Refleksi: Sanggaré sebagai Koperasi Pekerja

Tulisan oleh Vita Soemarno

Sanggare
Sanggaré
8 min readJan 16, 2020

--

Menindaklanjuti bergabungnya kami — tepatnya aku dan Al — berkooperasi dengan kawan-kawan Sanggaré. Pada tanggal 24/08/19, kami berkumpul dalam bentuk kelompok kecil untuk berbincang mengenai, “konsep koperasi dan mengapa Sanggare sebagai sebuah perkumpulan memilih untuk menggunakan konsep ini sebagai landasan di mana mereka dan kami (nantinya) akan berpijak dalam sektor pekerja industri kreatif/pekerja kebudayaan”, jelas mereka.

Kawan-kawan yang telah sebelumnya bergabung begitu serius memikirkan bagaimana kami (anggota baru) nantinya dapat memiliki pemahaman dan gambaran yang sefrekuensi terhadap model ekonomi koperasi ini. Oleh karena itu, mereka membuat serangkaian acara — yang aku sebut sebagai kelas integrasi — agar kami sebagai pekerja dalam koperasi ini memahami seluk-beluk yang akan kami lakukan di Sanggaré. Tentu, secara personal, ini menarik untukku yang tidak terliterasi dan secara langsung pernah membahas maupun terlibat dalam koperasi — utamanya koperasi pekerja dalam sektor kreatif. Kami tidak dibiarkan mengais-ais teori dan praktik sendiri. Aku pikir, dari pertemuan inilah kemudian paham kooperatif yang mereka maksud mulai dapat tergambarkan — yakni membagi bobot pengetahuan dan pemahaman yang sama-rata (?).

Sanggaré sebagai Koperasi Pekerja

Tentunya, hal pertama yang aku tanyakan ketika pertama kali diajak untuk bergabung dalam perkumpulan ini adalah, “berapa iuran pokok yang harus aku bayarkan pertama kali dan berapa besar biaya yang harus aku berikan setiap bulannya untuk mendukung perkumpulan ini?” Aku pikir, hal ini merupakan common sense, pikiran atau respon pertama yang terlintas ketika membicarakan bentuk — lebih spesifiknya, bentuk teknis — ketika seorang tergabung/ingin bergabung dalam koperasi. Selalu mengenai berapa sumbangan pokok, sumbangan wajib, dsb. Setidaknya, begitu pula yang dilontarkan Gio ketika pertama kali mendengar pendapat kami mengenai apa itu koperasi sebelum memulai perbincangan panjang mengenai konsep koperasi yang digunakan Sanggaré.

Sementara, bayangan pertamaku mengenai apa itu koperasi, untuk lebih jelasnya, hanya sesederhana unit ekonomi yang bentuknya kelompok, yang kerja dan defisit atau surplus hasil kerjanya akan diedarkan atau dibagikan sama rata dengan beban kerja masing-masing. Di mana beban kerja yang kumaksudkan di sini sifatnya dapat substantif dan komplementer. Artinya setiap orang membantu kerja satu sama lain, terlepas dari setiap orang akan memiliki skill yang dominan dalam setiap cabang pekerjaan yang terdapat di dalam unit kerja koperasi tersebut. Selain kerja, aku tidak benar-benar membicarakan persoalan kesamaan ideologis dan tujuan. Sebab kupikir, semua itu, nantinya akan tertuang dalam bentuk kerja. Selebihnya hanyalah modal kepercayaan.

Tentu, ini kurang tepat, berdasarkan latar belakang, aku sedikit jengah membahas ideologi karena bebannya begitu berat, tidak ada yang benar-benar ideal di dunia ini! Hahaha. Tapi pembahasan ini, sebagai kerangka berpikir apalagi bila membahas kerja bersama atau kerjasama menjadi penting. Untuk itu, aku sangat menikmati perbincangan demikian, melihat bagaimana keseriusan tiap orang yang benar-benar ingin mewujudkan koperasi ini dengan sungguh-sungguh mulai dari persoalan ideologis.

