Pekerja Kreatif: Kerja Rentan di Masa Rentan [Bagian I]

Sanggare
Sanggaré
Published in
20 min readAug 20, 2019
Precarious Imbalance, ilustrasi oleh Andi Bhatara, 2019
Precarious Imbalance, Ilustrasi oleh Andi Bhatara, 2019

Barangkali (hampir) seluruh pekerja di sektor kreatif pernah menginternalisasi pernyataan semacam ini: “ini passion saya, kapan lagi kita digaji, terpandang, banyak uang, dan menikmati masa tua lewat hobi yang kita minati?”. Entah sudah berapa banyak penulis, peneliti, jurnalis, desainer, fotografer, videografer, pengrajin, perupa, seniman pertunjukan, kurator, musisi, manajer, dan profesi di sektor kreatif lain yang lahir dari pernyataan ini. Sebagian besar dari mereka yang masih bertahan hari ini bekerja di berbagai tempat; penerbitan, NGO, institusi penelitian, media, agensi, sanggar, galeri, atau studio. Beberapa membuat perusahaan startup, dan sebagian lagi, spesies yang sangat sering ditemui, bertahan sebagai pekerja lepas (freelancer). Para pekerja kreatif yang masih konsisten menggeluti profesinya, saya pikir tahu betul bagaimana passion bernada romantik nan poetik di awal berubah seiring realita kehidupan kreatif mereka — yang barangkali (juga berangkat dari refleksi pribadi) tidak pernah terbayang sampai se-ambyar hari ini.

Pembicaraan menyoal passion dengan cepat tergantikan oleh beragam insecurity. Keseharian didikte oleh deadline, menumpuknya to-do list yang tidak kunjung kelar meski dikerjakan 24 jam sehari, ambisi ideal yang tidak tercapai akibat kurangnya dana, sederet ide kreatif yang berakhir di buku catatan, imajinasi dan gagasan yang dirasa semakin tumpul akibat rutinitas kerja yang monoton dan membosankan, tidak sebandingnya upah dengan usaha yang dilakukan, jam kerja yang tidak menentu, bahkan seringkali masih harus bekerja di luar jam kerja, menderita sakit fisik atau mental karena terlalu banyak bekerja, ketidakpastian proyek, hingga tidak menentunya masa depan. Belum lagi urusan domestik, mencekiknya tagihan bulanan akibat semakin tinggi harga kebutuhan sehari-hari, menghadapi omelan/perkelahian dengan pasangan/mertua karena kondisi finansial rumah tangga yang tidak menentu, makan nasi dan kerupuk karena sebagian besar gaji dialokasikan untuk popok dan susu, menyisihkan gaji untuk orang tua di kampung yang semakin keriput, janji pernikahan yang harus ditunda karena modal yang terus menyusut, dan lain seterusnya. Kita khatam dengan kondisi ini, yang bisa jadi ketika ditukar dengan pahala, niscaya kita sudah masuk surga keenam belas.

Passion pun berubah menjadi renungan spirituil ketika melihat pengumuman tes CPNS — membayangkan alangkah bahagianya hidup dengan tunjangan dan jaminan hari tua, mengingatkan kita pada tulisan di belakang truk pantura direndengi senyuman sang Jendral dan sayur kol yang tumpah-tumpah, membuat kita menutup dengan kesimpulan motivasional; “kayaknya aing kurang kerja keras”. Kemudian kita bekerja lebih lagi dari sebelumnya. Bagi pekerja lepas, perburuan proyek dimulai, pengajuan quotation dan proposal tender digencarkan, beberapa proyek datang meskipun nilainya tak seberapa. Dalam beberapa kasus, pindah tempat kerja dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan sebelumnya seringkali menjadi suatu pilihan (dengan beban kerja yang selalu lebih banyak dan tidak seimbang dengan upah!). Ketika buku bulanan akuntan ditutup, upah sampai di tangan, semua kebutuhan kita penuhi, baik yang primer atau sekunder, untung-untung ada lebih, mungkin kita memenuhi yang tersier, menabung, atau berinvestasi. Tapi insecurity itu kembali lagi, membuktikan bahwa bekerja lebih keras tidak menjawab persoalan. Ketika hal ini sudah menjadi siklus, seringkali kita berakhir membatin, “Ya kumaha deui, sudah realitanya begini, jalani saja lahToh ini kan passion gue!”

Bagi mereka yang masih mencari celah-celah mengaktualisasikan passion-nya, entrepreneur kreatif menjadi opsi alternatif. Kondisi seorang teman saya pikir bisa menjadi sebuah gambaran. Beliau adalah seorang pekerja kreatif polymath. Berbekal frustrasi bekerja di agensi karena merasa mandek dan tidak berkembang, ia yakin dengan berpegang teguh pada passion dan idealisme akan menuntunnya menuju kesuksesan di dunia industri kreatif. Pada dasarnya ia adalah one-shop-studio­ person, membuat toko produk kerajinan-perupaan online, sembari membuka studio yang menawarkan jasa kreatif, dari desain visual, fotografi, videografi, copywriting, arsitektur, interior, mebel, dan masih banyak lagi. Secara vertikal dan horisontal, pengelolaan usahanya dikerjakan sendiri, menjadi marketeer, akuntan, distributor, pembuat konten, dan kerja-kerja manual. Dia berkelana dari satu lingkaran ke lingkaran lain untuk menjual karya dan mempromosikan brandnya. Secara ringkas, guyonan I am my own team mampu merangkum apa yang saya maksud.

