Realita Bumiputra, Sang Tunas Bangsa Masa Depan

Lalu Novan Satria Utama
Sagara Isme
Published in
5 min readMar 6, 2018

Beberapa waktu terakhir Indonesia digemparkan oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk terhadap anak yang menerpa suku terbesar di Papua yaitu Suku Asmat. KLB ini menjadi pukulan berat bagi Pemerintah dan ironi disaat pembangunan infrastruktur begitu massive di Papua. Singkat cerita muncul banyak pertanyaan tentang mengapa hal ini bisa terjadi padahal Papua dijuluki sebagai tanah surge, yang tentu dengan julukan tersebut, segala kebutuhan hidup masyarakat Papua apalagi hanya sekedar memenuhi asupan gizi bagi anak bukanlah hal sulit. Namun kembali lagi, apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apakah PT. Freeport Indonesia (PTFI) dkk. selain menambang Tembaga dan bahan mineral lainnya juga menambang segala kebutuhan primer masyarakat disana? Haha, tentu tidak, namun jika ditelusuri lebih dalam “mungkin” bisa jadi karena faktanya belum pernah saya mendengar dan melihat keaadaan lingkungan hidup yang lebih baik setelah dilakukan penambangan.

Oke, terlepas dari PTFI dkk. dengan segala “misteri”-nya mari kita kembali pada pertanyaan tentang apa penyebab KLB gizi buruk pada anak — anak di Bumi Cendrawasih? Karena menurut saya pribadi tidak mungkin gizi buruk hanya disebabkan oleh 1 (satu) faktor saja (kurang asupan gizi). Akhirnya setelah mencari dan membaca kajian — kajian ilmiah terkait gizi buruk, ternyata faktor lain penyebab gizi buruk adalah sanitasi lingkungan dan perilaku higiene anak yang tidak memadai, sehingga menimbulkan infeksi berupa infeksi kecacingan. Dampak dari infeksi ini telah diteliti oleh Siregar (2006) dan menyatakan bahwa infeksi kecacingan pada usus berpengaruh terhadap pemasukan, pencernaan, penyerapan, serta metabolisme makanan, yang dapat berakibat hilangnya protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan darah dalam jumlah yang besar. Juga dapat menimbulkan ganguan respon imun, menurunnya plasma Insulin Like Growth Factor (IGF)- 1, kadar serum Tumor Necrosis Factor (TNF) meningkat, konsentrasi rerata hemoglobin rendah, sintesis kolagen menurun. Disamping itu, juga menimbulkan berbagai gejala penyakit seperti anemi, diare, sindroma disentri dan defisiensi besi. Sehingga anak penderita infeksi kecacingan usus merupakan kelompok resiko tinggi untuk mengalami malnutrisi dan mempengaruhi masa depan anak.

Lebih dalam lagi, penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk.(2012) di Kabupaten Tapanuli Selatan menunjukkan bahwa hubungan sanitasi lingkungan dan perilaku higiene anak. Dari 100 responden anak yang dijadikan objek penelitian, komponen — komponen sanitasi lingkungan seperti ketersediaan air bersih, jamban, Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL), tempat sampah, dan kondisi halaman secara garis besar tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga infeksi kecacingan pada anak begitu nyata .

Infeksi kecacingan tertinggi disebabkan oleh kondisi halaman dengan peluang sebesar 19,78 kali diikuti kondisi jamban sebesar 16,34 kali, SPAL sebesar 8,15 kali, air bersih 4,52 kali dan tempat sampah 4,09 kali.Kemudian perilaku higiene anak yang komponen — komponennya terdiri dari kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, dan kebiasaan cuci tanganjuga memberikan pengaruh yang nyata. Dimana anak yang tidak memiliki kebiasaan cuci tangan dengan baik berpeluang 31,00 kali terinfeksi kecacingan, diikuti kebersihan kuku sebesar 25,18 kali, dan penggunaan alas kaki sebesar 5,52 kali.

