Pendidikan Karakter ‘Zaman Now’, Mungkinkah?

Aqlima Naili Salsabila
Sagara Isme
Published in
5 min readMar 6, 2018

Sedikit menyegarkan pikiran di tahun 2014, adakah yang masih ingat dengan slogan ‘revolusi mental’ yang digaungkan oleh Pakdhe (sapaan akrab netizen terhadap RI 1) saat pencalonannya kala itu? Saya yakin baik yang pro maupun kontra terhadap beliau, pasti masih mengingat slogan ini. Sudah menjadi konsumsi publik di media kala itu, bahwa slogan revolusi mental mendapatkan berbagai respon positif maupun negatif. Yang tidak setuju rata-rata memiliki pandangan yang serupa, bahwa revolusi mental bukanlah hal urgen. Bahkan ada pula yang menilai bahwa program ini sangatlah utopis untuk diaplikasikan. Namun juga ada yang mendukung dan sejalan dengan gagasan Pakdhe bahwa sumber daya manusia lah modal utama bangsa. Kemudian, mungkin sebagian dari anda bertanya-tanya. Di kubu manakah saya berada?

Silahkan mulai menebak dan memprediksi akan kemana arah tulisan ini. Namun yang ingin saya tegaskan diawal adalah tulisan ini hanyalah media bagi saya untuk mengajak anda ‘melek fakta’ dan merefleksikan diri terhadap keadaan disekitar kita yang menurut saya pribadi telah memasuki ‘zona merah’. Bagaimana bisa? Mari kita coba berfikir dan memulai semuanya dengan pertanyaan ‘Mengapa Jokowi mengangkat revolusi mental sebagai program unggulan?’ ‘Memangnya ada apa dengan mental manusia di negeri ini?’ ‘Kok sepertinya baik-baik saja tuh.’ Baik-baik saja? Mari kita lihat data dan fakta yang terjadi di lapangan.

Pertama, kita lihat dulu pergeseran sosial yang terjadi pada era globalisasi yang dialami generasi zaman now saat ini. Sudah bukan rahasia publik jika banyak sekali meme-meme atau poster yang beredar di berbagai media sosial tentang pergeseran kebiasaan, nilai bahkan norma yang berlaku di masyarakat. Rata-rata model suguhannya sama, membandingkan antara zaman old’ dan zaman now’. Ada yang membandingkan gaya berpakaian dan etika anak dulu dan sekarang, membandingkan berbagai permainan, lagu, sinetron, anak-anak dulu dan sekarang. Membandingkan cara mendidik orang tua, guru dulu dan sekarang. Dan masih banyak pergeseran lainnya yang pada intinya ingin mengajak khalayak ramai tersadar bahwa berbagai perubahan teknologi dan komunikasi yang terjadi saat ini juga memiliki dampak negatif yang telah memapar generasi bangsa. Dan secara otomatis, hal ini juga mengancam keberlangsungan bangsa dan negara ini. Karena setelah kita, merekalah yang akan memegang amanah kepemimpinan.

Kedua, biarlah data yang berbicara. Dilansir dari berbagai media, saya mengangkat sebagian kecil dari top ranking Indonesia di kancah regional maupun internasional. Mulai dari data yang sebenarnya masih abu-abu bisa di kategorikan sebagai prestasi dan peluang atau sebaliknya menjadi ancaman. Menurut data Internet World Statistics tentang Top 20 Internet Countries, Indonesia berada pada rangking lima penggunaan internet terbesar di dunia. Pasti kemudian ada yang merespon, “Ya iya tho, lha wong Indonesia penduduk e uakeh”. Hal tersebut memang benar adanya, namun yang mengkhawatirkan adalah apakah seluruh pengguna internet di Indonesia yang sebagian besar adalah usia anak dan usia produktif ini terpapar dampak positifnya, atau malah sebaliknya? Mari kita lihat berbagi data selanjutnya.