“Kok maneh kuat kerja kayak gitu?”, tanya kawan saya yang lain.

“Gak masalah, mau orang seneng atau enggak, mau beli karya, bayar jasa aing atau enggak, yang penting aing jalanin yang sesuai passion aing”, pungkasnya getir.

Berhasilkah ia dalam taraf sukses pekerja kreatif yang normatif? Penilaian saya, apabila kesukseskan diisolasi dalam nominal yang ada di rekening bank, bisa jadi. Namun apabila ditilik dari perspektif lain, utamanya secara ekonomi-politik dan struktural, sama sekali tidak. Dari deretan fenomena yang dipaparkan barusan, terdapat satu pola yang jelas dialami oleh pekerja kreatif di tiap lininya, baik pekerja-upahan ataupun yang mendakwa sebagai self employment/berwirausaha — sebuah kondisi yang disebut prekaritas (precarity), atau kerentanan. Kondisi yang ditandai oleh ketidakpastian kerja, ketika kerja diatur lewat kontrak jangka pendek dan kita bisa dipecat kapan saja — pekerjaan akhirnya bersifat temporer; ketidakpastian pendapatan, ketika upah berikutnya belum jelas dari mana datangnya; ketidakpastian jam kerja, ketika kerja kelewat batas di satu hari, esoknya tidak ada pekerjaan sama sekali, atau satu minggu mengerjakan sesuatu di pagi hari, tiga minggu setelahnya mendapat sif tengah malam; tidak memiliki hak di tempat kerja yang disebabkan oleh eksklusi mereka dari jaminan kerja dan jaminan sosial yang biasa diasosiasikan dengan pekerjaan tetap.

Ketika kondisi tersebut dibarengi dengan tagihan yang terus datang, pemotongan gaji untuk pajak atau layanan publik, dan meningkatnya kebutuhan hidup, akhirnya hal itu diterjemahkan menjadi fakta yang tidak dapat dielakkan oleh seorang yang rentan: jarak menuju ketunakaryaan (ketiadaan pekerjaan) dan ketunawismaan (ketiadaan rumah) berada hanya dalam rentang satu cek gaji saja[1].

Sedikit banyak, hal-hal ini sangat familiar dengan saya, barangkali juga dengan anda?

Masa Rentan: Prekarisasi Pekerja di Era Neoliberal

Entah disadari atau tidak, insecurity dan kerentanan kita berakar dari persoalan yang sama: ketidakmampuan kita dalam membaca konteks, mengidentifikasi permasalahan, meneorisasikan gagasan atau formula untuk mengintervensinya, dengan segala keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki — yang terinternalisasi secara sistemik hingga menimbulkan sensasi ketidakberdayaan dalam diri kita. Semua itu membentuk kita sebagai subjek precarious, dan ketika diterjemahkan lewat perspektif pekerja, kitalah para precarious (rentan) proletariat (kelas pekerja), atau yang kini mulai dikenal dengan istilah ‘prekariat’.

Dari titik ini, saya kira kita perlu mengajukan pertanyaan kritis, daripada “Apa saya gagal karena tidak mampu mengikuti sistem yang bekerja?”, menjadi “Bagaimana logika sistem yang bekerja hari ini dapat membuat kita menjadi subjek yang rentan?”. Singkat kata, pemahaman kita terhadap bagaimana sistem bekerja akan menjawab juga pertanyaan: “Bagaimana proses perentanan terjadi hingga mempengaruhi kondisi kerja kita hari ini?”. Sebelum masuk ke pembahasan terhadap prekarisasi pekerja kreatif secara khusus, saya ingin memaparkan konteks makro yang melatarbelakangi kondisi perentanan ini terhadap kelas pekerja di semua sektor secara sistemik: yaitu krisis kapitalisme dan neoliberalisme.

***

Secara ringkas, neoliberalisme pada awalnya dipandang sebagai sebuah teori dari ekonomi politik yang pada praktiknya mendorong gagasan bahwa kesejahteraan manusia hanya dapat dicapai dengan menjamin kebebasan individu untuk berusaha (entrepreneurial freedom) dan mengembangkan keterampilannya. Untuk mewujudkan keberjalanan sistem ini, setiap individu didorong untuk berpartisipasi lewat satu kerangka institusional yang dicirikan oleh hak kepemilikan pribadi, pasar bebas, dan perdagangan bebas[2]. Setelah Great Depression menyerang dan Perang Dunia II usai, 44 negara yang terlibat perang berkumpul di Washington untuk memperbaiki stabilitas masing-masing negara dan membuat kesepakatan yang dikenal sebagai Bretton Woods Agreement. Dalam rangka merekonstruksi negara yang hancur akibat perang, taktik sistem ekonomi Keynesian diadopsi bersamaan dengan paham sosial-demokrat di berbagai negara. Era ini dikenal sebagai The Rise of Governmental Intervention, dimana negara berkomitmen dan memegang penuh kontrol ekonomi dan sosial untuk mencapai kesejahteraan negara[3].

