Koperasi dan Pekerja Seni

Petikan diskusi antara Giovanni D. Austriningrum, Ranggi Koto, M. Fatchur Rohman, dan Andi Bhatara.

Sanggare
Sanggaré
5 min readApr 23, 2019

--

Dikompilasi oleh Giovanni D. Austriningrum

Seminggu sekali dalam beberapa bulan belakangan, kami mendiskusikan dan merefleksikan posisi Sanggare sebagai koperasi perupa; bagaimana ia menjadi strategi kerja kolektif untuk menciptakan alternatif di tengah berbagai bentuk kerentanan. Hasil diskusi tersebut pun kami uji coba untuk merapikan konsep dan skema pengorganisasian kerja, pembagian hasil, tahapan pengembangan koperasi, serta aspek-aspek manajemen bisnis lainnya.

Pertama-tama, kami mendiskusikan bagaimana koperasi merupakan salah satu bentuk pengorganisasian kolektif. Kolektif terdiri dari berbagai macam aspek, seperti gagasan dasar atau ideologi pembentukan, pengelolaan program, pengetahuan, dan modal-modal kultural, pembangunan jaringan sosial, serta strategi ekonomi. Kolektif juga bukan hal baru, melainkan dapat kita temukan di mana-mana sepanjang sejarah, mulai dari kelompok relijius, negara-bangsa, lingkaran pebisnis, fandom budaya pop, kelompok gerakan sosial, dan lain sebagainya.

Lalu, apa yang membedakan koperasi dengan pengorganisasian kolektif lainnya? Lebih spesifik lagi, apa yang membedakan koperasi perupa — sebagai salah satu bagian pekerja seni — dengan bentuk-bentuk kolektif pekerja seni lainnya? Bagaimana kemudian posisi koperasi — yang juga menjadi medan pertikaian politis tersendiri — dalam upaya-upaya meretas kapitalisme?

Untuk mendiskusikan pertanyaan tersebut, kami membaca beberapa literatur, mengunjungi situs-situs kolektif seni-budaya, serta merefleksikan pengalaman berkoperasi. Dari situ kami memetakan kondisi material dan upaya-upaya pengorganisasian pekerja dalam skena seni kontemporer.

Untuk mendiskusikan kondisi material, kami membahas konsep-konsep dasar seperti kerja, produksi, kondisi-kondisi teknis dan sosial yang membentuk relasi dan kompleksitas produksi, serta reproduksi. Konsep-konsep dasar tersebut dapat membantu memetakan perkembangan berbagai tipe masyarakat, termasuk masyarakat kapitalis yang menjadi corak dominan kehidupan kita hari-hari ini. Kami juga membahas bagaimana logika akumulasi dan eksploitasi melahirkan kecenderungan akan komodifikasi subsistensi, di mana elemen-elemen produksi dan reproduksi sosial tidak dapat berlangsung di luar relasi-relasi komoditas dan di luar disiplin yang diberlakukan oleh relasi-relasi komoditas itu (atau yang disebut Marx “paksaan samar kekuatan-kekuatan ekonomi”).

Di sini, penyembunyian dan devaluasi kerja-kerja reproduksi menjadi “resep rahasia” dalam kontradiksi dan akumulasi keuntungan kapitalisme. Dalam rezim kerja upahan kapitalis, tenaga kerja dipandang sebagai komoditas yang dapat dipertukarkan atau diperjualbelikan di pasar secara “bebas”. Namun, nilai lebih dari kerja-kerja rumah tangga/domestik yang menyokong reproduksi pekerja ini, serta yang sebagian besar dilakukan perempuan, tidak pernah diupah atau tidak dibayarkan kembali secara layak — entah atas nama cinta, keharmonisan keluarga, dianggap “bukan kerja” atau pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian atau keterampilan khusus seperti halnya “sektor produktif”, dan lain sebagainya. Silvia Federici, salah satu feminis marxis autonomis yang banyak berteori tentang hal ini, mengemukakan bahwa kapital memang tidak akan bisa memperoleh keuntungan — kapitalisme tidak akan lagi dapat bekerja — jika mengakui keberadaan dan mengupah kerja-kerja reproduksi tersebut sesuai nilainya.

Teori tersebut dapat diterapkan salah satunya untuk membaca kondisi material para pekerja di sektor seni-budaya, yang diliputi kerentanan, ketiadaan jaminan, ketidakpastian pendapatan pokok, ketiadaan transparansi pembagian kerja dan remunerasi, serta kerja-kerja tak kasat mata — bahkan tak berbayar. Meningkatnya harga sewa ruang pamer / galeri di tengah arus gentrifikasi juga berkontribusi dalam normalisasi kerja-kerja berupah rendah atau tak berbayar. Semuanya atas nama passion, cinta, kemanusiaan, dedikasi, atau kreativitas. Romantisisasi dan penyangkalan relasi ekonomi dalam seni ini tidak dapat dilepaskan dari wacana seni modern — yang masih menjadi kerangka dominan dalam konseptualisasi praktik seni sampai sekarang.

