Inilah Artikel Pertama Good News from Indonesia

Akhyari Hananto
Sarapan Indonesia
Published in
8 min readApr 26, 2016

Mungkin banyak yang lebih mengenal GNFI dibandingkan Good News From Indonesia. Wajar saja, GNFI memang “dibesarkan” (bukan berarti kini besar) lewat Twitter dan baru kemudian orang mulai mengenal dan menyadari bahwa GNFI adalah singkatan dari Good News From Indonesia. Dulunya, GNFI adalah sebuah blog sederhana berplatform Blogspot pada akhir 2008 yang kemudian pelan pelan berubah nama menjadi The Good News of Indonesia.

Nama The Good News of Indonesia rasanya kurang pas, karena kalimat itu mencerminkan bahwa ada banyak The Bad News of Indonesia-nya. Akhirnya nama ini berubah menjadi Good News From Indonesia, yang bertahan sampai sekarang.

Di bawah ini adalah sebuah tulisan serius pertama yang ditulis di blog, dan pernah dishare luas melalui mailinglist yang populer masa itu, termasuk di salah satu forum online ternama di Indonesia. Tulisan ini bercerita tentang pengalaman penulis (saya) saat bertugas di sebuah negeri yang ‘jauh’, berada di tengah pasifik yang (maaf) cukup tertinggal di berbagai bidang. Solomon Islands. Dari Solomon Islands inilah terlecut ide bahwa ..someone has to do something..something has to be done, untuk membangun kesadaran..bahwa Indonesia memang bukan negara yang sempurna, tapi ini adalah negeri yang luar biasa.

Selamat membaca..

— — -

Antara Solomon Islands dan Kebanggaan Menjadi Indonesia

Sebagian orang cukup menulis Solomon saja, tapi itu tidak cukup, karena Solomon bisa berarti nabi Sulaiman. Pastikan anda menulis SOLOMON ISLANDS, sebuah negeri cantik nun jauh di tengah-tengah keteduhan samudera pasifik, tempat yang (mungkin) menjadi inspirasi film-film tahun 50–60an. Film film Elvis dan James Bond lama sangat “memuja” keindahan pulau pulau kecil di samudra pasifik, dengan gambaran gadis gadis berpakaian dedaunan, petikan gitar khas pantai, pantai berpasir putih nan landai, dan pemandangan bawah air yang menakjubkan. Gambaran itu mendekati benar di Solomon Islands, kecuali gadis-gadisnya yang tidak lagi berpakaian dedaunan.

Pada bulan Maret 2007, saya ditugasjan untuk secepatnya terbang ke Honiara, ibukota Solomon Islands dan diteruskan ke Gizo, salah satu diving site yang populer di sana. Berlibur? Tentu tidak. Saya ditugaskan untuk bekerja bersama sama Global Medic Canada untuk setting joint-operation dengan United Nations yang sudah lebih dulu sampai. Lima hari sebelumnya Solomon Islands bagian barat dilanda tsunami kelas kecil yang menghancurkan beberapa daerah pesisir di Solomon Barat (termasuk kota Gizo), dan menewaskan puluhan penduduk.

Dengan persiapan serba mendadak, dollar yang (alhamdulillah) cukup, saya terbang dari Jogja — Jakarta — Singapore — Brisbane, dan ke Honiara hari berikutnya.

Tunggu!

Saya mendapatkan oleh-oleh berharga dari seorang petugas di Bandara Int’l Brisbane, untuk disampaikan pada anda semua. Disampaikannya dalam bahasa Inggris, “Saya mencintai Indonesia, mungkin lebih dari sebagian orang Indonesia sendiri mencintai bangsanya. Sampaikan kepada media massa di Indonesia, untuk BERHENTI memberitakan “hanya” yang buruk buruk tentang bangsanya dan mengesampingkan jutaan berita bagus yang layak disampaikan.”

Saya penasaran bagaimana bisa dia mendapatkan channel-channel gosip dan sensasional? Ternyata dia memang sering ke Indonesia, dan menonton berita-berita di TV yang banyak menyiarkan perselisihan, pertengkaran, kriminal, dan hal-hal lain. Ternyata orang luar pun juga tak kuasa bertahan lama dengan berita berita seperti itu. (Dan kita menontonnya tiap hari….)

Honiara adalah sebuah kota yang tidak terlalu istimewa. Mungkin hampir mirip dengan Timika (tanpa Kuala Kencana) sebagai contoh. Kota ini “dibangun” atas bantuan penuh dari Amerika dan Australia setelah Perang Dunia II, tentu saja setelah pulau Guadalcanal, dihancurleburkan secara bergantian oleh tentara Jepang dan Sekutu. Jalan utama di Honiara adalah jalan sempit seukuran jalan Ciledug (tanpa macetnya), dan melewati jembatan menyempit yang terbuat dari kayu. Satu hal yang menggelisahkan saya adalah ketika saya melihat banyak orang-orang berlalu lalang dengan berjalan kaki dan tidak memakai sandal.