Beberapa literatur, berita, dan tulisan reportase yang mereka sebut sebagai ‘Kongres’ (kongkow-tidak-beres-beres) diberikan beserta pantikan yang kemudian diberikan Gio — yang hari itu bertindak sebagai pemateri diskusi perdana ini — sedikit banyak menjelaskan dengan direspon melalui berbagai tanggapan yang juga diberikan oleh kawan-kawan lain untuk menyatukan perbedaan dan persamaan pemikiran, utamanya mengenai definisi koperasi yang dilansir baik dari definisi secara teoritik dan konteks di dalam koperasi Sanggaré, yang baru kuketahui telah terbentuk sejak tahun 2014. Beberapa eksperimentasi telah mereka upayakan beserta dengan kegagalan yang mereka coba terus perbaiki. Kini, “giliran dari kumpulan kegagalan itu diformulasikan secara lebih rapi, berikut dengan sistematika, praxis, dan tentunya niat untuk menjadikan koperasi ini sebagai penyokong kehidupan ekonomi anggotanya”, tutur Bhatara.

Sampai di sini tentunya, aku cukup memahami bagaimana jerih payah berkolektif dan bekerjasama dengan berdasarkan impian ideologis — secara ekstrim anti-kapitalis (?) — yang begitu kuat. Berdasarkan pengalaman pribadi, beberapa kegagalan berkolektif sebetulnya begitu sepele-dan-tidak-sepele di saat yang sama, sangat bergantung pada sudut pandang dalam memahami persoalan interpersonal manusia. Masalah tersebut menurutku adalah drama dan ego personal yang mencuat menjadi drama kelompok dan persoalan finansial. Selain itu, manajemen konflik organisasional yang sebelum kesepakatan — dalam tradisiku di Jogja — umumnya tidak dibahas — pun dibahas — dalam praktiknya, hal tersebut hanya akan menjadi formalitas seperti halnya budaya PNS yang mengikuti pelatihan. Berkolektif hanyalah menjadi alasan untuk terlihat kuat, namun di dalamnya, tiap personalnya akan tutup mata terhadap persoalan dari persona yang lain ataupun persoalan dengan persona lalu menjadi bumerang terhadap kelompok — tercerabut — seringkali terjadi.

Lalu bagaimana jadinya bila kolektif disatukan dengan urusan finansial? Bukankah hal tersebut justru menantang dua persoalan berkolektif yang telah aku sebutkan di atas?

Semua sepakat bahwa kuncinya pada pemahaman dan keterbukaan masing-masing anggota. Terlihat sederhana, namun begitu sulit dalam praktik. Kataku, ini semacam perjalanan masing-masing anggota untuk bisa sadar memahami satu sama lain dan mengingat kembali tujuan dari kumpulan atau koperasi ini. Untuk itu, aku setuju, bentuk kolektif dengan anggota yang sedikit, dengan instrumen yang dibangun sedikit demi sedikit dengan kesabaran — atau dapat kusebut sebagai organik — tanpa lupa mengejawantahkan keorganikan dalam bentuk yang lebih rigid atau materil melalui instrumen dan diskusi-diskusi tiap instrumennya, sembari menikmati proses — sebagai basis, dapat menjadi sebuah laboratorium organisasi yang melibatkan dua elemen ‘panas’ tersebut. Kupikir, hal ini dapat dilihat dari wujud TOR dan serentetan jadwal ‘kelas integrasi’ yang telah dibuat oleh anggota sebelumnya. Pun dalam praktiknya, sejauh ini, aku begitu menikmatinya, tanpa perlu sungkan untuk mengemukakan pendapat dan latar belakang diriku yang berasal dari kota dan pengalaman dari budaya berkolektif yang berbeda.

Selanjutnya, beberapa poin pertanyaan yang telah aku catat sebagai gambaran dari garis besar yang menurutku penting selama acara diskusi berlangsung. Berikut sekiranya beberapa hal yang telah aku catat tersebut:

1. Apa itu Koperasi?

Kurang lebih penjabaran mengenai apa itu koperasi secara harfiah sama dengan apa yang aku pahami dan telah aku jabarkan sebelumnya di atas. Sementara, secara lebih lengkap Gio menjelaskan dari aspek kesejarahan, bagaimana model ekonomi ini secara historis muncul sebagai respon terhadap kondisi perekonomian kapitalis — yang timpang terhadap kondisi para pekerja yang terus menerus dihisap nilai kerjanya tanpa ada jaminan-jaminan atas kerja yang mereka lakukan. Kemudian, model demikian, diklaim oleh para Marxian sebagai bentuk paling ideal untuk menuju masyarakat sosialis. Sebagaimana dasar teoritik yang dipakai dalam mengejawantahkan urusan perkoperasian tentunya berlandaskan pada kelompok materialisme historian ala Marx yang menurut Gio dan kawan-kawan lain telah begitu banyak menjelaskan model ekonomi Koperasi dalam tulisan-tulisanya;