Data selanjutnya menunjukkan bahwa Indonesia Peringkat Dua Pengunduh Pornografi di Internet. Ranking yang fantastis tentunya yang otomatis menunjukkan besarnya pengguna internet di negeri ini yang terpapar dampak negatif dari Internet. Coba beralih kepada berbagai kasus lain, data yang dirilis oleh Badan Narkotika Nasional menunjukkan bahwa Indonesia dalam transaksi narkoba menduduki peringkat pertama se-ASEAN. Dan untuk peringkat di dunia juga tak kalah fantastisnya, Indonesia merupakan negara dengan pengguna aktif dan daya beli narkoba terbesar kedua di dunia setelah Italia hingga mencapai angka 2–3 juta orang yang rata-rata generasi muda. Hingga dari ‘prestasi-prestasi’ ini negara kita telah memangku julukan ‘negara darurat narkoba’.

Kita coba lihat sisi lain, dari sisi yang lebih ‘halus’ yakni Pendidikan. Bukan bualan, bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki budaya dan etika luhur dibuktikan dengan moral dan karakter bangsa yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu kita. Banyak sekali tokoh-tokoh bangsa yang namanya harum di kancah internasional karena luhur budi pekertinya. Jelas, ini adalah bukti kesuksesan pendidikan baik formal maupun informal, yang dilakukan bersama-sama oleh orang tua, guru, dan masyarakat di era yang sebenarnya serba terbatas. Lantas, bagaimana hari ini? Saya pribadi menilai bahwa nilai-nilai pendidikan jelas memasuki ambang kritis, selain dilihat dari kondisi sosial yang telah kita bahas pada dua paragraf sebelumnya, juga dapat dilihat dari top ranking kasus bullying yang terjadi di negara ini yang telah menduduki peringkat nomor 2 tertinggi di dunia. Satu data lagi yang membuat saya semakin mengelus dada adalah dikala seharusnya media-media pembelajaran sangat mudah untuk di akses, tak membuat minat baca di Indonesia meningkat. Justru menduduki ranking no 60 dari 61 negara menurut riset bertajuk Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016. Dan jika di persentasekan oleh UNESCO minat baca di negara kita hanya 0,001 % Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.

Kemudian, jika melihat berbagai data dan fakta diatas masihkah ada yang berpendapat bahwa program revolusi mental yang intinya adalah soal peningkatan kualitas pendidikan karakter bangsa ini sesuatu hal yang tidak urgen untuk diangkat? Atau malah setelah melihat data dan fakta di atas, lantas menyalahkan internetnya? Atau globalisasinya? Lingkungannya? Atau malah menyalahkan presidennya? Jelas ini adalah masalah dan tanggung jawab bersama! Masalah besar bak bom waktu yang tinggal menunggu saja waktunya untuk meledak dan membuat semua orang baru sependapat. Pilihannya ada ditangan kita, apakah kita ingin menghentikan segera bom nya atau membiarkannya hingga meledak? Jika pemerintah telah mengejawantahkan program utamanya tersebut dalam sebuah Peraturan Presiden №87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan karakter, lalu apa peran saya dan anda dalam membantu pemerintah pada proses penyelenggaraan program tersebut? Mungkinkah pendidikan karakter ini dilakukan di era zaman now? Mari merefleksikan diri dan sampai jumpa di pembahasan selanjutnya! 😊

Daftar Pustaka :

Valdy Arief, 2016, Indonesia Peringkat Dua Pengunduh Pornografi di Internet, www.tribunnews.com, Tersedia di http://www.tribunnews.com/nasional/2016/05/07/indonesia-peringkat-dua-pengunduh-pornografi-di-internet

Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2017, Inilah Materi Perpres №87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, setkab.go.id, Tersedia di http://setkab.go.id/inilah-materi-perpres-no-87-tahun-2017-tentang-penguatan-pendidikan-karakter/

Ricky Prayoga, 2015, BNN: transaksi narkoba Indonesia tertinggi se-ASEAN, www.antaranews.com, Tersedia di https://www.antaranews.com/berita/474528/bnn-transaksi-narkoba-indonesia-tertinggi-se-asean

Faisal Faliyandra, 2017, Indonesia Ranking 5 Pengguna Internet di Dunia dan Antisipasi Dampaknya, www.kompasiana.com, Tersedia di https://www.kompasiana.com/faisalfaliyandra/59b69c0e08e6ba2c71698812/indonesia-ranking-5-pengguna-internet-di-dunia-dan-antisipasi-dampaknya

David Setyawan, 2014, KPAI : Kasus Bullying dan Pendidikan Karakter, www.kpai.go.id, Tersedia di http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter/

Mikhael Gewati, 2016, Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia, www.kompas.com, Tersedia di https://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia

--

--