Golongan Putih

Demokrasi di masa Transisi

Luthfi Muhamad Iqbal
SayaGolput
6 min readApr 2, 2019

--

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

Halo, Berhubung kami (Tania dan saya) sudah jengah dengan penghakiman warganet dan sejumlah tokoh ternama di berbagai media termasuk iklan iklan propaganda pemilu terhadap sikap golongan putih (golput), maka saya akan mencurahkan unek unek saya pada tulisan ini. Mari kita mulai dari sini:

Kalau mau mengubah, masuk dong ke dalam sistem, ubah dari dalam!

Kalau yang dibilang “di dalam sistem” itu ialah harus dengan menjadi Pemerintah, Presiden, Anggota DPR, KPU, Bawaslu, dan lain sebagainya… ITULAH MASALAHNYA!

Ketika demokrasi yang berarti demos dan kratos, tetapi “demos” nya tidak dianggap sebagai bagian dari “sistem”, kan lucu. Apa artinya “rakyat” dianggap hanya sebagai “lingkungan” dari sebuah “sistem” yang terdiri atas pemerintah, pelaksana pemilu, pembuat aturan, aturan, proses, prosedur, tatacara dan lain sebagainya? Apakah peran rakyat dalam demokrasi itu “hanya” coblos, celup kelingking saja setiap lima tahun sekali? Ya kenyataannya sih seperti ini ya?

Demokrasi itu bukan sekedar event elektoral saja. Demokrasi bukan hanya Pemilu. Betul Pemilu merupakan salah satu praktik berdemokrasi, tetapi tidak hanya itu. Tidak berpartisipasinya rakyat dalam pemilu, tidak menandakan demokrasi berjalan mundur, PEMAKSAAN ORANG-ORANG UNTUK MEMILIH - LAH YANG JUSTRU MENJADI PERTANDA YANG SANGAT JELAS DARI KEMUNDURAN DEMOKRASI!

Propaganda massif, intimidasi, perisakan terhadap orang-orang yang memilih untuk “ABC”:

  • Abstain
  • Boikot
  • Coblos Semuanya

Dengan julukan-julukan yang memalukan seperti: “pecundang/pengecut, tidak bertanggungjawab, menghambur-hamburkan uang negara, tidak pantas jadi WNI, tidak waras, gila, dapat dipidana, apatis, egois, tidak kritis, dan sebagainya, semakin mengindikasikan ADANYA KECENDERUNGAN PENGEKANGAN/PEMAKSAAN KEHENDAK PRIBADI untuk melaksanakan “hak” nya memilih dalam Pemilu.

Memilih untuk tidak memilih dalam pemilu merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang dasar 1945 pada Pasal 28E ayat 2:

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Jadi barangsiapa memaksa pihak yang GOLPUT untuk MEMILIH atau melarangnya menyuarakan/menyatakan SIKAPNYA (yang sering disebut dengan kampanye golput), maka baru saja orang tersebut melanggar hak asasi manusia milik orang yang Golput. Tidak perlu dibahas disini siapa “pelanggar HAM” yang dimaksud, karena banyak kalau disebut satu satu disini.

Lalu orang Golput mau ngapain setelah Pemilu? Apa kontribusinya untuk masyarakat, bangsa, dan negara?

Banyak!

Siapapun Presiden yang terpilih, golput ya tetap jadi rakyat, tetap wajib bayar pajak dan lapor SPT meskipun potongannya nihil karena golongan PTKP (penghasilan tidak kena pajak). Siapapun anggota DPR yang terpilih di Dapil dimana kita berada, yang golput ya tetap jadi bagian dari konstituennya. Presiden dan anggota DPR, DPD, DPRD, diikat oleh aturan perundang-undangan yang menekankan untuk mempertimbangkan aspirasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, memperjuangkan aspirasi konstituennya. Maka pengabaian pihak GOLPUT dalam pelaksanaan demokrasi pasca pemilu justru menjadi tindakan politik yang DISKRIMINATIF dan MELANGGAR amanat undang-undang dasar!

Apa kalau GOLPUT tidak boleh PROTES? Kenapa? Karena gak milih? Lalu kalo milih dan pilihannya menang, lantas ga boleh PROTES juga? Yang boleh PROTES kalau yang menang yang bukan pilihannya? Gitu? Aturan dari mana, Hey?

Kita, (rakyat) ada di dalam sistem. Mau mengubah, ubah dari dalam? Ya kita sudah ada di dalam sistem! Relasi dipilih dan memilih itu bagian dari Sistem Politik Pemilu. Lalu apa tindakan yang BISA dilakukan? Memilih dan dipilih. Memilih untuk tidak memilih adalah bagian dari TINDAKAN yang boleh boleh saja dilakukan sebagai PEMILIH, dan pasti kita mengharapkan sebuah hasil yang berbeda dari tindakan yang diambil tersebut, ya kan?

Sebagian mungkin mendambakan sebuah utopia politik, multipartai luas dan bebas, kesamaan akses dan kesempatan pada kuasa, pluralitas dalam pengambilan keputusan, sebuah pembongkaran total sistem politik yang sudah terlanjur kompleks bobroknya, salah satu jalannya melalui DELEGITIMASI PEMILU.

Lantas apakah akan terwujud melalui golput massal? Tidak tahu, karena secara sejarah tidak pernah terjadi di Indonesia, meski banyak contoh diluar sana bahwa kekosongan kekuasaan justru jadi titik nadir demokrasi, jalan masuk pengambil alihan kuasa atas pemerintahan oleh militer dengan alasan STABILISASI.

