Sahabatku! Sungai Memanggil Kita
Sungai adalah alur bagi air yang merupakan sumber utama kehidupan makhluk hidup. Ibarat sebuah wadah, sungai tentu harus dijaga bentuk dan kebersihannya agar air yang ditampung terjaga kuantitas dan kualitasnya. Indonesia, sejak zaman dahulu telah banyak memanfaatkan sungai sebagai aset vital peradaban yang diketahui melalui peninggalan — peninggalan sejarah. Pemanfaatan sungai sebagai aset vital ini dapat dijadikan parameter bahwa sungai kala itu terjaga secara kuantitas dan kualitas.
Salah satu peninggalan sejarah yang dapat dijadikan referensi adalah inkripsi Prasasti Tugu yang disampaikan oleh Hasan dalam mongabay.co.id (2018a) bahwa masyarakat Kerajaan Tarumanegara (4–8 M) hidup dengan bercocok tanam yang ditunjang dengan pembangunan saluran irigasi yang masih berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Namun saat ini bagaimana kondisi sungai di negeri ini? Apakah kondisinya masih seperti dahulu? Lebih baik atau lebih buruk?
Faktanya hampir seluruh sungai di Indonesia memiliki kondisi yang memprihatinkan. Sungai yang dulu indah dipandang, memberikan kesejukan serta mendamaikan jiwa dan raga kini menjadi bentang alam yang dihindari karena berbau tak sedap, berwarna gelap dan menjadi sumber penyakit.
Sungai Citarum di Provinsi Jawa Barat misalnya. Sungai yang memiliki panjang kurang lebih 297 kilometer ini menjadi sungai terkotor di dunia berdasarkan laporan dari World Bank sejak 1 dekade yang lalu. Sekotor itukah? Mungkin jika ragu dengan predikat tersebut, cobalah melihat video dokumenter dua bersaudara berkebangsaan Prancis bernama Gary dan Sam Bencheghib berikut:
Melihat video dokumenter tersebut, tentu kita akan menerima fakta bahwa predikat sungai terkotor di dunia yang disematkan menjadi sangat layak. Lalu apa yang sebenarnya membuat Sungai Citarum menjadi sungai terkotor di dunia? Fakta dari Koalisi Masyarakat Melawan Limbah mengatakan bahwa limbah–limbah pelaku industri tidak bertanggung jawab yang dibuang langsung kedalam aliran Sungai Citarum menjadi penyebab utama selain pola pikir masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan.
Tegas!
Mengubah predikat terkotor menjadi terbersih bukanlah hal yang mudah mengingat kompleksitas masalah pada Sungai Citarum. Namun bukanlah hal yang mustahil asalkan Pemerintah benar–benar tegas terhadap aturan yang berlaku seperti dituangkan dalam Undang — Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32 tahun 2009 tentang PPLH). Khusus untuk industri misalnya, ketentuan — ketentuan pada Bab XV UU 32 tahun 2009 tentang PPLH dapat dijadikan dasar penindakan dan alternatif terbaik saat ini sembari menunggu relokasi penempatan industri yang dicanangkan Pemerintah.
Penegakan hukum menjadi alternatif terbaik, karena bila melihat infrastruktur pengolahan limbah atau biasa disebut Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), tentu industri–industri di sekitar Sungai Citarum telah memiliki IPAL mengingat industri–industri tersebut bukanlah industri kecil yang tidak wajib IPAL. Namun karena alasan untung rugi, oknum–oknum pelaku industri tidak mengoperasikan IPAL dan membuang langsung limbah ke alur Sungai Citarum. Oleh karena itu, Pemerintah harus tegas dan tidak boleh “Galau” dengan berbagai macam gertakan–gertakan dari para pelaku industri nakal ini, mengingat kerugian negara telah mencapai triliunan rupiah.
Data dari Koalisi Melawan Limbah terdiri dari Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapelling), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, dan Greenpeace Indonesia, bekerja sama dengan tim peneliti dari Institut Ekologi Universitas Padjajaran dalam citarum.org (2016) memperkirakan kerugian negara akibat pencemaran industri sebesar Rp 11,4 triliun. Hal ini terdiri dari perkiraan biaya remediasi yang dibutuhkan untuk pemulihan 933,8 hektare lahan tercemar sebesar Rp 8.045.421.090.700.
Ditambah lagi total kerugian masyarakat sejak 2004 hingga 2015 sebesar Rp 3.339.695.473.968 yang berasal dari kerugian di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehatan, kerugian karena kehilangan jasa air, penurunan kualitas udara dan kehilangan pendapatan. Kerugian tentu akan bertambah mengingat valuasi tersebut hanya pada daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung, belum pada daerah — daerah lain sepanjang aliran Sungai Ciliwung.
Banjir abadi, apa yang salah?
