Tat Tvam Asi*
Alkisah seorang perempuan mencurahkan kemarahan, kesedihan, dan seluruh isi hatinya tentang bagaimana rasanya ditelanjangi oleh musuh suaminya. Drupadi, nama perempuan itu, bersumpah tidak akan mencuci rambutnya kecuali dengan darah musuh. “Dursasana menyeret dan menelanjangi aku di depan Kurawa dan di depan kalian. Aku telah mereka perkosa. Apakah itu tidak berarti apa-apa untuk kalian? Aku sangat marah atas pikiran untuk menahan kesabaran. Seorang perempuan selalu dituntut untuk bersabar, tapi ada saat untuk tidak lagi bersabar. Sudah waktunya kalian para kesatria mengambil tindakan. Kesatria ada bukan untuk dihina, karena membiarkan diri dihina berarti pula membiarkan penghinaan kepada manusia. Aku seorang perempuan dan aku masih manusia, aku tidak akan membiarkan diriku dihina!”
Drupadi masih berdiri di tengah balairung berlantai pualam. Di atas genting terdengar suara burung-burung malam. Mereka menyambar setiap kata yang terlontar dari mulut Drupadi, dan membawanya ke swargaloka, untuk disimpan dalam perpustakaan dewa-dewa. Suasana sunyi. Lebih sunyi dari malam yang tersunyi. Semua orang terdiam mendengarkan suara Drupadi yang bergetar, bagai menularkan penderitaannya langsung ke dalam pembuluh darah siapa pun yang mendengarnya.
Cerita di atas adalah awal mula bagaimana perang terbesar dalam Mahabharata, yakni perang Bharatayuda terjadi. Cerita yang semula disebabkan oleh kecemburuan seorang kakak yakni Sengkuni yang tidak terima bahwa adiknya, Gendari, dipersunting oleh putera mahkota Hastinapura yang buta. Mengetahui bahwa sang putera mahkota tidak akan pernah menjadi raja, Sengkuni bersumpah membuat Gendari dan keturunannya menjadi penguasa Hastinapura. Dari sinilah taktik demi taktik terjadi, kisah Mahabharata menawarkan begitu banyak nilai kebijaksanaan dan juga nilai kemanusiaan yang ada pada diri manusia, termasuk sifat-sifat manusia yang dapat sangat dinamis seiring dengan berkembangnya persepsi manusia itu sendiri terhadap sesuatu.
Seperti halnya cinta, kecemburuan seringkali membawa kita kepada hasrat yang asing. Ditemani oleh kemarahan dan rasa ketidakberdayaan, kita seringkali terjebak pada perilku yang cenderung obsesif dan tidak jarang merugikan kita sendiri dan tentunya, orang yang kita sayangi. Cemburu tidak lebih dari sebuah katalisator, sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dan menimbulkan kejadian baru atau mempercepat suatu peristiwa. Cemburu hadir bagi mereka yang sedang mencintai dan dengan cepat atau lambat akan membawa ke permukaan sesuatu yang sebelumnya tenggelam.
The Past is the Present
Jealousy is not only inbred in human nature, but it is the most basic, all-pervasive emotion which touches man in all aspects of every human relationship[1]. Sepanjang peradaban manusia, kecemburuan merupakan kunci bagaimana para nenek moyang kita dapat bertahan hidup. Jika manusia bertahan hidup dengan mengembangkan hasrat-hasrat positifnya seperti cinta dan bercinta, atau penemuan terhadap fungsi api, maka hasrat pun memiliki arti yang lebih luas. Kita tidak akan pernah mengenal Shakespeare, kisah Laila dan Majnun, atau bahkan membaca epos Mahabharata jika manusia terdahulu tidak mengalami hasrat yang serupa. Sesuatu yang kita sadari namun kita tidak ingin bagi. Seuatu yang kita rasakan namun susah untuk dilogikakan. Hasrat-hasrat negative seperti cemburu, iri, dan marah inilah bagaikan dua sisi mata uang dengan hasrat positif yang mustahil dipisahkan.
Beberapa dekade sebelum Freud, Nietzsche pernah mengatakan bahwa mereka yang terpanggil untuk mencari dirinya dalam labirin dalam dan memburu naluri dan gairah yang berkembang menjadi teori hewan peliharaan (pet theories) dan penilaian moral kita. Dalam labirin ini, Nietzsche mengamati dan menarik kesimpulan “Envy and jealousy are the private parts of the human soul.” Alih-alih menghilangkan hasrat kita, ada baiknya kita mulai belajar untuk hidup berdampingan dan mengelola rasa istimewa ini mulai dari hari ini.
Kemudian pertanyaannya adalah apakah persoalan cemburu yang berujung pada sikap obsesif dapat melangkahi hati nurani kita dalam memandang sesuatu? Jawabannya hanya terletak pada masing-masing individu yang sedang mengalaminya. Persepsi kita terhadap sesuatu telah membentuk bagaimana kita memperlakukan orang lain dan hanya melalui perubahan persepsi inilah yang dapat sedikit demi sedikit membuat kita belajar bagaimanakah mengendalikan perasaan.
I am You, You are Me
Meskipun persepsi membantu kita dalam mengolah rasa dan memproses perasaan, ada satu hal yang dapat membantu kita keluar dari jebakan cemburu ini yakni, menerimanya. Kecemburuan selalu melibatkan pihak ketiga, sebuah segitiga. Maka tidak heran jika hasrat untuk memiliki dan menguasai pihak kedua dengan serta merta siap menyerang kesadaran hati nurani kita. Dari sinilah kita bias berhati-hati dalam mengeksekusi hasil dari proses pengolahan informasi yang kita terima dari seluruh indera kita. Kesadaran kita untuk dapat memposisikan diri terhadap orang lain juga dapat berpengaruh terhadap bagaimana cara kita memandang dunia.
Menjadi bijaksana dengan mengambil jeda dan melihat permasalahan dari jauh saya rasa menjadi bagian tersulit dari seorang manusia yang sedang bergerak menuju kedewasaan. Sulit belum tentu mustahil. Bukankah kita semua sedang bergerak kesana?
*Tat Tvam Asi — I am You, You are Me is a bold recognition that in our purest state, all humans are identical and equal kindred spirits.
Reference:
· https://archive.nytimes.com/www.nytimes.com/books/first/b/buss-passion.html?_r=5
· https://www.nytimes.com/2018/05/04/opinion/upside-envy.html
· https://www.nytimes.com/2002/10/08/health/jealous-maybe-it-s-genetic-maybe-not.html
· https://www.nytimes.com/1981/02/09/style/relationships-jealousy-roots-of-rage-and-revenge.html
[1] Boris Sokoloff, 1947, Jealousy: A Psychological Study