Menjalin Jalan Aman

Mencari Jalan Keluar dari Rentannya Menjadi Ibu Pekerja

Alfina Juhansyah
Sanggaré
7 min readSep 1, 2020

--

Pasca melahirkan, sebagian besar waktu kuhabiskan untuk menyesuaikan diri dengan peran dan tanggung jawab baru terutama dalam merawat anak. Usianya yang kurang dari 2 tahun saat itu, sangat membutuhkan perhatian ekstra dariku. Pada usia ini aku masih harus menyusui anakku, memberikan makanan pendamping asi untuk mencukupi kebutuhan gizinya, toilet training, mengajaknya bermain di ruang yang lebih luas karena kebutuhan geraknya tinggi, serta rajin mengajaknya bicara karena sedang fase belajar berbicara. Anak pada usia ini juga sedang memasuki fase egocentrism, dia sudah memiliki banyak keinginan namun sulit mengkomunikasikannya karena masih dalam tahap belajar bicara.

Di sisi lain banyak faktor yang mendorongku untuk bisa mandiri; mandiri secara finansial, dalam pengambilan keputusan, juga dalam pengambilan sikap atas hal-hal yang ada di dalam maupun di luar diriku. Meski kondisi finansial kami sebagai keluarga dengan satu anak saat itu sudah sangat cukup, juga kebutuhan dasar kami sudah terpenuhi, tetapi aku merasa belum bisa otonom dan mandiri.

Saat pendapatan tidak datang dari diriku, aku merasa tidak punya kuasa mempergunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadiku, seperti membeli skincare, pergi ke salon, beli baju baru, pergi makan di luar, atau membeli peralatan yang menunjang hobiku. Apapun yang aku lakukan harus selalu kukomunikasikan dengan pasangan. Memang orang bilang bahwa itu adalah konsekuensi dalam berumah tangga, tapi bagaimana jika pasanganku meninggal atau bercerai? Memiliki kemandirian finansial kurasa menjadi suatu hal yang penting agar aku bisa menghadapi apa pun yang terjadi nanti.

Perihal mandiri dalam mengambil keputusan, aku berpikir, kenapa perempuan harus mengambil peran utama dalam pengasuhan, padahal keputusan untuk memiliki anak adalah keputusan bersama? Masalah pengasuhan oleh perempuan seolah-olah adalah hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahwa secara turun temurun budaya kita mengharuskan perempuan untuk merawat anaknya, tetapi tidak untuk laki-laki. Mereka diberi pilihan untuk bekerja atau membantu proses pengasuhan. Hanya karena perempuan mampu untuk hamil dan memiliki payudara, maka menjadi kewajiban bagi perempuan untuk menanggung beban mengasuh anak secara keseluruhan. Peran yang diambil perempuan lebih sering diputuskan oleh lingkungan ketimbang oleh dirinya sendiri.

Aku rasa ketiga hal ini (mandiri secara finansial, pengambilan keputusan, dan pengambilan sikap) saling berkaitan. Saat perempuan tidak mandiri secara finansial yang disebabkan karena ketidakmandiriannya dalam mengambil keputusan, perempuan jadi sulit bersikap saat dihadapkan pada kondisi-kondisi ekstrem yang terjadi dalam hidupnya. Misalnya saat mereka memiliki suami yang melakukan kekerasan, mereka akan sulit bersikap. Karena jika mereka memilih keluar dari situasi tersebut, mereka yang tidak memiliki penghasilan, akan melihat anak kelaparan, sakit, dan tidak memiliki tempat tinggal. Semua itu terjadi karena beban merawat anak biasanya ditanggung oleh perempuan.

Foto oleh Rosalina Weinfrau, 2020.

Memutuskan menjadi ibu pekerja bukan hanya sulit di awal, tetapi juga sulit saat menjalankan perannya. Diskriminasi dan tuduhan tidak mempedulikan keluarga sering kali dialamatkan pada ibu yang memilih bekerja. Aku menyadari bahwa sebagai perempuan‒khususnya aku sebagai seorang ibu‒sangat rentan dan justru lebih sulit untuk bisa mencapai kemandirian tersebut.

Sejak hamil perempuan diharuskan fokus pada bayi dan mempersiapkan tubuhnya untuk proses melahirkan. Sesungguhnya, aku merasa ini adalah hal yang menyenangkan, aku mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru, dan setiap prosesnya membuatku sangat bahagia. Aku bisa merawat dan memastikan janin tumbuh dengan sehat dan siap lahir adalah sebuah proses yang paling bermakna.