Ketika perang dingin berlanjut, dan guncangan inflasi akibat krisis minyak tahun 1973 dan 1979 melanda Dunia Utara dan berdampak pada Dunia Selatan, disusul dengan kejatuhan Tembok Berlin, dan dikombinasikan dengan kehancuran komunisme Soviet, strategi-strategi perencanaan tersentralisir menjadi terdiskreditkan, begitu juga dengan bentuk-bentuk state-led development dan kontrol ekonomi oleh negara. Berangkat dari kondisi tersebut, lahir ekonom neoklasik seperti Hayek dan Friedman yang mendorong alternatif untuk mengatasi kegagalan ekonomi Keynesian[4]. Semuanya berdasar pada keyakinan: bahwa negara telah gagal dalam menyelesaikan krisis berkepanjangan. Kalangan neoliberal pun mengkritik habis-habisan negara: “too much state, too much regulation, too much government spending, and not enough emphasis on private sector and foreign banking[5].

Akhirnya, proposisi ekonomi neoklasik Hayek dan Friedman dalam mempromosikan pasar bebas, monetarisme, deregulasi, dan privatisasi menjadi sebuah fondasi “saintifik” untuk menaruh keyakinan penuh pada ‘the invisible hand of the market[6] sebagai jalan untuk menyelamatkan negara dari krisis finansial. Singkat kata, kalangan neoliberal mengilhami jargon baru untuk perekonomian dunia: “Less State, More Market” — artinya, bagaimana logika pasar dapat terinkorporasi ke dalam pengelolaan finansial dan sistem operasi-politik negara. Bagaimana regulasi dapat memuluskan pasar dan perdagangan bebas, hingga privatisasi aset-aset publik[7]. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, tentang bagaimana neoliberalisme berhasil merekonfigurasi peran negara, agar menyediakan kebebasan yang dibutuhkan kapitalisme untuk bisa beroperasi dan menyerap tenaga kerja lebih luas. Bersamaan dengan momen naiknya Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika, mereka secara pragmatis mengimplementasikan neoliberalisme ke dalam kebijakan-kebijakan ekonomi, yang kemudian dilanjutkan oleh David Lange di Selandia Baru, Deng Xiaoping di Tiongkok, dan Augusto Pinochet di Chili[8]. Tentu saja, negara Dunia Selatan, terutama negara pasca jajahan seperti Indonesia akan terseret arus kebijakan neoliberal melalui desakan institusi moneter internasional berupa pinjaman modal dan penyesuaian kebijakan[9].

***

Lalu apa pengaruhnya secara langsung terhadap kondisi pekerja? Dengan merangseknya investasi internasional, perusahaan transnasional, deregulasi negara, para pekerja juga masih harus menghadapi persoalan penting agar tenaga kerjanya dapat terserap di pasar bebas. Dengan terintegrasinya Cina, India, dan negara ekonomi berkembang ke pasar tenaga kerja dunia saja, menambah sekitar 2 milyar tambahan pekerja masuk ke dalam rantai suplai global[10]. Dan kita hanyalah salah satu di antaranya.

Bersamaan dengan neoliberalisme, datang juga agenda-agenda global yang mempengaruhi kondisi kerja kita, dimana kita berpijak pada satu era yang ditandai sebagai masyarakat pasca-industrial (post-industrial society). Dalam masyarakat pasca-industrial, kapitalisme memindahkan sirkuit kapitalnya untuk mengakumulasi nilai lebih banyak di sektor jasa ketimbang sektor manufaktur dan bahan mentah/baku. Hal ini beririsan dengan kemajuan teknologi, yang biasa ditandai dengan istilah ‘revolusi industri’, yang barang tentu adalah agenda industrialis dan pemodal. Lewat perspektif pekerja, ‘revolusi industri’ berkaitan dengan proses ‘otomasi kerja’ oleh teknologi dan terjadi secara meluas di lanskap perindustrian.

Secara singkat, otomasi berarti mengkodifikasi dan mengkristalkan keterampilan-keterampilan pekerja hidup (living labor) menjadi mesin sebagai kerja mati (dead labor) [11]. Agenda-agenda teknokrat ini dilakukan dalam rangka membuat sistem manufaktur yang lebih efisien dan efektif. Artinya bagi kita jelas: pemangkasan tenaga kerja. Yang pada mulanya suatu produk manufaktur biasa dikerjakan oleh ratusan orang di pabrik, dengan ‘revolusi industri’ ia dapat dikerjakan oleh 2–4 orang saja yang bertugas sebagai operator, supervisor, dan teknisi assembly-line.

Gelombang otomasi dan delokalisasinya dari Dunia Utara ke Dunia Selatan membuat sebuah pergeseran dalam sistem ekonomi, dari industri manufaktur menuju ekonomi berbasis jasa dan informasi. Dalam pengamatan Alex Foti, pabrik hari ini bukan lagi menjadi pusat tempat pertentangan kelas terjadi — ia berpindah ke kota, ke mall, dan ke berbagai jejaring virtual yang menggantikannya. Dari sini, sebuah kelas baru muncul, yang terdiri dari perempuan, migran, kelas pekerja muda, kelas-menengah muda, mahasiswa, pelajar yang kemudian disebut prekariat — sebagai penerus dari proletariat industri[12], kemudian menjadi situs primer eksploitasi dan perampasan nilai berikutnya.

Kerja Rentan di Dunia Prekariat

Untuk memulai pembahasan mengenai aspek-aspek yang merentankan (precarisation) pekerja, mari kita bungkus terlebih dahulu rangkuman dari sistem ekonomi neoliberal. Model ekonomi neoliberal menggunakan paham ekonomi neoklasik[13] yang bertumpu pada teori: bahwa setiap individu akan bertindak secara rasional terhadap keputusan dan perilakunya dalam sistem ekonomi (rational choice theory)[14]. Setiap individu memiliki preferensi tersendiri berdasarkan informasi, pilihan yang tersedia, dan batasan-batasan untuk meraih kebahagiaan, kesejahteraan, dan utilitasnya. Ketika diterjemahkan dalam perspektif ekonomi, berarti preferensi rasional tersebut dapat diukur melalui cost dan benefit, atau berapa besar biaya/ongkos yang diperlukan dan berapa banyak manfaat yang didapatkan oleh individu. Kombinasi keduanya — melihat manusia sebagai agensi dengan tujuan memaksimalisasi keuntungan dan nilai yang ingin didapatkan dengan pengorbanan yang seminimal mungkin.