Jika penegakan hukum di atas lebih ditekankan untuk menjaga kualitas air Sungai Citarum, lalu bagaimana dengan kuantitasnya? Apakah pengelolaan yang sedang atau akan dilakukan dapat menjamin kuantitas dan mampu mengurangi dampak banjir yang terjadi setiap tahunnya?
Dikutip dari mongabay.co.id (2018b) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum melakukan langkah struktural seperti melakukan normalisasi Sungai Citarum Hulu (2017–2019) dengan anggaran Rp 78 miliar, pembangunan floodway Cisangkuy paket I dan II (2015–2019) dengan anggaran Rp 311 miliar dan Rp 320 miliar. Selain itu normalisasi juga dilakukan di beberapa anak Sungai Citarum seperti Sungai Cimande, Sungai Cikijing, dan Sungai Cikeruh dengan masing — masing anggaran sebesar Rp 93,15 miliar, Rp 92,56 miliar, dan Rp 53,31 miliar yang ditargetkan rampung pada tahun 2018 diikuti pembangunan embung Gedebage di Kota Bandung dengan anggaran Rp 85,48 miliar.
Sebagai pengendali banjir, pembangunan kolam retensi juga digencarkan di Bandung Selatan dengan anggaran Rp 203,83 miliar dan diproyeksikan mampu menampung limpasan Sungai Citarum di daerah Dayeuhkolot dan Baleendah sekitar 1 meter dengan luas genangan berkurang dari 342 hektare menjadi 41 hektare. Kemudian sekitar 30 kilometer dari kolam retensi Cieuteung, BBWS Citarum juga tengah melakukan pembangunan terowongan atau tunnel di Curug Jompong yang rencananya rampung pada 2019 mendatang dengan anggaran sebesar Rp 352 miliar untuk panjang terowongan 2×230 meter yang berfungsi mempercepat laju arus Sungai Citarum.
Namun kembali kepertanyaan awal diatas “Apakah pengelolaan yang sedang atau akan dilakukan dapat menjamin kuantitas dan mampu mengurangi dampak banjir yang terjadi setiap tahunnya?” Belum tentu, karena menurut hemat saya yang akan berdampak signifikan terhadap permasalahan hanya pada proyek–proyek seperti normalisasi (dalam arti merenaturalisasi sungai), pembangunan embung, dan pembangunan kolam retensi. Selebihnya proyek pembangunan floodway, dan terowongan perlu kajian mendalam oleh Pemerintah.
Hal ini menjadi penting karena apabila pembangunan floodway dan terowongan diperuntukkan untuk mempercepat aliran air dari hulu ke hilir, maka tentu hal tersebut kurang solutif dan akan menimbulkan banjir secara terus — menerus di daerah hilir yang sangat merugikan. Selain banjir jika pembangunan floodway dan terowongan dilakukan maka kaidah konservasi air untuk menjaga ketersediaan air sepanjang musim kemarau tidak berjalan dan akan menimbulkan bencana lain berupa kekeringan. Kekeringan akan berdampak pada harga — harga kebutuhan pangan yang meningkat karena supply and demand tidak seimbang. Oleh karena itu alangkah lebih baik Pemerintah gercar melakukan normalisasi, memperbanyak pembangunan embung, serta kolam retensi karena kaidah–kaidah konservasi air akan lebih ditekankan dan tentu permasalahan–permasalahan yang ada akan dapat diatasi secara perlahan.
Sekian tulisan ini dibuat sebagai kritik dan harapan di 73 tahun negara ini merdeka. Semoga menambah wawasan dan kepedulian bersama terhadap Sungai Citarum mengingat target Citarum Harum pada tahun 2025 haruslah dapat dicapai dan menjadi model pengelolaan sungai — sungai di tingkat regional maupun internasional. Salam lestari.
Daftar Pustaka
Citarum.org. (2016). Kerugian akibat limbah industri yang mengalir ke sungai Citarum di empat desa di Rancaekek, Kabupaten Bandung diperkirakan mencapai angka Rp11,4 triliun. Tersedia di http://citarum.org/roadmap/koordinasi/51-indonesia/arsip-berita/media-online/2075-racun-citarum-senilai-rp12-triliun.html.
Mongabay.co.id. (2018a). Citarum, Sungai Harum yang Pernah Menjadi Pusat Peradaban Manusia. Tersedia di http://www.mongabay.co.id/2018/02/20/citarum-sungai-harum-yang-pernah-menjadi-pusat-peradaban-manusia/.
— — — — —--. (2018b). Citarum Masih Berkutat Masalah Meski Berbagai Proyek Diluncurkan. Tersedia di http://www.mongabay.co.id/2018/06/07/citarum-masih-berkutat-masalah-meski-berbagai-proyek-diluncurkan/.