Namun setelah melahirkan, perempuan memasuki kewajiban berikutnya (yang lagi-lagi karena secara biologis perempuan memiliki payudara) yaitu perempuan harus menyusui. Saat perempuan menolak untuk menyusui, komentar buruk dan penghakiman adalah sesuatu yang niscaya didapatkan. Seorang ibu harus terus menerus memikirkan kebutuhan anaknya hingga lambat laun ia tidak bisa lagi memperhatikan kebutuhan pribadinya. Bahkan saat mereka ingin istirahat dan bayinya terbangun, mereka tetap harus sigap menyusui. Jika sang anak sakit, ibulah yang paling merasa bersalah.

Perempuan harus selalu memikirkan jadwal makan, mandi, dan segala proses perawatan untuk anaknya. Para ibu semakin kesulitan melakukan hobi-hobinya. Semakin hari, mereka pun semakin kehilangan minat pada hal-hal yang mereka sukai. Begitu banyak ibu yang harus melupakan mimpi atau cita-citanya demi memastikan anak tumbuh dengan sehat. Sementara para laki-laki masih bisa dengan leluasa menjalankan hobinya, nongkrong di kedai kopi, bersepeda, hangout bersama kawan-kawannya.

Aku menyadari banyak hal yang hilang dari diriku ketika menjadi ibu. Aku merasa kurang istirahat karena hampir 24 jam waktuku dipergunakan untuk mengurus bayiku dan pekerjaan domestik lainnya. Aku juga merasa kehilangan waktu bermain, kesempatan untuk refleksi, mengembangkan diri, bahkan sebagian dari mimpi-mimpiku mulai pudar dan tergantikan oleh mimpi-mimpi baru untuk membangun kehidupan bersama keluarga kecilku.

Foto oleh Alfina Juhansyah, 2019.

Menjadi ibu bukanlah peran yang sepenuhnya siap aku ambil. Kehamilanku sama sekali tidak direncanakan. Kondisi finansial kami saat itu belum matang, mental kami yang belum siap, dan minimnya sumber daya yang kami punya membuat ketakutanku menghadapi hidup di hari esok menjadi sangat besar. Ada banyak ketakutan yang kurasakan saat itu, termasuk ketakutanku pada tindak kekerasan domestik yang sering kali terjadi dalam relasi rumah tangga. Aku juga merasa kehilangan kuasa atas diriku. Aku merasa tidak enak untuk meminta kebutuhanku dipenuhi karena merasa menggantungkan hidupku pada orang lain. Meski ini hanya tampak sebagai ketakutan dan aku pun sudah banyak mendiskusikan hal ini dengan pasanganku, aku merasa tidak ada jaminan apapun jika suatu hari kejadian buruk menimpaku. Misalnya jika suatu hari pasanganku meninggal atau kami bercerai.

Ketakutan itu semakin nyata ketika seorang temanku sesama perempuan yang juga seorang ibu telah mengalaminya sendiri. Dia ditinggalkan suaminya dengan tidak bertanggung jawab, menghadapi kekerasan domestik fisik dan mental, diselingkuhi, tidak dinafkahi dengan baik, dan kebutuhannya sulit terpenuhi. Dia terpaksa bertahan dan berteman dengan lebam agar anaknya tetap bisa hidup. Aku rasa, hal-hal seperti ini sangat mungkin dialami semua perempuan di seluruh dunia, termasuk aku. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2019 saja, ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah 406.178 kasus.

Pergulatan tersebut akhirnya melahirkan banyak pertanyaan dalam diriku. Salah satu yang menjadi kegelisahanku adalah bagaimana caranya perempuan bisa otonom walau dibebani peran reproduksi biologis dan sosial. Peran reproduksi yang sebagian besar merupakan kerja tidak berbayar, dilakukan dalam kerangka relasi sosial, rumah tangga, atau keluarga. Pekerjaan-pekerjaan seperti mencuci, membeli keperluan rumah tangga, memasak, membersihkan rumah, mengurus anak, hingga melakukan perbaikan rumah, seringkali semuanya dibebankan pada perempuan yang memiliki peran sebagai ibu rumah tangga.

Tidak peduli seberapa banyak kerja yang dilakukan, semua itu tidak dikategorikan sebagai kerja, karena tidak menghasilkan pendapatan.

Berjalan Bersama Sanggaré

Foto oleh Sanggaré, 2020.

