Menjadi Indonesia

Ganis Shi
Sagara Isme
Published in
3 min readDec 23, 2018

Judul tulisan di atas mengingatkan saya dengan dua hal: yang pertama sebuah buku legendaris karya Mochtar Lubis yang berjudul Manusia Indonesia dan yang kedua, sebuah kidung hadiah untuk bangsa karya band raja pensi -pentas seni- sewaktu saya masih menjadi anak sekolahan, Efek Rumah Kaca. Namun dalam tulisan kali ini saya akan cenderung membahas tentang buku “Manusia Indonesia” karya Mochtar Lubis yang meskipun diterbitkan untuk pertama kali di tahun 2001, tujuh belas tahun sebelum tulisan ini muncul masih relevan dengan apa yang terjadi di tengah hari ini.

6 April 1977, bertempat di Taman Ismail Marzuki, Mochtar Lubis penulis novel yang terkenal itu memberikan ceramah tentang macam-macam Manusia Indonesia. Menurutnya ada enam macam tipikal manusia di negeri ini. Pertama, manusia munafik atau hipokrit, yang di antaranya menampilkan dan menyuburkan sikap ABS, asal bapak senang. Kedua, enggan dan segan bertanggung jawab. Ketiga, bersikap dan berperilaku feodal. Keempat, percaya takhayul. Kelima, artistik atau berbakat seni. Dan keenam, lemah dalam watak atau karakternya. Dari keenam sifat tersebut tidak ada satupun yang benar-benar merupakan sifat yang yang baik yang ada dalam diri Manusia Indonesia.

Jika kita bertemu dengan sebuah lingkungan yang sama sekali baru maka mau tidak mau kita akan bersinggungan dengan setiap inci dan organisme dari ekosistem tersebut. Apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan akan membentuk persepsi baik terhadap subjek maupun objek. Persepsi inilah yang akan membawa kita ke dalam stereotip yang kita buat sendiri dalam rangka untuk membuat garis imajiner antara ‘aman’ dan ‘tidak aman’ murni menurut dan untuk diri kita sendiri. Stereotip memang tidak sepenuhnya benar, namun juga tidak sepenuhnya salah. Mereka adalah produk pikiran kita dalam mengelola informasi yang berupa pengalaman, observasi, tetapi juga oleh prasangka dan generalisasi yang kita dapatkan melalui indera-indera yang kita miliki.

Saya tidak akan menjelaskan satu-persatu bagaimana keenam stereotip itu menjadi budaya dan mengakar dalam masyarakat Indonesia. Namun, cara yang paling mudah dalam mengidentifikasi keenam stereotip Manusia Indonesia ala Mochtar Lubis bisa kita temukan pada sosok birokrasi Indonesia. Bukan hal yang baru ketika kita melihat banyak sekali bukti-bukti nyata akan ketidaksesuaian nilai yang diusung oleh Pemerintah dengan apa yang tengah terjadi dalam realita berbangsa. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi buah siap panen atas enam sifat yang telah tertanam.

Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengungkapkan temuan yang menyatakan 2.357 Pegawai Negeri Sipil (PNS) terpidana korupsi ternyata masih tercatat aktif sebagai PNS. Dari situ ditemukan ada 7.749 PNS yang terlibat tindak pidana korupsi, 2.674 di antaranya telah mendapat vonis yang berkekuatan hukum tetap (incracht). Dari 2.674 orang tersebut kemudian terungkap kalau 317 di antaranya sudah diberhentikan dengan tidak hormat, sementara 2.357 ternyata masih terdaftar aktif sebagai PNS.[1]

Biarlah kasus korupsi berjamaah yang akhir-akhir ini terjadi di kota tempat saya bertumbuh dan berkembang menjadi bukti terakhir kebenaran stereotip Mochtar Lubis ini. Biarlah kasus tersebut menjadi cermin yang dapat membuat kita semua reflektif melihat diri kita sendiri dan hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya terjadi lagi.

Cermin

Masyarakat kita tidak memiliki konsepsi tentang waktu, bahwa waktu itu mengalir pergi dan dia tidak pernah kembali. Mungkin investasi terbesar yang dimiliki oleh manusia adalah waktu. Dia fana, namun berada di sana dan senantiasa bergerak. Jika kita merawat warisan yang tidak berguna maka masa depan generasi yang akan datang yang akan menjadi taruhannya.

Tujuh puluh tiga tahun setelah kita merdeka masyarakat bangsa yang besar ini telah mengalami serta menyaksikan buah dari perkembangan zaman. Semakin bertumbuh dan meluasnya sosok manusia Indonesia baru yang bukan hanya saja berpendidikan, namun juga kritis, dan berupaya untuk meninggalkan sifat-sifat lama, labih lugas: jika iya maka iya, jika tidak maka tidak. Mereka berorientasi pada kinerja, bersikap fair yang mana mereka menuntut tetapi juga bekerja dan berprestasi. Dan satu hal yang paing penting, berani bertanggung jawab.

Rupa-rupanya hal ini terjadi bukan karena tiba-tiba. Sistem pendidikan yang membebaskan para pembelajarnya untuk mengeksplorasi ilmu pengetahan, sistem sosial dan politik, serta struktur sosial merupakan musabab perubahan ini. Sruktur sosial memiliki peranan yang sangat besar. Maka dari itu, sistem sosial dan politik seperti demokrasi dan sistem sosial ekonomi seperti ekonomi sosial yang pro sosial, haruslah memang benar-benar merubah struktur sosial. Harapan-harapan agar terciptanya kesadaran antar warga negara dapat ditumbuhkan demi menciptakan suasana yang kondusif bagi terciptanya perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik.

Menjadi Indonesia adalah sebuah usaha untuk membuktikan diri tentang siapa kita. “Kita adalah apa yang kita lakukan, bukan yang kita bicarakan” adalah padanan kata yang tepat untuk menggambarkan esensi kita sebagai Manusia Indonesia.

“Lekas bangun dari tidur berkepanjangan

Menyatakan mimpimu

Cuci muka biar terlihat segar

Merapikan wajahmu

Masih ada cara menjadi besar”

Menjadi Indonesia — Efek Rumah Kaca

[1] https://tirto.id/2357-terpidana-korupsi-masih-aktif-sebagai-pns-cWTk, diakses tanggal 12 Oktober 2018 pukul 19.00 WIB

--

--