Sami’na Wa Atho’na
Pilkada
Malam yang panjang untuk bajang desa. dengan ditemani kopi, dan buku lusuh, untuk memperbincangkan wanita, bola dan pilkada. Tentu membicangkan wanita dengan kadarnya, bola dengan porsinya, serta pilkada tanpa habisnya.. Dari ketiga topik pembicaraan yang terakhirlah yang menjadi paling menarik. Pilkada. Maklum, tahun ini di daerha kami akan dilangsungkan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Pada tahun ini, daerah kami Nusa Tenggara Barat (NTB) berkompetisi empat pasangan calon (paslon). Paslon pertama: Moh. Suhaili (Bupati Lombok Tengah) — Muhammad Amin ( Wakil Gubernur saat ini) paslon ini disingkat “Suhaili- Amin”, paslon kedua: Ahyar Abduh (Wali Kota Mataram) — Mori Hanafi (wakil ketua DPRD NTB), pasangan ini disingkat “Ahyar-Mori”. Paslon ketiga: Zulkieflimansah (DPR RI/Rektor Universitas Tekhnologi Sumbawa) — Sitti Rohmi Djalillah (Rektor Universitas Hamzanwadi Pancor/kakak kandung TGB), paslon ini disingkat “Zul-Rohmi”, dan terakhir: Ali Bin Dahlan (Bupati Lombok Timur — Lalu Gde Wirasakti (Pimpinan pondok pesantern NW Anjani), paslon ini disingkat “ Ali-Sakti” (Pilkada. Tempo.co)
Pembicaraan dimulai dari hasil beberapa lembaga survey. Hasil dari salah satu lembaga survey yang seolah memenangkan salah satu pasangan calon. Iya, kami menyebutnya “seolah”, karena Salah seorang kawan mengkritik hasil survey tersebut. Dengan melontarkan beberapa pertanyaan kritis seperti, metodenya yang digunakan, beserta jumlah sample yang diambil digunakan. Serta mencoba mengkaitkan keterikatan salah satu pasangan calon dengan lembaga survey. Pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya belum bisa kita bisa jawab lebih jauh. Dikarenakan kita tidak memiliki latabelakang politik dan mengerti lebih jauh tentang metode survey. Namun, sebagai bahan obrolan, hal tersebut sangar menarik.
Ada penggalan informasi bahwa beberapa saat yang lalu, desa kami menjadi salah satu sample lembaga survey. Dengan keterbatasan infromasi hasil survey di desa kami mengungguli salah satu pasangan calon, yakni pasangan calon nomer 4, pasangan Ali-Sakti. Uniknya, tempat kami merupakan bagian dari wilayah pasangan nomer satu, Suhaili-Amin.
Pada dasarnya, setiap orang bebas memilih, tidak terbatas ruang lingkup tempat. Hal yang sama juga berlaku bagi Dusun Pelangeh. Pemilih disana bebas menentukan pilihan. Uniknya adalah secara umum di desa kami, informasi-informasi tentang pemilu, tidak begitu memadai, terutama penyampain visi-misi dan program kerja paslon. Artinya, pemilih pada desa kami, sebagian besar bukan rasional voter.
Haryanto (2014) menjelaskan ciri pemilih secara umum terbagi menjadi tiga, pemilih dengan kedekatn sosiologis (agama, etnis, asal,dll), psikologis (kedekatan dengan partai), dan pemilih rasional. Pada pemilih dengan analisis sosiologis basis analisis ini adalah kondisi social dan geopolitik (Roth, 2008). Dusun Pelangeh dalam hal ini mencoba membiaskan faktor-faktor sosiologis dan berdiri dalam faktor psikologis. Sebuah kedekatan kepada ideologi yang pada akhirnya mempengaruhi calon pemilih (Roth, 2008).
Dengan kedekatan ideologi yang demikian, warga Pelangeh, tidak melihat latar belakang kepartaian pasangan calon. Kedekatan ideologi berpengaruh besar, dengan demikan Dusun pelangeh akan langsung memilih pasangan calon tersebut. Tanpa melakukan kampanye atau mendekati secara khusus tokoh didaerah tersebut (opinion leader).
Sekuat itukah Ideologi?
Mayoritas pemilih Dusun Pelangeh terdiri dari alumni sekolah/yayasan Nadhlatul Wathan (NW). NW adalah Sebuah organisasi keagaman terbesar di pulau Lombok. Salah satu tokoh yang terkenal saat ini adalah Tuan Guru Bajang (TGB). Gubernur NTB dua periode.