Aku mencari jalan keluar dari kerentanan itu agar aku bisa merasa lebih aman. Mengambil keputusan untuk bergabung dengan Sanggaré adalah salah satu momen penting dalam hidupku. Sebelum memiliki anak, aku sempat bergabung dengan organisasi yang menjadi cikal bakal lahirnya Sanggaré. Karena manusia-manusia di dalamnya masih teman lamaku, aku merasa lebih mudah untuk menceritakan kegelisahan serta keinginanku, juga mendiskusikan hal-hal itu. Aku sudah mantap, aku memutuskan untuk bekerja. Aku merasa perlu memiliki otonomi terhadap diriku sendiri, pasanganku pun sangat mendukung apa-apa yang sekiranya membuat aku siap dan percaya diri menghadapi hidup yang kujalani.

Masalah lainnya adalah kami tinggal hanya bertiga. Kami jauh dari orang tua yang bisa membantu menjaga anak kami saat aku bekerja. Kami juga belum memiliki kemampuan ekonomi untuk mempekerjakan orang lain untuk menggantikan beberapa peran pekerjaan domestik. Meski kami bersepakat untuk membagi tanggung jawab domestik bersama, tantangan lainnya adalah menemukan tempat kerja yang bisa menerima kondisi-kondisi yang dialami ibu rumah tangga sepertiku. Tempat kerja yang ramah anak, atau bahkan tempat kerja yang memperbolehkan seorang ibu membawa anaknya sangat sulit dijumpai. Aku menyadari betul adanya diskriminasi terhadap perempuan di pasar tenaga kerja; perempuan berumah tangga, ibu hamil, dan memiliki anak merupakan kelompok paling rentan dalam mengalami diskriminasi itu. Beruntungnya, Sanggaré sangat mau mengakomodasi hal tersebut. Aku tahu betul bahwa Sanggaré sangat mengutamakan perspektif gender dalam kerja-kerjanya.

Tulisan ini dibuat atas bahan refleksiku di hari pertama aku menjalani program internship di Sanggaré. Sebelum aku benar-benar menjadi anggota Sanggaré, ada rangkaian kegiatan yang dipersiapkan kawan-kawan agar aku bisa memiliki pemahaman dan gambaran tentang model ekonomi dan cara kerja koperasi ini. Aku membawa anakku di diskusi pertama ini, untuk membahas konsep koperasi dan mengapa Sanggaré sebagai kolektif memilih untuk menggunakan konsep tersebut dalam sektor pekerja industri kreatif.

Saat itu aku masih menyusui. Aku hampir tidak bisa mengikuti diskusi itu secara keseluruhan. Situasi dalam diskusi tersebut pun membuat anakku gelisah karena tidak terbiasa. Dia sedikit rewel dan sulit beristirahat, sehingga aku harus pindah ke ruangan sebelah. Sayup-sayup aku mendengarkan materi yang dipaparkan oleh Gio dari ruangan sebelah, yang kurang lebihnya membahas tentang model-model ekonomi koperasi dalam materialisme historis Marx.

Diskusi yang tidak sepenuhnya kuikuti ini justru mempertegas tantangan besar yang dihadapi para perempuan yang terlibat dalam kerja formal sekaligus berperan ganda menjadi ibu di waktu bersamaan. Ini membuatku terus berpikir “Bisakah aku?” dan bagaimana caranya bisa menjalani kerja-kerja bersama Sanggaré dengan kondisiku yang seperti ini? Beruntung bagiku Sanggaré tidak hanya melihat nilai-nilai kerja produktif, tetapi juga memperhitungkan kerja-kerja reproduktif dan berusaha mengakomodasi fenomena ini. Aku melihat harapan besar untuk bisa terus mendialogkan kegelisahanku yang mungkin juga dirasakan oleh para perempuan lainnya, khususnya mereka dengan privilese yang minim.

Jawabannya mungkin tidak bisa aku temukan sekarang. Tetapi aku memiliki harapan besar bersama Sanggaré untuk bisa belajar, mencari tahu, dan meramu cara-cara yang tepat atas permasalahan ini. Aku meyakini bukan hanya aku yang merasakan hal-hal semacam ini. Mungkin banyak perempuan yang memilih tidak bekerja bukan karena mereka tidak mau, tapi karena tidak adanya pilihan bagi mereka. Pun jika pilihan itu tersedia, perempuan seringkali hanya ditempatkan sebagai pekerja kontrak kelas kedua, atau pekerja paruh waktu tanpa jaminan kerja yang jelas. Bagaimana kedepannya ini bisa dijalani, menjadi hal yang paling aku tunggu dan mungkin akan kubagi dalam refleksi selanjutnya.

Senin, 31 Agustus 2020
Alfina Juhansyah
Anggota Koperasi Perupa dan Artisan Sanggaré, Ibu Pekerja

--

--