Manusia, Peristiwa dan Cara Kita Menjabarkan Alam
Siapakah kita? Bagaimana bisa kita memiliki kesadaran bahwa kita hidup dan ada di dunia ini? Apakah dunia itu nyata sesuai dengan terminologi kita mengenai “nyata” atau bisa saja semua adalah tipuan indra kita yang menghadirkan segala hal? Kemudian, sejak kapankah manusia mulai bisa menjabarkan segala hal yang sebelumnya disebut filsafat kemudia menjadi filsafat alam lalu menjadi ilmu pengetahuan yang kemudian manusia memisahkan antara ilmu dan pengetahuan yang mengahdirkan sains dengan pencapaian yang mengagumkan, sejauh ini?
Pada dasarnya manusia memiliki sebuah naluri untuk menjelaskan bagaimana sebuah fenomena alam terjadi. Pada buku Grand Design karya Stephen Hawking, Hawking menjelaskan bahwa bagi masyarakat Viking kuno, gerhana matahari dilihat bahwa ada Seekor Kucing dan Rubah di langit saling berkejaran. Gerhana Matahari tersebut adalah bentuk dari keberhasilan sang rubah dalam menangkap kucing.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat Viking Kuno? Mereka percaya bahwa dengan pergi keluar dan memukul segala hal untuk menghasilkan suara-suara berisik akan membuat sang Rubah takut dan kabur, sehingga kucing tersebut bisa bebas, kebebasan sang kucing akan berakibat melepaskan belenggu gerhana pada matahari, sehingga bisa bersinar kembali. Pemikiran seperti ini juga ditemukan di Masyarakat Suku Sasak di Lombok, Indonesia. Namun, bedanya hanya terletak di tidak digunakannya metafora rubah dan kucing.
Bagi Masyarakat Lombok, kehadiran Nyale adalah berkat legenda Putri Mandalika yang rela berkorban untuk rakyatnya dnegan tidak memilih salah satu dari empat pangeran dari berbagai kerajaan yang berniat mempersuntingnya. Jika salah satu di antara pangeran tersebut berhasil mempersunting Putri Mandalika, maka terntu yang lain akan mendeklarasikan peperangan. Maka, terjunlah Sang Putri di Pantai Seger untuk menjelma menjadi cacing laut-yang kemudian disebut Nyale-untuk menjadi berkah bagi seluruh rakyatnya. Setiap tahunnya rakyat menyelenggarakan festival untuk memeringati hal tersebut.
Beberapa minggu sebelum festival tersebut, angin kencang dan badai akan menyelimuti Pulau Lombok dan sekitarnya. Hal ini diyakini sebagai huru-hara untuk memeringati kegundahan hati Sang Putri kala itu dan semua itu berhenti ketika festival selesai diselenggarakan. Cacing Nyale yang berasal dari kelompok cacing polychaeta adalah cacing laut yang hidup di dasar laut dan sesekali dalam setahun beranjak ke pesisir untuk berkembang biak. Pada masa-masa peristiwa langit seperti purnama, cacing ini naik. Pada bulan-bulan sebelum purnama, di awal tahun, angina kencang sebagai siklus tahunan terjadi di sepanjang lanskap Lombok.
Gregory Rouse dan Fredrik Pleijel dalam bukunya Polychaetes menjelaskan bahwa tradisi makan cacing ini sudah terjadi sejak lama, bukan hanya di Lombok namun di beberapa negara di sepanjang Nusantara (Lombok, Sumbawa Barat, Papua Barat), Madagaskar dan Polinesia. Beberapa di antara kebudayaan-kebudayaan itu melihat dan menandai kedatangan Nyale dengan peristiwa alam seperti purnama dan siklus angina. Tidak sampai di situ saja, beberapa kebudayaan juga menghubungkan Nyale dengan cerita-cerita lokal.
Manusia melihat dunia sebagai suatau hal yang penuh misteri. Ada yang memecahkannya dengan sains, ada pula dengan jabaran mitologi dan mistisme. Alam gaib adalah sebuah kode. Kode untuk memperkenalkan dan menyebut suatu hal yang supra-rasional secara konseptual. Manusia melihat setan diberbagai budaya, misalnya Bali dan Sasak yang tergambarkan seperti Leak yang seram dengan lidah berjulur dan bertujuan mengganggu manusia, hampir sama dengan berbagai budaya namun dengan gambaran yang sedikit berbeda-beda. Perlu ada kajian lebih jauh mengenai munculnya terminologi setan ini.
Munculnya dogma-dogma agama juga turut serta dalam memvisualkan (dalam kepala manusia) mengenai hal-hal yang berkode gaib. Dimensi lain, malikat dan dogma mengenai surge dan negara hingga katastropis juga digunakan untuk membuat para pemeluknya taat. Pada dasarnya manusia menghadirkan agama pada kehidupan mereka guna membantu menjabarkan segala misteri yang ada. Berhubung agama menawarkan berbagai jawaban dan keterbatasan. Keterbatasan dengan tema rahasia ilahi diadakan guna menjawab hal-hal yang tidak bisa ditembus nalar ataupun belum dilakukan penelitian ilmiah mengenainya. Hal ini menidurkan sejenak rasa kaingintahuan manusia.