Bagaimana kemudian mengejewantahkannya ke dalam sistem pasar? Dari sini kita tarik 3 asumsi, bahwa 1) manusia memiliki preferensi personal untuk mendapatkan luaran (outcome) yang diinginkan dengan mengidentifikasi nilai di dalamnya, 2) individu akan memaksimalkan utilitasnya, atau kebermanfaatannya sehingga berdampak pada maksimalisasi profit perusahaan (institusi pemberi kerja) 3) manusia bertindak secara independen didasari dengan kelengkapan informasi yang relevan[15]. Dari ketiga asumsi tadi, model ekonomi neoliberal menciptakan sebuah struktur ekonomi global yang ditentukan berdasarkan keseimbangan (equilibrium) antara penentuan harga dan pengupahan demi mendorong individu memaksimalkan utilitasnya di pasar tenaga kerja global. Ketika pasar menjadi bebas, individu dapat mengakses pasar seluas-luasnya dengan berkompetisi melalui nilai yang dimilikinya (barang, alat produksi, dan tenaga kerja) untuk terlibat dalam aktivitas produksi.

Dengan semakin mengglobalnya ekspansi modal dan pergeserannya ke sektor jasa dan informasi, serta pembagian kerja secara spasial dan internasional (international division of labour), perentanan pekerja terjadi ketika pasar menekankan kompetisi dan mengondisikan kerja yang semakin terindividualisasi. Artinya, permintaan tenaga kerja hari ini bersandar pada human capital yang ada di masing-masing individu. Semakin ia memiliki keterampilan dan akses terhadap faktor produksi (pengetahuan, teknologi, tenaga, dan alat penunjang produksi), semakin terjamin dirinya dapat terserap dalam pasar tenaga kerja.

Meningkatnya privatisasi dan individualisasi tenaga kerja — adalah kabar buruk bagi kelas pekerja di semua lini. Untuk meningkatkan akumulasi nilai dan efisiensi kerja, perusahaan mereorganisasi pola produksinya — yang hari ini dikenal sebagai akumulasi fleksibel/kapitalisme fleksibel. Fleksibilisasi berarti perubahan praktik pengelolaan tenaga kerja, di mana perusahaan tidak lagi menggunakan tenaga kerja internal dengan alasan perkembangan teknologi dan mengglobalnya pasar. Tenaga kerja internal dianggap terlalu ‘berat di ongkos’. Dalam sistem ini, pekerja diorganisasikan perusahaan dalam tangga karir hierarkis, sehingga pekerja melihat adanya capaian dan tujuan semu untuk naik pangkat, meningkatkan upah, dan status sosialnya. Hal ini dilakukan untuk memastikan loyalitas dari setiap pekerja.

Untuk menjamin kesetiaan, perusahaan biasanya memberikan jaminan kontrak kerja jangka panjang, jaminan sosial, dan janji promosi[16]. Selain itu, perusahaan juga menanggung ongkos-ongkos pelatihan dan pengembangan kapasitas pekerja sesuai yang dibutuhkan perusahaan. Dalam fleksibilisasi, orientasi perusahaan berubah menjadi condong kepada tenaga kerja eksternal — para pekerja fleksibel, yang benar-benar longgar dalam segala hal — terutama waktu, kontrak, dan tempat kerja. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah pekerja yang memiliki pendidikan tinggi dan kemampuan teknis, selain lowongan pekerjaan yang langka.

Dengan pasar yang semakin kompetitif, fleksibilitas memudahkan perusahaan untuk mengelola tenaga kerja mereka. Pemecatan dan pemanggilan kerja dapat menyesuaikan perubahan struktural akibat faktor-faktor eksternal. Jumlah pekerja tetap akan lebih sedikit dibandingkan pekerja outsource, dan tentunya berpengaruh terhadap kekuatan serikat kerja yang ada sebelumnya (deunionisation).

***

Sampai di sini, saya kira kita sudah cukup memahami bagaimana kapitalisme dan neoliberalisme beroperasi dan berpengaruh terhadap kondisi kerja kita. Kita, sebagai prekariat, menjadi subjek dominan dalam eksploitasi hari ini, atau flexploitation: dimana kapitalisme tetap mengekstrak nilai kerja sebagaimana naturnya (bahkan dengan upah yang lebih sedikit), dengan mengubah pekerja menjadi free agent, pekerja kontrak independen, dan mengepung kita dalam kondisi precarious yang menggantungkan penghidupan terhadap permintaan kerja (on-demand labor)[17].

