalaupun ada yang mempermasalahkannya, suara mereka hanya akan sampai pada tetangga sebelah rumahnya. kemudian akan hilang dalam hitungan hari dan akan digantikan dengan perbincangan hangat kelanjutan sinema elektronik (sinetron) semalam. Begitu terus yang akan terjadi.

Untuk beberapa kelompok di desa. Mereka memiliki semacam garis kepasrahan. Ditambah mereka salah mengartikan makna beberapa konsep pemahaman agama yang mereka yakini. Seperti konsep takdir (bagian agama) yang harus dijalani sesuai dengan kehendak Nya. Hal tersebut berlaku juga bagi perbaikan infrastruktur jalan yang tak kunjung mendapat jatah perbaikan dari pemerintah setempat. Semuanya akan dikembalikan kepada takdir. Tanpa berjuang lebih jauh.

Tidak berlebihan jika Marx mengkritik kelompok ini, dengan menyebutkan bahwa mereka sebagai candu agama. Dalam persepktif ini Marx mengkritik orang-orang yang terlalu cepat merasa puas dan bahagia, dan mengembalikan keadaan mereka kepada konsep agama. Kemudian memasrahkannya tanpa mau berusaha lebih jauh. Sementara pemahaman agamapun, tidak demikian adanya (Muttaqin, 2013).

Begitu juga dengan konsep rizki. Rizki bagi mereka adalah apa yang mereka terima dengan percuma, bukan apa yang mereka usahakan lalu mendapatkan hasil dari apa yang mereka perjuangkan. Mungkin ini salah satu efek dari program Bantuan Langsung Tunai (BLT) salah satu presiden negeri ini waktu itu. Sampai mereka salah paham tentang konsep rezeki. Mungkin.

Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya

Jika masyarakat kota bermental terbuka. Maka, di desa sebaliknya. Ada mindset tertutup disana. Seakan mereka tidak terbiasa dengan orang lain. Ada semacam stigma tersendiri jika memandang orang yang berasal dari luar lingkunganya. Mindset tertutup orang desa akan sulit menerima orang-orang yang berasal dari luar desanya. Dan mereka lebih mengandalkan judgment pribadi atau kelompok sebelum mengetahui kondisi sebenarnya.

Kondisi ini terjadi turun menurun. Sifat inilah yang diwarisi dari generasi ke generasi. Anak yang lahir dan dibesarkan di desa akan mewarisi sifat dan cara berpikir orang tuanya. Tidak salah jika Sigmund Freud menggambarkan perkembangan anak tidak akan jauh dari lingkungannya.

Jika Professor Norman menjelaskan tentang warisan ilmu pengetahuan, namun yang terjadi di desa adalah warisan kepasrahan. Anak-anak yang hidup di desa, hidup berada dalam bayang-bayang generasi sebelumnya dengan membawa gen mindset tertutup dan gen kemiskinan, dan keduanya seolah sulit dirubah. Bibit-bibit kemiskinan dan mindset tertutup sudah dibawanya melalui komunikasi paling dekat dengan anak, keluarga.

Pun ketika mereka sudah mulai keluar dari zona kelurga, mencari teman bermain dengan pola pemikiran yang dibawa dari keluarganya masing-masing. Seolah menjadi legitimasi dan memperkukuh realita yang ada didalam benaknya. Dan menjadi realita semu yang tidak perlu dilawan. Dengan mindset yang sama, yakni kita sama-sama miskin.

Pemikiran tersebut bahkan dibawa sampai mereka memasuki zona formal, sekolah. Sekolah hanya bias normatif, karena akan menjadi tabu, jika ada anak yang tidak sekolah. Dan sekolah hanya menjadi pelengkap rutinitas, bukan sebagai alat yang dengan sadar dilakukan untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Masa formal pendidikan mereka, kebanyakan sampai SMA, lalu bekerja atau menikah merupakan pilihan yang realistis.

Disisi lain, kadang tak ada kata demokratis untuk anak di desa. Mereka hanya akan menerima semacam instruksi dari kebenaran semu orang tua dan lingkungannya. Termasuk cara berpikir dan bertindak. Hal tersebut terjadi terus menerus. Dan anak tidak memiliki ruang untuk berpendapat. Atau menyuarakan rasa keberatannya.

Mengelak dari instruksi orang tua menjadi boomerang tersendiri bagi anak. Karena akan dianggap sebagai anak yang membangkang. Dan lagi-lagi kebenaran semu ini menjadikan mereka sebagai anak yang pasrah.

Kebenaran semu ini menjadi semacam standarisasi akal seorang anak. Sehingga tidak heran, mereka harus mau mengiktui pola generasi sebelumnya.

Tak ada perdebatan. Tak ada sikap demokratis. Hanya instruksi kebenaran semu yang ada. Begitulah yang terjadi secara turun menurun dari generasi ke generasi. Kebenaran semu menjadi standar berpikir anak dalam masyarakat, dan mengelak dari cara berpikir demikian akan sangat sulit dihindari, karena sangat masif. Dan pada akhirnya kebenaran semu menjadi intimidasi generasi selanjutnya.

Refrensi :

Dhalla. Anggaran Besar, Komiskinan di Lombok Tengah Masih Nyebar. 1 Maret 2018.

https://radarlombok.co.id/anggaran-besar-kemiskinan-di-lombok-tengah-masih-nyebar.html

Fanada, Dzikra . Seperti apa bedanya keseharian anak SMA di Koda dan desa?. 1 Maret.

https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/178092-keseharian-anak-sma-yogyakarta

Grave, Jean(2017), Keseharian Pelajar SMA di Indonesia. Jakarta, Indonesia

Muttaqin, Ahmad (2013). Karl Marx dan Friedrich Nietzsche Tentang Agama. Jurnal Komunika. Vol 7 (1)

Nababan, Cristine. Penduduk Misikin di Indonesia Capai 27,77 Juta Orang. 1 Maret 2018.

Https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20170717132808-92-228339/penduduk-miskin-di-indonesia-capai-2777-juta-orang

--

--