Foto: Pexels

Pengalaman Saya Valid, Begitu Pun Pilihan Saya untuk Golput

Jurus perundungan mereka tidak jauh dari menebarkan ketakutan akan Orde Baru. Di tengah polite society ini, mereka mengaku masih berlawan. Bersikap seolah berkontribusi besar untuk gerakan.

Saya Golput
Published in
3 min readApr 18, 2019

--

Serangan yang saya rasakan sebagai Golput tidak datang dari perundungan di media sosial. Dia dilempar oleh kalangan terdekat. Sesama aktivis, dengan tudingan membiarkan Fasis melenggang ke pemerintahan. Sebagai aktivis, jurus mereka tentu tidak jauh dari menebarkan ketakutan akan Orba. Menuduh kami sebagai pengkhianat reformasi. Begini katanya: “Kamu ga ngalamin si gimana situasinya waktu Orba dulu. Bagaimana menakutkannya, dan bagaimana perjuangan kami sampai terjadi reformasi.”

Sebagai anak Sekolah Dasar ketika reformasi bergulir, memang saya masih jauh dari perjuangan reformasi. Namun saya memiliki pengalaman saya sendiri. Pembelajaran yang membuat saya paham arti perjuangan.

Berinteraksi, menyaksikan, dan terlibat dengan berbagai gerakan hari ini. Tambang, Sawit, Reklamasi, dan berbagai pembangunan yang tak pernah ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Selalu mengatasnamakan rakyat, namun merampas rumah, pertanian, ruang pesisir, hutan yang menjadi sumber kehidupan orang banyak.

Pembangunan yang menggunakan kekerasan, dan intimidasi. Rakyat dipukul, dilempar, ditangkap, dipenjara.

Pengalaman saya di masa ini juga seputar obrolan panjang ketika menginap dengan Ibu-ibu di Rembang dan Pati. Menyaksikan mereka yang aksi dengan kaki disemen, namun tidak pernah didengarkan apalagi dipenuhi tuntutannya. Berbicara dengan aktivis Tumpang Pitu yang dikriminalisasi, hingga aktivis yang ditangkap hanya karena menyanyikan gubahan lagu ABRI.

Jadi ingat seorang kawan pernah berkata:

“Kenapa kalau orang ditangkap pada masa otoriter, itu dianggap sebagai kejahatan luar biasa, tapi ketika penangkapan dilakukan pada masa yang katanya demokrasi, maka banyak orang menjadi kompromi?”

Persekusi habis-habisan dialami berbagai kelompok. Dari Transpuan, hingga penganut kepercayaan dan agama minoritas. Korban dan aktivis 65 hingga Kawan-kawan yang mencintai manusia dengan jenis kelamin yang sama. Persekusi itu dibiarkan, didiamkan, bahkan aparat turut melakukan kekerasan.

Di rezim ini saya juga dikepung. Berada di dalam sebuah gedung yang dilempari batu, disertai teriakkan bunuh dan bakar. Didiamkan berjam-jam dalam kondisi ketakutan, dan baru bisa meninggalkan tempat menjelang subuh.

Tentu saya juga tidak lupa pengalaman saya di rezim yang katanya begitu terbuka ini.

Rezim yang menerima para ‘kawan,’ di KSP, di Kementerian. Rezim yang mau ‘duduk bersama’ untuk mendengarkan masukan. Lalu secara efektif membuat kita bungkam.

Saat Reforma Agraria dibajak habis-habisan. Saat negara mau mendiskusikan SDG’s hingga Panduan Sukarela Bisnis dan HAM dianggap sebagai capaian. Maka advokasi tidak lagi berarti pembelaan. Dikerdilkan ke dalam: multi-stakeholder-ism, masukan didengar dan dipertimbangkan, atau masukan diterima sebatas terminologi dan bahasa, namun substansinya dihabisi.

Keberadaan mereka yang masih mengaku kawan, membuat perjuangan justru menjadi gamang. Bisa jadi, pengalaman merekalah yang justru membuat negara semakin jago untuk mangkir dari tanggung jawab.

Di tengah polite society ini, mereka mengaku masih berlawan. Bersikap seolah berkontribusi besar untuk gerakan. Seraya meminta agar kita tak terlalu bersuara lantang. Saya muak. Sesungguhnya rezim ini tengah menghancurkan gerakan habis-habisan.

Ini pengalaman saya. Pengalaman saya valid, begitu pun pilihan saya untuk Golput.

— Anonim, Jakarta

--

--

Saya Golput

Memilih untuk tidak memilih untuk memulai kembali ikhtiar menuju demokrasi yang lebih subtansial.