Alhasil, pekerja hari ini dihadapkan dengan ketidakpastian kerja serta lepasnya hak-hak sebagai pekerja — kemungkinan mengakses pensiun, cuti kerja, kerja 8 jam, lembur berbayar, hingga izin sakit dan cuti haid sekalipun. Hilangnya jaminan kesejahteraan, posisi sosial, dan identitas kultural, serta kondisi kerja yang terindividualisasi, membuat kita hidup dalam hutang. Kita harus membayar ongkos produktif dan reproduktif kita sendiri, mulai dari ongkos membeli alat produksi, pendidikan, peningkatan keterampilan, hingga ongkos tempat tinggal (merangkap tempat kerja), kesehatan, tabungan, rekreasional dan jaminan hari tua — yang dulunya merupakan tanggung jawab perusahaan. Neoliberalisme membuat kita untuk tunduk sembari independen, terampil dan pintar sembari tetap rentan, menuntut masing-masing pekerja menguasai kemampuan untuk self-govern, self-development, dan self-realization — hal-hal yang dibutuhkan hari ini agar kita dapat bertahan menghadapi perangkap prekaritas, yang dapat membuat diri kita lebih rentan lagi dari sebelumnya[18]. Dalam pandangan Judith Butler, kondisi perentanan di setiap subjek prekarisasi, mengakibatkan implikasi precarious yang ‘menubuh’ — kondisi eksistensial yang memungkinkan tubuh membuka diri terhadap pengalaman manusia tentang kerentanan akibat kuasa di luar dirinya, khususnya kerentanan akibat kekerasan, baik kekerasan struktural ataupun fisik[19].

Pendefinisian prekariat, terutama ketika ia dipandang sebagai sebuah kelas pun masih diperdebatkan hingga hari ini. Guy Standing, yang mempopulerkan terminologi ini ke ranah riset sosial, mengklasifikasikan prekariat sebagai sebuah kelas terendah dalam struktur ekonomi. Berangkat dari Great British Class Survey yang dirilis tahun 2013[20], Standing mengelaborasikan kelas prekariat lewat pandangan Bourdieu — distingsi antara ekonomi, kultural, dan kapital relasional — menjadi 7 model kelas: elite, established middle class, technical middle class, new affluent workers, emergent service workers, traditional working class, dan precariat di posisi terbawah. Bagi kalangan Marxisme kontemporer terutama Marxisme Otonomis, definisi ini dianggap terdistorsi, karena secara esensial hanya merujuk pada tunakarya (tidak memiliki pekerjaan) serta pekerja miskin dengan upah minim dan insekuritas ekonomi. Prekaritas adalah sebuah ‘kondisi’, tidak ada kelas prekariat[21]. Tulisan Standing juga dianggap memiliki kelemahan layaknya literatur akademik lain yang membahas prekariat — ia tidak mampu mengintegrasikan peran politik prekariat dalam teori ekonomi tenaga kerja dan kebutuhan transformasi sosial.

Lain hal dengan Alex Foti, ia menawarkan sudut pandang yang mampu menemukan hubungan konkret antara teori dan praktik perubahan sosial-politik melawan kapitalisme kontemporer, dengan prekariat ditempatkan sebagai pusat relasinya. Foti tetap mengaminkan pernyataan Standing bahwa prekariat adalah kelas-dalam-pembentukan (class-in-the-making). Ia menegaskan bahwa prekariat adalah komposisi kelas sosial yang telah ada semenjak kapitalisme muncul di dunia[22] seperti yang telah diidentifikasi Marx sebagai lumpenproletariat dalam cadangan tenaga kerja (reserve army of labor)[23]. Prekariat sebagai subjek historis dibentuk terus menerus seiring dinamika kapitalisme dan teori ekonomi. Prekariat, dapat didefiniskan sebagai kelas dan ia mesti dibedakan dari proletariat berdasarkan 3 prasyarat pembentukannya: 1) prekariat memiliki relasi produksi dan tenaga kerja yang distingtif dengan proletariat: ia tidak memiliki kepastian kerja dan berposisi sebagai tenaga kerja tidak langsung (indirect labor)[24] yang seringkali dieksploitasi agensi atau broker, 2) relasi distribusi prekariat yang berbeda dengan kelompok lain: ia tidak memiliki manfaat non-gaji, seperti tunjangan atau jaminan, ia hanya bergantung pada upah dalam bentuk uang, 3) relasi prekariat dengan negara, karena hak sipil, kultural, sosial, politik dan ekonominya dilemahkan secara sistemik dan tidak dilindungi dalam regulasi[25].

Foti mengajukan alternatif untuk memandang komposisi sosial prekariat dan membaginya dalam 4 model kelas pekerja: creative class, new working class, service class, dan unemployed class[26]. Komposisi tersebut lahir dari asumsi bahwa kompleksitas prekariat hari ini dipengaruhi oleh kapitalisme digital dan informasi yang mempengaruhi relasi produksi dan reproduksinya. Untuk memperkuat akurasi dan representasi dalam pembacaan dunia prekariat, Foti menggambarkan sebuah set diagram Euler-Venn dengan tipe kontrak, relasi kerja, sistem pengupahan, human capital, dan akumulasi tenaga kerja yang tidak dibayar (unpaid labor) sebagai variabel perpotongan dan kombinasi diantaranya.

Gambar 1. The Precariat Set (Foti, 2017)

Seluruh perpotongan dan kombinasi variabel akan menggambarkan komposisi prekariat dari derajat kerentanannya. Semakin ia mendekati/mencapai derajat sebagai ‘Temps’ (temporary workers), tingkat kerentanannya semakin kecil, dan begitu pun sebaliknya. Dalam sistem kapitalisme fleksibel, terdapat pula temps yang memiliki kontrak kerja tetap, namun status tersebut sifatnya temporer dan dapat dicabut sewaktu-waktu oleh perusahaan. Maka dari itu ia tetap digolongkan sebagai prekariat. Dari diagram di atas, terdapat 3 populasi yang berkompetisi satu sama lain di pasar tenaga kerja dan membentuk dunia prekariat, mereka adalah pekerja lepas (freelancers), pelajar (students), dan tunakarya[27] (unemployed).