Setan atau musuh manusia banyak digambarkan berbagai struktur agama. Pada agama Yahudi, musuh bukan hanya Setan dan Iblis namun juga suku Kanaan-yang masih belum jelas siapa dan apa. Dalam buku The Sons of Abraham karya Imam Shamsi Ali dan Rabi Mark, dijelaskan bahwa terminology suku Kanaan adalah sebuah metafora. Suku tersebut tidak benar-benar ada. Tuhan menyatakan perintah kepada bangsa Yahudi untuk membunuh semua suku Kanaan bukan berarti benar-benar membunuh secara harfiah. Namun, Menurut Rabi Mark, maksud Tuhan adalah membunuh sifat-sifat buruk selayak rekaan suku Kanaan pada diri masing-masing manusia.
Kembali ke Setan, pada agama-agama Samawi, Setan diintrepretasikan sebagai penentang perintah Tuhan dan sosok antagonis dalam menjalankan aktivitas agama oleh para umat. Iblis-ciptaan Tuhan yang berasal dari api-dalam salah satu cerita Islam dijelaskan adalah sosok yang menentang perintah Tuhan untuk menghormati ciptaan lainnya yang berasal dari tanah (manusia). Pertentangan tersebut menjadikan Iblis dan Setan membelot dan mengacaukan kehidupan manusia. Alegori ini kerap dijadikan sebagai kambing hitam atas sifat-sifat buruk manusia dalam kehidupan sosialnya.
Pada masa-masa modern seperti sekarang, apakah setan itu masihkah ada? Atau pernah benar-benar ada? Kita bisa saja berpendapat bahwa setan itu benar-benar ada, bahkan meyakini itu hanyalah bualan. Namun, selalu ada opsi untuk melihat setan sebagai bagian dari cara manusia yang sudah jutaan tahun mengada di planet ini untuk menjabarkan banyak hal, sifat buruk, moral, nilai, perkembangan, atau bahkan kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Kata ada-pun di sini juga bisa kita diperdebatkan secara terminologi atau bahkan secara dekonstruktif. Apakah untuk ada harus berbentuk? Apakah untuk ada harus terlihat? Begitupun pandangan ada untuk alam gaib.
Terkadang manusia dalam Bergama (khususnya Agama Samawi) lupa bahwa banyak dialog-dialog dan ayat-ayat Tuhan menggunakan makna-makna tersirat dan metafora. Melihat Islam sebagai salah satu agama yang umatnya memenuhi seisi bumi bisa sebagai contoh. Al-Qur’an sendiri terkenal di dunia barat sebagai kumpulan ayat-ayat suci yang sangat puisi. Salah satu pemikir Islam yang paling kontroversial dan juga agung, Ali Syari’ati, menjelaskan bahwa bagaimana harusnya kita menjabarkan Al-Qur’an yang harusnya diungkapkan dengan makna-makna yang dinamis, kontekstual dan memaknainya sebagai pesan Tuhan yang penuh misteri, kaidah-kaidah yang puitis yang turun bersama dengan simbol-simbol dan metafora yang memiliki kandungan sastra yang luhur. Jika dikemudia hari kita tidak sesemangat itu melihat Al-Qur’an maka makna-maknanya akan terperangkap yang tidak lagi representatif di masa depan. Kemudia hari manusia akan meninggalkannya.
Kita disuguhkan oleh agama segudang alam gaib yang kemudian kita cernah dengan berbagai cara. Beberapa di antara peradaban yang sudah ada mengunyahnya dengan benar-benar tekstual sehingga penglihatan membatasi segala sesuatu dengan rahasia ilahi. Tetapi, ada pula yang mencernanya dengan semangat keingintahuan dan melahirkan filsafat. Alam gaib adalah sesuatu yang otentik namun akan menyeramkan jika kita terkurung dalam ruang sempit yang dihasilkan dari ketidaklogisan kita.
Lalu bagaimana kita melihat Tuhan sebagai hal yang astral nan gaib? Para pemikir postmodernis sebenarnya memberi ruang untuk hal tersebut. Beberapa dari pemikir tersebut berpendapat bahwa sains modern mulai membahas mengenai supra-realitas atau hal-hal yang jauh lebih besar dari simbol-simbol Bahasa dan definisi kita.
Orang Barat kuno melihat Tuhan sebagai sosok pria tua yang tinggal di langit. Berjubah putih, bijak sana, mengatur dunia, memiliki anak serta istri, dan berjenggot. Persis seperti mereka merefleksikan diri mereka sendiri. hal ini dapat kita temukan pada gambaran Zeus (Yunani) dan Odin (Nordik). Gambaran ini muncul karena kaingintahuan manusia untuk menjelaskan bagaimana dunia tercipta dan bagaimana dunia bekerja. Keterbatasan Bahasa dan pengetahuan zaman tersebut, menjadikan manusia percaya bahwa ada sosok agung bertindak namun gambaran kita masih sebatas visual manusia pada umumnya.