2. Apa perbedaan mendasar antara kolektif dengan koperasi?;

Dua istilah atau terma yang seringkali dipakai untuk melabeli sebuah kelompok. Aku pun tidak pernah memperhatikan dua istilah ini dalam setiap kelompok yang kutemui baik di Jogja maupun Bandung, dan di Indonesia. Yang mana, kuketahui memiliki perbedaan yang sebetulnya begitu signifikan, baik secara definitif, praxis, maupun ideologis. Meskipun, keduanya sama-sama mengunggulkan kelompok dalam membangun baik ruang sosial, ekonomi, kultural, dan tentunya kuasa politis. Namun, lagi-lagi aku belajar untuk lebih jeli memahami perbedaan penyebutan dan implikasinya terhadap praktik berkelompok. Untuk itu, diskusi mengenai perbedaan antara kolektif dan koperasi ini menjadi menarik dan penting untukku secara pribadi untuk lebih memperhatikan guna dari kedua istilah yang dimunculkan tentunya karena ada perbedaan.

Sementara, Sanggaré yang menggunakan nama koperasi dari dasar ko-operasi, dengan jelas mendefinisikan kerja ini tidak hanya sekedar berkelompok, namun bekerjasama dalam membangun baik secara ideologis, bentuk praktik, dan implementasi sebaran dari ruang-ruang yang yang telah kusebutkan sebelumnya ke tiap anggotanya. Fungsi substantif dan komplementer inilah yang kemudian menjadi pokok yang perlu diperhatikan, sebab komplementer dan substantif pada akhirnya menjadi satu hal pokok. Sederhananya, tidak ada yang bekerja sendiri dan menyokong dirinya sendiri. Semua saling menyokong satu sama lain. Berbeda dengan kolektif yang mereka intepretasikan hanya berupa kumpulan orang yang berkelompok, namun dalam praktiknya menyokong proyek dan nama masing-masing. Sehingga, apa yang aku sebut sebelumnya kolektif sebagai kendaraan individu — bias dengan budaya dalam lingkungan kapitalis — kemudian menjadi cermin bagi kelompok-kelompok yang kerap kali aku temui.

3. Apakah Koperasi semata-mata kapitalistik? Sementara koperasi itu sendiri bermain dengan kapital?;

Pertanyaan menyinggung moral ini tentunya sangat mudah dijelaskan berdasarkan realita bahwa kita hidup di dalam lingkungan kapitalistik. Istilah ini begitu mengganggu dan membosankan bagiku. Sementara, kita menyadari urgensi bahwa kebutuhan membentuk sebuah kooperasi adalah untuk mengamankan satu sama lain tanpa lupa untuk memikirkan satu sama lain. Ini sangat romantik, betul demikian, seperti istilah ‘us against the world. Kendati demikian, yang bermasalah dalam lingkungan kapitalistik adalah bagaimana tiap persona kemudian tidak mendapatkan hasil dan jaminan yang setimpal dengan beban kerja dan penghitungan kerja-kerja tidak terlihat yang ia lakukan, tidak ikut terhitung sebagai beban. Oleh karenanya, kesadaran akan kerja dalam sebuah kelompok ini menjadi penting untuk bisa diperhitungkan dalam bentuk materil.

4. Mengapa Sanggaré menggunakan konsep bentuk koperasi sebagai landasan model ekonomi kelompok ini?;

Lebih detil,

5. Apa yang dimaksud sebagai Koperasi Pekerja? Dan apa pentingnya kooperasi bagi pekerja dalam sektor kesenian, atau lebih luas lagi sektor kreatif?;

Seperti halnya yang telah kusinggung sebelumnya, koperasi pekerja pada intinya sama dengan bentuk koperasi lain yang bekerja secara kooperatif atau kerjasama di antara anggotanya. Namun, hal utama yang perlu diperhatikan dalam berlangsungnya koperasi ini adalah kesadaran atas ‘kerja’ dan ‘sebagai pekerja’ dalam ranah seni rupa (kerja kebudayaan). Kesadaran inilah yang kemudian dihargai ‘nilainya’ dengan penghitungan sesuai dengan kesepakatan terhadap surplus dari barang yang berhasil dikerjakan.