Para pekerja lepas dapat bekerja secara independen atau tergabung dalam satu agensi. Mereka yang bekerja secara independen dipekerjakan secara paruh waktu dan diatur dalam kontrak jangka pendek. Pekerja agensi memiliki akses menjadi temps ketika ia dipekerjakan secara tetap, atau menjadi pekerja agensi paruh waktu saat ia dipekerjakan dalam rentang waktu yang pendek. Pelajar dalam diagram ini merujuk pada para pekerja yang baru saja lulus atau masih menyelesaikan studinya, prekaritasnya masih bersifat potensial, belum sampai ke titik aktual. Derajat prekaritasnya baru diperhitungkan ketika ia menjadi bagian antara pemagang (interns) atau pekerja pemula (apprentice). Pemagang dipandang sebagai individu yang belum bekerja dan sedang mencari pengalaman kerja. Bergantung pada kebijakan institusi pemberi kerja, selama masa magang mereka dapat digaji ataupun tidak sama sekali. Karena mereka dianggap ‘masih belajar bekerja’, keterlibatannya dalam aktivitas produksi biasanya lebih singkat. Populasi pekerja pemula (apprentice) lebih sedikit daripada pemagang. Anggapannya karena pemagang tidak selalu melanjutkan pekerjaan di sektornya, atau bergabung dengan perusahaan magangnya. Posisi mereka tetap sebagai individu yang sedang belajar bekerja, namun perusahaan memberikan kontrak kerja jangka pendek bertahap atau kerja paruh waktu dengan upah yang minim dibandingkan pekerja berpengalaman[28].

Populasi terbesar kedua di dunia prekariat adalah tunakarya. Apabila pekerja lepas atau pelajar sedang dalam posisi tidak bekerja, mereka terhitung sebagai bagian dari lingkaran ini. Dalam populasi tunakarya, terdapat para NEET (Not in Education, Employment, or Training). Mereka terdiri dari individu yang memilih untuk tidak melakukan studi formal atau mencari pekerjaan, biasanya mereka adalah individu yang dijamin subsidi anti-kemiskinan di negara yang menjamin kesejahteraan, atau bergantung pada kekayaan keluarga. Sebenarnya individu dalam lingkaran NEET tetap bekerja, namun tidak terdaftar secara resmi, karena mereka bekerja di sektor “ilegal” seperti: preman, mafia, ormas, perjudian, perdagangan manusia, dan yang tidak diakui sebagai ‘pekerjaan’ oleh negara. Mereka tetap tergolong rentan disebabkan adanya ketidakpastian kesejahteraan oleh beragam kasus yang dapat mempengaruhi derajat prekaritasnya.

***

Saya kira, komposisi sosial yang ditawarkan Foti mampu merangkum konteks pergumulan kondisi kerja hari ini. Peran prekariat dalam ekonomi berbasis informasi dan jasa sangatlah esensial, tapi mereka tidak memiliki suara dalam relasi kerja, ataupun kebijakan ekonomi. Faktanya, prekariat adalah orang-orang frustasi, secara konstan berjuang untuk bertahan hidup, tidak dapat mengidentifikasi identitas sosialnya: antara pekerja atau tunakarya, tidak mempunyai kontrol atas rezim kerjanya: selalu merasa bebas tapi merasa tidak punya cukup waktu, tidak punya pengaruh: karena ia tidak terepresentasikan dalam politik dan pemerintahan. Kepahitan yang harus diterima hari ini adalah: para prekariat tidak takut dengan kerentanan, karena mereka tidak tahu cara hidup selain menjadi rentan[29].

***

Perenungan saya setelah melihat individualisasi, fleksibilisasi, dan kompetisi pasar tenaga kerja yang secara sistemik merentankan kita, membuat saya bertanya-tanya: masihkah bisa kita mengatakan bahwa passion adalah jalan hidup saya? Apakah dengan passion saya bisa terhindar dari eksploitasi, atau justru malah membuat saya menikmati eksploitasi? Lalu, bagaimana passion tersebut diukur dan menjamin keselamatan kita sebagai pekerja dari eksploitasi?

Sebagai pekerja kreatif, saya tahu betul bagaimana passion erat diasosiasikan dengan label ‘kerja-kerja kreatif’. Kata ini seakan jadi doktrin di institusi pendidikan untuk menggenjot mahasiswanya “terus berkarya” sembari dibumbui kisah-kisah sukses para pekerja kreatif (yang merupakan minoritas dari sekian banyaknya pekerja kreatif di pasar tenaga kerja!). Ia pun seakan jadi mantra yang berulang kali diucapkan perusahaan atau pemberi proyek untuk membenarkan kondisi yang merentankan mereka. Apalagi hari ini pekerja kreatif terus menerus diromantisir melalui agenda-agenda ekonomi kreatif dan industri kreatif — mereka dilabeli sebagai pionir ekonomi baru, mesin baru kemakmuran ekonomi[30], dan solusi perekonomian nasional[31]. Terminologi kreatif dan pekerja kreatif seakan menjadi arena kontestasi, ia “diindustrialisasikan” oleh kapital sebagai agen yang mampu mendatangkan keuntungan lebih di pasar global. Ia juga terus didefinisikan dan dipandang sebagai pelaku ekonomi yang dapat merubah kondisi ekonomi negara. Lalu, di mana posisi mereka dalam struktur ekonomi? Bagaimana implikasi dari keseluruhan komponen struktural di atas dapat mempengaruhi posisi para pekerja kreatif dalam dunia prekariat? Yang lebih penting lagi, apakah masih ada kesempatan bagi kita, para pekerja kreatif bertahan dari desakan-desakan yang merentakan kita?***

Tulisan lebih khusus tentang pekerja kreatif di era kapitalisme kontemporer akan dilanjutkan di bagian II…

Andi Bhatara adalah peneliti lepas; artisan di Koperasi Perupa & Artisanal Sanggare; dan anggota Komune Rakapare.