Jangan berpikir bahwa mereka adalah orang orang yang (maaf) primitif. Tidak Mereka berpakaian layaknya kita, mereka menonton TV seperti kita, mereka pun tahu banyak hal tentang apa yang terjadi di dunia. Dan yang paling mengejutkan adalah, bahwa “kebanyakan” dari mereka berbicara bahasa Inggris lebih jago dari rata rata orang Indonesia. Mirip dengan bahasa Inggrisnya orang Australia.

Saya gelisah karena seolah olah mereka hidup dengan visi yang terbatas, cita cita yang tidak bisa digantungkan di langit, masa depan mereka seolah olah sudah bisa dilihat dan dipastikan. Karena, Solomon Islands bukanlah negara dengan ekonomi yang sangat menggembirakan. Artinya, banyak dari para terpelajar di sana akan berakhir dengan menjadi seseorang yang mungkin tak sesuai dengan cita-cita mereka.

Itu menurut saya, sebelum saya bertemu Jessie, seorang pemuda 20-an tahun, warga lokal. Dia bilang bahwa memang, Solomon Islands adalah negeri yang terpencil, jauh dari mana-mana, semua harga mahal, lapangan pekerjaan sedikit. Tapi menurutnya, kebanyakan orang Solomon Islands menerima hal itu dengan hati lega, dan optimis bahwa bangsanya akan mencapai kemajuan dalam waktu dekat. “My country is the best tourist destination in South Pacific,” katanya bangga. Kebanggaan, kepercayaan diri, dan optimisme yang,..mungkin menjadi barang mahal di Indonesia.

Di lain hari saya bertemu Michael, dan tidak disangka dia terkejut sekali mengetahui saya dari Indonesia. Bukan apa apa, Indonesia di matanya adalah negeri yang menghasilkan makanan-makanan yang sering dia makan sehari-hari.n. “What is BUAH-BUAHAN?” tanyanya. Mengherankan kita mengexport barang barang tapi ‘lupa’ mengalih-bahasakan packaging-nya. Michael tidak sendirian, di mata teman-temannya, Indonesia adalah negeri yang dahulu banyak diceritakan oleh guru guru mereka waktu sekolah dasar, tentang keindahannya, tentang kemegahan sejarahnya, tentang pluralitasnya, dan tentang keramahtamahan penduduknya. “Sebelum Tuhan memanggil saya, saya harus sempat berkunjung ke Indonesia. Semoga Dia mengijinkan saya,” lanjut Michael.

Terharu…

Dari Honiara saya terbang ke Munda, sebuah daerah pedesaan kecil yang terpencil, namun lagi lagi orang-orangnya SANGAT jago bahasa Inggris yang membuat saya minder. Saya terbang dengan pesawat kecil berpenumpang 6 orang. Percayalah, saya merasa lebih enjoy dan feel safe dengan pesawat sekecil itu. Dari ketinggian yang “enjoy” tersebut, saya bisa melihat pulau pulau kecul yang bertebaran di bawah, dengan pantai pasir putih, dan laut berwarna biru dan hijau yang dangkal. Sungguh indah, seolah olah seperti kalung mutiara yang terlepas dan masing masing butirnya mengeluarkan pesonanya. dari sela-sela pulau pulau kecil itu, saya bisa melihat anak anak dan orangtuanya “berjalan-jalan” dengan perahu kecil di air yang tenang, jernih, dan dangkal itu. Saya baru sadar bahwa pulau pulau kecil itu dihuni, bisa aku lihat dari beberapa rumah beratapkan seng di masing masing pulau itu. “I am sure yours are beautiful too, mate”.

Saya terperanjat.

Seorang Australia di sebelah saya tiba tiba berteriak persis di telingaku. Suara mesin pesawat memang sangat bising, sehingga berteriak adalah “satu satunya” cara untuk saling berkomunikasi. Namanya Bruce, orang Cairns, Australia. Dia beberapa kali ke Jakarta dan Bali, namun belum sempat melihat hamparan laut bertahtakan 17,000-an pulau pulau nusantara. Saya hanya mengangguk dan tersenyum. (Mungkin) sekitar 10–12 juta orang Indonesia bepergian ke luar negeri untuk “menikmati” keindahan Singapore, Phuket, Paris, Roma, atau Australia, bayangkan berapa uang yang mereka “hibahkan” ke negara negara itu, dan bayangkan andai saja mereka juga plezier ke Wamena, Sabang, Mentawai, Ternate, Sumbawa, Anambas, Pulau Seribu, atau ….. Ah…

Gizo adalah persinggahan saya terakhir. Gizo adalah “kota” terbesar di wilayah barat Solomon Islands. Bagi para divers, Gizo terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya yang masih terjaga sampai sekarang. Bahkan di masa ‘berkabung’ pasca dilanda tsunami pun, banyak turis asing yang berlibur ke sini.