Sementara itu, posisi koperasi dalam ranah kesenian, atau lebih luas dalam sektor kreatif adalah satu ranah baru yang kupikir kini menjadi begitu hangat diperbincangkan. Kawan-kawan yang menggeluti ranah ini menyadari, meski ini bukanlah ranah baru — namun baru di antara dunia profesi lain yang lebih dulu diakui profesionalitasnya — namun posisinya di Indonesia menurut mereka masih begitu rentan. Kerentanan ini diinteprestasikan berdasarkan kerja yang dilakukan, hasil, dan penghitungan hasil — karena belum populer dan masih tercerabut dengan stigma tidak menghasilkan — seringkali diremehkan. Kebanyakan dari kerja mereka hanya berdasarkan hasil dari jasa yang tidak diperhitungkan kerumitan pengerjaannya. kawan-kawan sendiri menggolongkan kerumitan proses pengerjaan dalam dunia kreatif ini sebagai ‘kerja tidak terlihat’ yang tidak dihargai karena masyarakat masih awam dan wacana mengenai dunia kreatif yang juga masih begitu abu-abu. Aku sendiri, sebagai pengamat dan kebetulan besar di Jogja, kurang lebih memahami kerja-kerja di balik layar yang tak berupah tersebut. Kepindahanku di Bandung, kurang lebih membuatku paham dua kutub kesenian di Indonesia ini memiliki kesulitan yang sama. Jadi ide mengenai kooperasi antar pekerja seni ini menjadi salah satu ide yang menarik dan tentunya penting.

6. Apa yang membedakan model koperasi pekerja dengan model koperasi lain, utamanya seperti apa yang telah aku ceritakan sebelumnya, mengenai teknis koperasi umum yang aku ketahui?;

Bukan soal SHU atau Simpanan, karena jelas hal tersebut masuk kedalam teknis dari bentuk koperasi bernama simpan pinjam, tutur kawan-kawan. Di Sanggaré, mereka memiliki argumen bahwa sirkulasi dan beban kerjalah yang dihitung sebagai sebuah kontribusi, simpanan, atau investasi. Sehingga penghitungan dengan berdasarkan kerjalah yang kemudian dibuat instrumennya. Bagiku, Ini akan menjadi kompleks sekaligus eksperimentasi yang menarik. Sebab, kebanyakan beban-beban kerja kolektif di Jogja yang aku temui seringkali tidak dianggap atau dihargai. Karena prinsipnya semua adalah beban kelompok, namun tidak pernah menganggap adanya satu individu yang bekerja begitu keras atas nama kelompok tersebut. Selain itu, individu yang bekerja begitu keras tersebut seringkali mendapatkan surplus yang lebih banyak dan hal ini seringkali tidak dikritisi sebagai sebuah ketimpangan, karena pada dasarnya adil-normal-lumrah saja ketika kerja salah satu individu ini yang paling banyak.

Sementara di dalam diskusi di Sanggaré mengenai hal ini, sempat dibahas sebagai sesuatu yang perlu di-highlight, agar setiap anggota dalam pekerja koperasi, selain menyokong satu sama lain juga mendapatkan kesamaan surplus baik secara materil maupun non-materil. Pun “hal ini akan selalu diperbincangkan bila menuai problem dalam implementasinya di kemudian hari”, tegas Bhatara, menambahkan.

7. Bagaimana mekanisme bekerjanya koperasi Sanggaré setelah memahami beberapa pertanyaan di atas?;

Produksi-distribusi- konsumsi. Tiga proses tersebut yang melakukan adalah ‘pekerja’ dan yang terpenting adalah Equal Surplus distribution. Aku pikir, dari penjelasan dan pemahamanku memahami model koperasi di atas, aku hanya perlu memperhatikan bagaimana mekanisme perhitungan kerja dan surplus untuk tiap anggota. Sesederhana itu.

Akhiran

Saat ini, sedikit banyak kupikir aku telah cukup banyak memahami latar belakang baik secara motivasi ideologis, gerakan, dan kesadaran kelas pekerja yang dimaksud serta bagaimana kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai koperasi bernama Sanggaré ini kemudian akan berjalan. Sementara menghabiskan jadwal kelas integrasi, aku akan sangat tertarik untuk mengeksplorasi hal lain yang aku bisa kontribusikan sebagai salah seorang yang dianggap perupa dalam kelompok kooperatif ini.

Vita Soemarno, adalah seorang peneliti di Agrarian Resource Center dan perupa di Koperasi Perupa & Artisanal Sanggare.

--

--