Referensi

[1] Foti, A. (2017). General Theory of the Precariat. Amsterdam: Institute of Network Cultures, hlm. 9–11.

[2] Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. United States: Oxford University Press, hlm. 2.

[3] The Bretton Woods Agreement berisi tentang sistem, peraturan, institusi, dan prosedur untuk meregulasikan sistem moneter internasional. Pendirian International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) menjadi representasi dari eksperimen negara membangun sebuah institusi pembuat aturan internasional yang menyelenggarakan kebijakan moneter pasca perang dan hubungan finansial antar negara. Bretton Woods Agreement, disebut juga kesepakatan Anglo-American Agreement menjadi langkah yang menentukan dalam sejarah pembukaan kembali ekonomi yang lebih luas. Kesepakatan Anglo-American ini membuat sebuah campuran khas dari laissez faire dan intervensionisme yang memadukan sistem perdagangan yang menyokong pekerjaan domestik, namun tetap melibatkan perusahaan swasta. Negara di sini masih berperan besar terhadap penyediaan kesejahteraan sosial. Lewat kesepakatan ini, pertumbuhan bibit neoliberalisme hadir dengan pengaruh ekonomi liberal terhadap praktik regulasi negara dan penyelenggaraan kebijakan. Hal ini saya bahas lebih ekstensif di Andi Bhatara. (2017). “Pusaran Urbanisasi dan Neoliberalisme”. Dalam Urban Resistance 101. Bandung: Terbitan Koperasi Sanggare.

[4] Jones, D. S. Masters of the Universe: Hayek, Friedman, and the Birth of Neoliberal Politics. Princeton: Princeton University Press, 2012.

[5] Pontoh, C. (2010). Dari Kapitalisme Turun ke Krisis. [online] IndoPROGRESS. Terdapat di: https://indoprogress.com/2010/01/dari-kapitalisme-turun-ke-krisis/

[6] Foti, A. (2017). Hlm. 49.

[7] Lih. Aalbers M B, 2009, “Neoliberalism is dead … long live neoliberalism’’, keynote lecture di Annual International Conference RC21, Sociology of Urban and Regional Development, International Sociological Association, 23–25 Agustus, Sao Paulo; Caprotti F, 2010, “From finance to green technology activist states, geopolitical finance and hybrid neoliberalism’’, dalam After the Crisis: Rethinking Finance Ed. T Lagoarde-Segot (NOVA Publishers, Hauppauge, NY).

[8] Foti, A. (2017). Hlm. 57.

[9] Menghadapi instabilitas ekonomi politik nasional, Orde Baru secara bertahap melakukan penyesuaian dan mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapitalisme global (Lih. Ransom, D. (1970). The Berkeley Mafia and The Indonesia Massacre, Ramparts. Vol. 9, No. 4, hlm. 26–8, 40–9). Krisis ekonomi, defisit, dan hyperinflasi sampai 650% per tahun, dan riset yang dilakukan Amerika di tahun 1962 yang merekomendasikan pemerintah meminta pendampingan dari IMF. Pemerintahan Pasca Kemerdekaan menolak dan keluar dari aliansi internasional. Orde Baru membuat sikap yang berbeda dengan membuat kesepakatan Stand-by Arrangement (SBA) yang ditandatangani pada 19 Februari 1968, dan menyetujui agenda Structural Adjustment Program (SAP) di akhir 1970. Pinjaman pun berturut-turut dikucurkan oleh IMF kepada pemerintah Orde Baru di tahun 1988–1997 sebesar U$ 23 miliar, tahun 1998 sebesar U$ 1 miliar, dan pemerintahan Pasca Reformasi tahun 2001 sebesar U$ 5 miliar. Dengan dalih menggerakkan roda ekonomi nasional, SAP diterapkan agar arah strategi kebijakan ekonomi negara sejalan dengan arahan IMF & World Bank dengan resep: privatisasi, pencabutan subsidi, perdagangan bebas, pasar bebas, dan pembatasan negara dalam ranah ekonomi (Karseno, A. (1997). Structural Adjustment in Indonesia Economy. Center for Policies & Implementation Studies. Indonesia).

[10] Standing, G. (2016). Meet the precariat, the new global class fuelling the rise of populism. [online] World Economic Forum. Terdapat di: https://www.weforum.org/agenda/2016/11/precariat-global-class-rise-of-populism/

[11] Polimpung, H. (2018). Agenda Otomasi. [online] IndoPROGRESS. Available at: https://indoprogress.com/2018/03/agenda-otomasi/

[12] Foti, A. (2017). Hlm. 16.