Lalu mengapa dan bagaimana hal — hal diatas muncul dan menjadi penyebab infeksi kecacingan? Ditinjau dari sanitasi lingkungan Fitri dkk.(2012) menyatakan bahwa pertama,infeksi kecacingan disebabkan oleh tanah halaman yang menjadi tempat anak beraktivitas merupakan tanah berlumpur, dimana tekstur tanah berlumpur menguntungkan telur Cacing Gelang (Ascarislumbricoides) dan Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) untuk berkembang biak dengan baik. Kedua, jamban yang ada walaupun telah memenuhi syarat kesehatan (berbentuk leher angsa) kondisinya tidak bersih dan tidak terdapat sabun. Ketiga, SPAL yang ada walaupun memiliki kondisi tertutup dan kedap air namun limbah yang mengalir tidaklahlancar, dimana keadaan yang demikian menjadikan cacing dan mikrooganisme patogen lain berkembang biak dengan baik dan dapat mencemari air permukaan dan tanah.

Keempat, sarana air bersih yang diperoleh dari sungai dan/atau sumur gali tertutup memiliki kualitas yang cukup baik, namun di beberapa tempat kualitasnya masih buruk sehingga berkontribusi menyebabkan infeksi kecacingan. Kelima, tempat sampah bersifatterbuka dan sampah yang ada berserakan, dimana hal tersebut menimbulkan efek tidak langsung berupa penyakit bawaan vektor yang berkembangbiak didalam sampah dan apabila dibuang sembarangan dapat menjadi sarang lalat yang merupakan salah satu vektor dari cacing.

Kemudian ditinjau dari perilaku higiene,pertama, kebiasaan cuci tangan memiliki pengaruh paling besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak — anak melakukan cuci tangan namun tidak menggunakan sabun. Kedua, kuku jemari tangan yang kotor dan panjang sering tersimpan telur cacing. Jika kuku jemari tangan tidak dicuci dengan bersih maka telur cacing yang tersimpan di kuku akan ikut tertelan sewaktu makan. Ketiga, tidak menggunakan alas kaki ketika bermain dan/atau melakukan aktifitas — aktifitas lain belum menjadi kebiasaan, padahal berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) dan Nelson (1992) menyatakan bahwa penularan cacingan melalui tanah pun sebetulnya bisa saja terjadi karena cacing yang hidupnya didalam tanah dapat menembus kulit dan akan mengikuti aliran darah dan bisa masuk ke paru — paru serta ke dalam usus dan akan menjadi cacing dewasa. Cacing yang ada di dalam tanah tersebut disebabkan karena kebiasaan pembuangan tinja yang sembarangan. Hal ini dapat menyebabkan terkontaminasinya lingkungan seperti tanah, oleh telur cacing dan tinja. Sehingga orang yang pernah terinfeksi akan terinfeksi lagi atau dapat menginfeksi orang lain (Rudolph, 2006).

Dari hal — hal diatas dapat kita simpulkan bahwa sanitasi lingkungan dan perilaku higiene anak memilik dampak nyata terhadap infeksi kecacingan yang menyebabkan gizi buruk pada anak. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan? Jelas, selain terus mendorong seluruh stakeholder untuk meningkatkan pembangunan dibidang sanitasi lingkungan baik fisik maupun non fisik, marilah kita menjadikan diri sendiri sebagai teladan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan menjalani perilaku hidup bersih dan sehat. Karena kita tentu tidak menginginkan masa depan Indonesia yang kita cintai ini menjadi suram hanya karena suatu hal yang sebenarnya sangat mudah untuk kita cegah dan lakukan, sehingga pada akhirnya Indonesia sebagai Negara yang raya dan sejahtera bukanlah angan — angan belaka melainkan suatu hal yang nyata didepan mata.

Daftar Pustaka

Direktorat Penanggulangan dan Pencegahan Diare, Cacingan dan ISPL, Departemen Kesehatan. (2006). Cacingan Turunkan Kualitas Hidup, Akibatnya Kebodohan dan Anemia. Tersedia di : http://raffesia.wwf.or.id.

Fitri, J.,dkk. (2012). Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Kecacingan Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012. Tersedia di : http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIL/ article/download/964/957.

Nelson. (1992). Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Penerjemah Moelia Radja Siregar. Jakarta : EGC.

Rudolph. (2006). Buku Ajar Pediatri. Penerjemah Wahab S., Prasetyo A., Sugiarto. Edisi 20 Volume 1, Jakarta : EGC.

Siregar, Charles D.(2006). Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Tersedia di: Sari Pediatri, Vol. 8, No. 2, September 2006; 112–117.

--

--