Ferdinand de Saussere menjabarkan Bahasa sebagai sistem tanda. Ada penanda dan tertanda. Objek diberikan tanda dan namanya sebagai penanda. Manusia kala itu percaya bahwa ada seseorang yang benar-benar tinggal di langit dan berbuat sewenang-wenang untuk mengatur jagad semesta, hal tersebut dikodekan sebagai “Tuhan” namun objek tersebut tidak pernah sama sekali tervisualkan dalam dunia riil. Sehingga Masyarakat Barat memberikan gambaran objek seperti yang kita bahas tadi.
Tuhan sejak lama dijadikan kode untuk kita menyebut zat yang melebihi definisi-definisi kita yang menjadi awal, ada dan akhir dari segala suatu. Jacques Derrida, salah satu pemikir postmodern terpenting, berpendapat bahwa Tuhan adalah zat yang tak dapat dilihat lebih dahulu, tidak dapat diraih, sesuatu yang akan datang, sesautu yang tanpa nama. Derrida menjabarkannya sebagai mysterium tremendum et facinans-misteri yang menggetarkan serta memukau di jantung kehidupan. Derrida bahkan telah membuka jendela baru untuk manusia melihat Tuhan dengan lebih agung dan tidak sepele. Tuhan yang melibihi apapun, berbicara dengan sains dan membebaskan manusia!
Manusia yang lupa sejak kapan mereka benar-benar ada di planet yang kemudian mereka sebut sebagai Bumi ini. Oleh sebab itu mereka coba untuk berpikir dan menggali sejarah. Namun, sejarah baru ada awal-awal ini, di mulai sekitar masa-masa Mesopotamia di negara-negara Arab yang sedang berperang sekarang. Sebelumnya, kemana saja manusia? Tertidur? Baru tercipta?
Milyaran tahun lalu, sesuatu yang begitu pejal meledak dan panasnya menyebar. Ruang dan waktu baru tercipta bersama munculnya debu-debu. Chaos sebagai Bahasa paling tepat untuk menggambarkan semesta ini awal-awal. Debu-debu kosmik mulai bertentuk hasil dari sisa-sisa ledakan tersebut. Bintang, planet, komet, anteroid, dan banyak hal lainnya mulai meledak, bertabrakan dan saling mengitari serta mengikat dengan terciptanya gravitasi.
Butuh milyaran tahun lagi untuk menciptakan Cosmos atau keteraturan. Setelah itu, di sebuah partikel debu kosmik yang sangat kecil yang akan dinamai Bumi, kehidupan pertama mulai muncul. Seks dan ekosistem mulai terjadi. Manusia sebagai homo sapiens mulai sadar dan berpikir. Jauh di tanah Nordik, orang-orang berpikir kenapa bisa ada listrik agung yang menyabar dari langit, mereka menamainya petir. Mereka berpikir bahwa hal itu tercipta dari salah satu dewa bernama Thor, anak dari Odin, yang sedang mengetok palu luhurnya sehingga tercipta petir.
Ribuan tahun berikutnya, jauh di selatan, Acropolish, sekelompok orang yang menamai dirinya filsuf menentang hal tersebut dan mulai mencari penjelasan logis untuk munculnya petir. Hingga sekarang pada ilmuan masih terus membaca dan mencari tahu mengenai petir.
Mengutip filsuf pra-socratic popular, Protagoras (490–420 SM) man is measure of all things-manusia adalah ukuran segala hal. Bahasa manusia yang terbatas dan cara kita melihat sesuatu yang berdasarkan pengalaman indra kita, tentu menghasilkan hal-hal yang tidak dapat kita jangkau, apakah itu karena hal tersebut melebihi rasionalitas kita atau hanyalah kita yang belum bisa bergerak terlalu jauh karena zaman belum datang.
Saya tidak bermaksud untuk meniadakan alam gaib sebagai bagian dari konsekuensi peradaban manusia. Alab gaib dapat dilihat sebagai mitos yang memesona. Manusia menciptakannya dari serangkaian implus yang ditangkap oleh indra kita selama ribuan tahun sejarah manusia. Mengutip K. Bertens dalam Sejarah Filsafat Yunani, mitos dilihat sebagai faktor penting dalam munculnya filsafat dan juga aspek yang memunculkan filsafat itu sendiri. patutlah kita tidak hanya berterima kasih namun juga kagum dengan para pendahulu kita yang dengan intuisi dan intelektualitasnya dapat menggambarkan peristiwa dan menjabarkannya dengan Bahasa yang sangat terbatas. Alam gaib yang tercerna pada indra kita dan metafora-metafora yang kita bentuk dalam Bahasa menjadi harta kekayaan dan juga pematik untuk terus memecahkan misteri dunia. Panjang umur untuk mereka yang terus mencari dan berpikir!