Kenyataan kerja rentan dalam medan seni-budaya ini tidak akan berubah jika pekerja seni tidak mengorganisir diri dan berjuang melawannya. Seperti ditekankan Federici, perjuangan melawan kerja-kerja rentan bukanlah permintaan akses terhadap relasi kerja upahan konvensional, melainkan untuk meminta kehidupan yang lebih baik, sembari menyadari bahwa kapitalisme bergantung pada bentuk-bentuk kerja yang rentan dan tak berbayar. Lalu, bagaimana mengkonstruksi perjuangan pekerja dan imajinasi politik dari posisi subyek pekerja seni yang rentan, tanpa mengisolasi perjuangan ini dalam sektor seni saja?

Sepanjang lintasan sejarah, pekerja seni sering tergabung dan beraliansi dengan gerakan-gerakan pekerja dan perjuangan-perjuangan revolusioner. Kolektif dan inisiatif pekerja seni seringkali menggunakan kemampuan visual mereka untuk mengembangkan strategi aktivisme atau mengampanyekan kesadaran akan suatu isu.

Di berbagai belahan dunia, kolektif pekerja seni banyak bermunculan. Kuasa berlebih lembaga pendanaan atas praktik-praktik pameran dan aktivitas kultural mulai dipermasalahkan. Serikat-serikat pekerja kreatif mendorong pekerja seni-budaya mengonfrontasi “bos” mereka, untuk menuntut transparansi kondisi material kerja budaya dan perbaikan ekosistem kerja. Koperasi pekerja seni sebagai alternatif pengorganisasian ekonomi pun mulai banyak diuji coba.

Bagaimanapun, koperasi merupakan medan politis yang dipertikaikan. Tak sedikit yang menggunakan koperasi dan kolektivitas sebagai perantara untuk lebih terintegrasi ke dalam kompetisi pasar bebas. Kreativitas dan eksplorasi artistik dimaknai dalam kerangka individualisme, narsisisme vulgar, atau maskulinitas toksik — alih-alih solidaritas kolektif dengan perspektif pekerja dan kesetaraan.

Di lain sisi, merintis koperasi sebagai alternatif dalam hegemoni kapitalisme dan kompetisi pasar bebas tidaklah mudah. Koperasi pekerja memang dapat menjadi wahana untuk meningkatkan kesadaran dan mempermasalahkan rerantai pasok dan corak produksi dominan. Kontrol pekerja secara demokratik dalam manajemen dan distribusi profit juga membentuk pengalaman anggota secara berbeda serta menghindarkan satu sama lain dari eksploitasi.

Namun, tekanan logika kompetisi, kebutuhan pemasaran, dan ekonomi pasar yang didominasi privatisasi dan orientasi profit menjadi kendala tersendiri. Pada kenyataannya, prasyarat operasi bisnis mendasar seperti permodalan (baik uang, tenaga, pendidikan, dll) masih bersandar pada privilese anggota dan tak jarang bergantung pada donor. Seringkali, koperasi mula-mula harus menjadi firma tak berbayar yang mengandalkan relasi sosial dan moral.

Tegangan antara keseharian dan tujuan jangka panjang mewarnai perdebatan dalam koperasi, yang mempengaruhi pula komitmen dan praktik para anggota. Bagaimana model bisnis yang memihak pekerja — termasuk mempertimbangkan daya dukung ekologis — mungkin dilakukan di tengah sistem ekonomi sekarang? Atau memang koperasi baru bisa efektif berjalan pasca kapitalisme tumbang, sehingga yang kita lakukan sekarang baru eksperimentasi — yang paling banter menjadi tambahan pendapatan alih-alih tumpuan penghidupan?

Pertanyaan selanjutnya berhubungan dengan dampak sosio-politis koperasi. Bagaimana koperasi dapat berperan di luar organisasinya? Bagaimana memperluas peluang untuk menyebarkan gagasan-praktik koperasi pekerja, sembari menjejaringkan yang sudah ada? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kami bersepakat tentang pentingnya jejaring dan kolaborasi dengan berbagai elemen lain yang juga berupaya meretas kapitalisme. Sehingga solidaritas atau program kolaborasi yang dilakukan tidak semata-mata berlandas pada pertimbangan moral, tetapi juga rasionalisasi yang jelas bagi kepentingan pekerja.

Diskusi ini tentu jauh dari selesai. Masih banyak yang harus kami pikirkan dan lakukan. Bagaimanapun, poin-poin diskusi sejauh ini kami jadikan rujukan untuk merapikan dan merumuskan kembali model dan manajemen bisnis, strategi di tiap tahap dan fase pengembangan koperasi, valuasi dan remunerasi kerja artistik, pemenuhan kebutuhan pokok anggota, sampai persoalan administrasi. Semoga eksperimentasi ini bisa terus berlanjut!

Referensi

Co-opLaw.org, 2018. Artist Cooperatives.
IVAA, 28 Desember 2018. Arisan: Forum Kolektif Seni Asia Tenggara.
Federici, Silvia. 2012. Revolution at Point Zero.
Marcuse, Peter. 1 Februari 2016. Cooperatives On the Path to Socialism?
Triisberg, Airi. 2015. “Unwaged Labour and Social Security: A Feminist Perspective”, dalam Art Workers: Material Conditions and Labour Struggles in Contemporary Art Practice.

--

--