[13] Secara mendasar, perbedaan utama dari ekonomi klasik dan neoklasik adalah asumsinya terhadap nilai yang terdapat dalam suatu produk. Ekonomi klasik berasumsi bahwa faktor yang menentukan nilai produk adalah ongkos produksinya lewat material dan biaya tenaga kerja, sedangkan ekonomi neoklasik mengasumsikan bahwa persepsi konsumen terhadap nilai sebuah produklah yang menjadi faktor penentu harga sekaligus permintaan. Karena konsumen lebih memperhatikan nilai suatu produk dari kegunaan dan ukuran kepuasan pribadinya. Maka dari itu, layanan dan fungsi yang diperlukan suatu produk jadi lebih bernilai, dan bahkan mampu melebihi ongkos produksinya (maksimalisasi profit). Alhasil, perpindahan sirkuit kapital ke sektor jasa dan informasi untuk meningkatkan nilai suatu produk menjadi fokus teori ekonomi neoklasik.

[14] Lih. Sen, A. (2008). “Rational Behaviour”. Dalam The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd Edition.

[15] Weintraub, R. (2007). “Neoclassical Economics”. Dalam The Concise Encyclopedia of Economics. Terdapat di: http://www.econlib.org/library/Enc1/NeoclassicalEconomics.html

[16] Stone, K.V.W. (2005). Flexibilization, Globalization, and Privatization: The Three Challenges to Labor Rights in Our Time. UCLA School of Law, Los Angeles, hlm. 2–6.

[17] Foti, A. (2017). Hlm. 30.

[18] Larsen, S.N. (2014). ‘Compulsory Creativity’, Culture Unbound. Linkoping University Electronic Press. Hlm. 161.

[19] Carver, T. dan Chambers, S. (2008). Judith Butler’s Precarious Politics: Critical Encounters. Routledge, New York, hlm. 92.

[20] ‘Huge survey reveals seven social classes in UK’, [online] BBC News, 13 April 2013, Terdapat di: http://www. bbc.com/news/uk-22007058; ‘Social Class in the 21st Century by Mike Savage review’, [online] The Guardian. Terdapat di: https://www.theguardian.com/books/2015/nov/13/social-class-21st-century-mike- savage-review. Dalam Foti, A. (2017). Hlm. 19.

[21] Foti, A. (2018). Precarious Labor and Autonomous Marxism. [online] The Commons. Terdapat di: https://commonsfilm.com/2018/01/22/book-of-the-day-general-theory-of-the-precariat/

[22] Foti, A. (2017). Hlm. 21.

[23] Terminologi yang dimaksud Marx untuk merujuk pada kelas pekerja upahan terbawah dalam strata sosial dan struktur ekonomi kapitalisme. Mereka adalah kelas proletariat yang dieksploitasi oleh kekuatan kontra-revolusioner dan reaksioner, terutama dalam konteks Revolusi 1848 (People’s Spring). Asosiasi terminologi ini meliputi kriminal, gelandangan, tunawisma, tunakarya dan mereka yang tidak memiliki kesadaran kolektif atau kelas tertindas. Lumpenproletariat juga sering disebut Marx dalam terminologi lain seperti underclass, dangerous classes, ragamuffin, dan ragged-proletariat, dalam Marx, K. (1976). Capital. Penguin Books, England. Hlm. 64, 781–94.

[24] Tenaga kerja yang tidak terlibat secara langsung dalam konversi bahan baku menjadi barang jadi.

[25] Standing, G. (2014). Why Precariat is not a Bogus Concept. [online] openDemocracy. Terdapat di: https://www.opendemocracy.net/en/why-precariat-is-not-bogus-concept/

[26] Creative Class (artists, coders, squatters, engineers, designers, etc. in internships, apprenticeships, or in freelance and/or temporary employment), New Working Class (subcontracted employments as unskilled workers or technicians in warehousing, logistics, industrial manufacturing, food processing, construction, etc.), Service Class (waiters, baristas, busboys, cashiers, cleaners, fast-food workers, or employed as education, welfare, health care, child care, or home care workers in part-time and/or temporary employment), Unemployed Class (NEETs, short-and long-term unemployed, labor force dropouts, welfare recipients on workfare, illegal migrants, and refugees). Lih. Table 4: The Precariat: Its Internal Segmentation dalam Foti, A. (2017). Hlm. 24.

[27] Saya menghindari menggunakan kata pengangguran, sebab terminologi tersebut bias kelas dan mengabaikan relasi re/produksi dalam perspektif Feminis-Marxis. Contohnya, Ibu Rumah Tangga yang tidak terlibat dalam ekonomi formal dianggap tidak bekerja dan dikategorikan sebagai pengangguran. Tunakarya digunakan hanya untuk menggambarkan sebuah kondisi ‘ketiadaan pekerjaan’ dalam suatu rentang waktu tertentu.

[28] Foti, A. (2017). Hlm. 31–4.

[29] Foti, A. (2017). Hlm. 22.

[30] Badan Ekonomi Kreatif Indonesia. (2018). Ekonomi Kreatif Mesin Baru Kemakmuran Ekonomi. [online] Bekraf.go.id. Terdapat di: https://www.bekraf.go.id/berita/page/8/ekonomi-kreatif-mesin-baru-kemakmuran-ekonomi

[31] Badan Ekonomi Kreatif Indonesia. (2018). Sri Mulyani: Ekonomi Kreatif, Solusi Perekonomian Nasional. [online] Bekraf.go.id. Terdapat di: https://www.bekraf.go.id/berita/page/8/sri-mulyani-ekonomi-kreatif-solusi-perekonomian-nasional

--

--