NW adalah sebuah organisasi yang berkedudukan di Lombok Timur. Organisasi ini memiliki visi untuk memajukan pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan agama. Pada masa pembentukannya, tokoh yang paling berpengaruh dari organisasi ini adalah TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid (masyarakat biasanya menyebut singkat dengan sebutan Maulana syekh). Salah seorang tokoh pergerakan nasional.
Sesuai dengan visinya, NW mengangkat sumber daya manusia melalui pendidikan, kini lembaga pendidikan yang mengatasnamakan NW sudah masif di pulau Lombok, termasuk di Desa Sukaraja. Desa Sukaraja, terdiri dari dua pondok pesantren dan lima sekolah formal yang berlatar belakang NW. Salah satu lokasinya ada di Pelangeh. Dengan masifnya sekolah berlatar belakang NW, membuat jaringan organisasi ini semakin kuat. Tidak heran, jika dalam salah satu kontestasi politik, jika ada yang berlatar belakang NW, bisa memangkan pertarungan politik. Salah satunya adalah Tuan Guru Bajang (TGB), gubernur NTB.
Prestasi TGB sebagai Gubernur NTB, memang tergolong cemerlang, banyak penghargaan, baik tingkat nasional maupun internasional. Namun, bagaiaman sosoknya di mata masyarakat dan hubunganya sama organisasi NW? Sebuah diskusi yang hangat jika dibicarakan.
Sebagai pimpinan tertinggi di NTB, TGB memiliki kharismatik tersendiri. Dari pembawaan (khususnya pakaian yang dikenakan) sama halnya dengan sebagian besar tuan guru ( tokoh yang dianggap memiliki kemampuan dalam bidang agama). Dengan mengenakan beberapa hal: gamis panjang berwarna putih, dengan menaruh sorban khas dipundak, serta peci putih. Sebuah ciri khas yang menandakan seorang tuan guru. Begitu juga dengan TGB, akan mengenakan pakaian yang hampir sama dalam acara-acara resmi keagaman. Karena symbol tersebut merupakan symbol seorang alim ulama dimata masyarakat pulau Lombok.
Sebagai Tuan Guru Bajang ( tuan guru muda). TGB dipandang sebagai salah seorang panutan yang tidak kalah penting dari ketokohan pendiri NW, Maulana Syehk, kakek TGB. Kakeknya adalah tokoh agama dan tokoh spiritual yang hebat. Salah seorang rekan bercerita, bahwa pada shalat jum’at berjama’ah beliau bisa hadir dalam dalam banyak tempat pada satu waktu. Alih-alih mau mendebat, justru tokoh tersebut disebut sebagai salah satu wali Allah (wali Tuhan) yang memiliki karomah.
Sebuah hal yang unik, dan diluar nalar manusia. Namun, begitu banyak yang meyakini. Seakan Maluna Syekh memampu memanipulasi ruang dan waktu, serta mampu bisa menggandakan raganya.
Penghormatan kepada Maulana Syeh tidak hanya sampai disitu, tidak sedikit foto-foto besar, maupun kecil yang diselipkan pada dompet, atau dijadikan kalung, dianggap membawa keberuntungan bagi sebagian pengikutinya, terlepas dari pro dan kontra hal tersebut dalam ajaran islam, sebagian masyarakat di Lombok masih meyakini hal tersebut.
Kami dengar, dan kami taat.
Bagi pemilih Pelangeh, memilih paslon dari kalangan NW sebagai tanggung jawab moral. Padahal, secara politik praktis atupun pragmatis, pemilih-pemilih ini pada dasarnya tidak akan memperoleh apapun secara langsung. Baik itu jabatan ataupun posisi tertentu dalam pemerintahan nanti.
Hanya saja dengan tanggungjawab moral yang mereka miliki. Dan kebesaran almamter yang melekat pada meraka. Serta bayang-bayang tokoh , selolah menjadi guide yang harus diikuti. Ada rasa cinta yang melekat pada tokoh-tokoh tersebut.
Mereka tidak akan memandang baik atau tidak prestasi pasangan calon. Selama mengatasnamakan alumni NW. Dengan keyakinan teguh mereka akan mengatakan sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taat), di bilik kotak suara pencoblosan nanti.
— -
Refrensi
Goddard, H. (2001).Civil Religon. New York: Cambridge University.
Haryanto (2014). Kebangkitan Party ID: Analisis Perilaku Memilih Dalam Politik Lokal di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 17 (3)
Roth, D. (2008). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen dan Metode. Jakarta: Friderch-Nauman-Stiftung fur die Freiheit.
www. Pilkada.tempo.co