Gizo lebih mirip sebuah desa kecil dan terpencing di Indoensia, dengan hanya memiliki jalan beraspal kurang dari 3 kilo meter, yang dihuni oleh sekitar 700-an orang yang tinggal di tepi pantai. Gizo adalah pulau yang cukup besar dan dikelilingi pulau pulau kecil yang indah, dan dipisahkan oleh laut dangkal yang penuh dengan lumba lumba dan ikan ikan kecil berwarna ungu dan biru. Saya sempat merasakan “dikejar” lumba-lumba ketika mengunjungi salah satu pulau terpencil dengan kapal boat yang berisi hanya 4 orang. Luar biasanya, sang skipper (sopir boat), orang Aussie justru dengan lincahnya mengajak 3 lumba-lumba tadi bermain main. Gizo juga memiliki sebuah pulau kecil yang berfungsi khusus sebagai….airport.

Di keterpencilan Gizo, ternyata saya mendapatkan koneksi internet yang kecepatannya lumayan. Solomon Telekom, adalah anak perusahaan dari AT&T Wireless Australia, dan baru beberapa tahun ini penetrasinya mulai merangsek jauh ke pedalaman Solomon Islands. Saya sempat di wawancarai oleh wartawan Associated Press, dan menanyakan sebuah pertanyaan menggoda ” What is exactly your objective in Solomon Islands”. Maksudnya jelas, Solomon Islands adalah negara berpenduduk kristen yang kuat, dan organisasiku (dan tentu saja aku) adalah muslim. Pikirku, inilah kesempatanku menjelaskan kepada pihak “barat” bagaimana sebenarnya Islam. It’s time to show them the beauty of my religion, pikir saya.

Akhirnya, berita itu dimuat, dan dilansir oleh ribuan situs dan koran di seluruh dunia, dengan judul yang hebat “MUSLIM AID SHOWS ISLAM’S TRUE FACE”. Bangga juga. Sayang sekali namaku salah ketik menjadi Akyari Hanonto, sebagian lagi akyari hanoto.

Saya tidak lama di Gizo, hanya 3 hari, sebelum akhirnya balik kembali dengan pesawat kecil berpenumpang 6 orang ke ibukota Honiara. Itulah kali terakhir saya melihat (lagi) pulau pulau kecil dan indah dari udara, dan mungkin, sangat mungkin, saya tidak (akan) mempunyai kesempatan mengunjungi Solomon Islands. Temanku dari Indonesia tidur, saya memang mengantuk sekali, tapi sebisa mungkin saya mencoba tetap terjaga. Cuaca cerah sekali, dan dari ketinggian itu, (yang tidak terlalu tinggi), saya bisa melihat rombongan kapal cargo (kecil) berbendera Indonesia.

Di Honiara, saya sempat bertemu dengan konjen Indonesia untuk Solomon Islands, saya lupa namanya, juga beberapa orang atase pertahanan, dan (beberapa) orang Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di Honiara. Ternyata acaranya adalah pengukuhan sang konjen tersebut, yang tentu saja sangat formal. Saya memberanikan diri mendekat untuk sekedar sombong-ria bahwa “saya orang Indonesia, just like you”. Ternyata mereka menyambut saya dengan baik, ramah, dan penuh persahabatan, meskipun waktu itu saya mengenakan celana selutut, dan kaos oblong, dan …badan yang belum mandi.

Selama ini, Solomon Islands sangat bergantung pada Australia dan Selandia baru dalam banyak hal, ekonomi, politik, keamanan (tentara dan polisi di Solomon Islands dipegang oleh RAMSI, gabungan tentara dan polisi Australia dan New Zealand), dan juga diplomasinya. Hal itu membuat (sebagian) orang Solomon Islands cukup berang karena Aussie dan NZ (terutama Aussie) cukup menekan dan mencampuri urusan “dapur” Solomon Islands. Maka, sekali lagi saya berbangga ketika headliness koran pagi (tepat sebelum saya berangkat menuju Brisbane) berjudul ” WHY NOT INDONESIA?”. Sebuah oleh oleh yang bagus..

Pesawat saya Solomon Airlines take-off jam 2 tepat. Samar samar saya masih melihat kapal berbendera indonesia di bawah sana….

Ikuti kami di :

Originally published at www.goodnewsfromindonesia.org on April 26, 2016.

--

--