Yang diketahui (dari yang sudah sudah), ketika tidak golput (memilih) ya biasanya sih tidak akan ada perubahan. Kecuali MUNGKIN di beberapa dapil yang BERUNTUNG memiliki caleg dengan platform yang bermutu, mudah dijangkau, terbuka, (sehingga masih ada alternatif pilihan lain selain golput)

Sebagian lainnya mungkin hanya ingin menunjukan bahwa demokrasi kita tidak sedang baik baik saja. Dengan pengesahan aturan yang bermasalah, tidak sesuai kehendak rakyat (namun tetap disahkan anehnya, dan sudah digugat juga ke MK) semestinya parapihak tidak perlu KAGET ketika share GOLPUT pada pemilu serentak kali ini.

Tapi hati-hati dengan yang berniat untuk golput, baiknya kawan-kawan tetap datang dan coblos semuanya apabila hendak golput, mengingat rekam kependudukan nasional kita bermasalah karena persoalan korupsi, tercecer, identitas ganda dan lain sebagainya, membuat kertas suara tidak sah karena dicoblos semuanya lebih aman dibandingkan abstain/memasukan kertas suara tanpa dicoblos atau tidak hadir ke TPS. Better safe than sorry.

Pandangan saya, yang tentu tidak sempurna, tidak lebih baik dari Pasangan Calon Capres/Cawapres atau orang orang yang namanya terdaftar di surat suara, golput ialah bagian dari ekspresi demokrasi yang harus dihormati dan dihargai sama tinggi dengan pilihan politik lainnya, terlepas apapun pilihannya.

Ketika perolehan suara tahun ini menurun dan golput meningkat, SIAPA TAU itu artinya program pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, penyediaan pekerjaan yang layak, yang dicanangkan oleh beberapa periode pemerintahan sebelum-sebelumnya hingga saat ini, BERHASIL menciptakan masyarakat yang LEBIH KRITIS terhadap kekuasaan dan pemerintahan.

Golput, dalam pemikiran saya pribadi, mungkin sudah menjadi jalur transisi yang harus dilalui dari Demokrasi Seremonial menuju Demokrasi Substansial. Jaring Asmara (Penjaringan Aspirasi Masyarakat) melalui Masa Reses mungkin bagian dari seremoni demokrasi belaka juga. Ke dapil, buat acara, bikin program, kasih bantuan, bikin laporan, kumpulin ke setwan, bahas di sidang, gitu terus.

Dengan era Mahadata (Big Data), dimana aliran informasi yang beragam, besar, dan cepat (variety, volume, velocity) dapat dikumpulkan, diolah, dan digunakan menjadi sistem pendukung pengambilan keputusan (decision support systems) aspirasi dari konstituen itu bisa secara real time diterima dan diolah menjadi informasi yang mendasari kebijakan yang diambil.

Sebaliknya, masyarakat juga bisa melakukan pengawasan dan pengimbangan, check and balance secara langsung, tanpa harus melalui media yang sebagian sudah berpartai politik juga, untuk melihat apakah keputusan yang diambil oleh anggota legislatif betul mewakili kepentingan daerah pemilihannya atau tidak. Bolos atau tidak. Berkinerja (perform) atau tidak. Yang pada ambang (threshold) tertentu melalui mekanisme tertentu, konstituen — dan bukan partai politik (meskipun bisa saja partai, tetapi mestinya tetap memerlukan persetujuan konstituen di daerah pemilihannya), dapat melakukan recall and replace, pemanggilan dan penggantian anggota wakil dari Daerah Pemilihannya, sehingga wakil tidak hanya bekerja untuk partai tetapi benar benar mewakili daerah pemilihan beserta rakyat yang diwakilinya.

Dengan demikian kualitas kebijakan, peraturan dan keputusan yang dihasilkan SEMESTINYA menjadi menjadi lebih baik, DAN yang paling penting, Demokrasi kita tidak hanya sebatas SEREMONIAL belaka (yang dibuat terlena oleh “pesta demokrasi”, yang perannya dianggap sudah selesai setelah jari tercelup, hasil quick count keluar; disebut mengganggu jalannya pembangunan apabila menyuarakan sikap dan pendapat di jalanan); melainkan, menjadi lebih SUBSTANSIAL…

Demokrasi yang beneran.

Demokrasi yang jadi rakyat itu bisa “mengubah dari dalem” juga, karena rakyat diakui sebagai bagian dari sistem politik yang ada, aspirasinya didengar, diperjuangkan, diusahakan oleh yang mewakilinya. Tidak hanya “alat” legitimasi politik dalam pemilu doang, biar negaranya “keliatan” demokratis.

Meski gak ditanya (biarin aja gapapa), sementara ini saya masih belum menentukan pilihan, tetapi saya percaya, golput juga jadi salah satu opsi yang sama baiknya dengan pilihan apapun lainnya. Toh siapapun yang menang harus didukung.

Mendukung bukan berarti tidak boleh mengkritik lho!

Pengecut, bukanlah mereka yang Golput, tetapi yang mendiamkan keadaan, menormalkan anomali, pura-pura tidak tahu bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja, hanya supaya menjadi salah satu bagian dari yang banyak. Mereka yang mencemooh yang sedikit, sambil berlindung dibawah kelompok yang kuat, baik kuat karena kuasa, maupun kuat karena massa.

Itulah.

Salam,

Luthfi & Tania*

*yang sudah terlelap, tapi gagasannya tetap membersamai (halah)

P.S. foto cover diambil dari pexels. Kenapa kucing ya biar putih, terus kaya kenapa salah gitu.

--

--