Misantropi
Sebuah dialektika akan suatu rasa benci
Spesies manapun yang mencetuskan konsep ‘baik’ dan ‘jahat’ adalah spesies jahat
Spesies manapun yang mengambil keputusan untuk atau secara sadar terlibat dalam melakukan kejahatan yang perlu (necessary evil) adalah spesies jahat
Spesies manapun yang menghakimi spesies lain sebagai spesies jahat adalah spesies jahat yang sebenarnya (pure evil)
Spesies manapun yang menciptakan bom nuklir, bom fosfor, dan konsep ‘menguasai’ adalah spesies jahat
Perasaan ini muncul kembali sembari aku menyadari banyak orang memang tidak mau aku berada di sekitar mereka. Mereka membuatku kesal, dan aku membuat mereka kesal. Apapun yang kulakukan hanya menyulut api lebih besar lagi. Berbahaya!
Sangat disayangkan orang-orang yang berbudi baik saat kami berinteraksi akhirnya terkena getahnya juga. Karena apa? Karena sama-sama manusia.
Lagi, aku bukanlah manusia yang gemar membenci, mendendam, dan menghasut. Aku tidak suka itu dan aku takkan mau melakukannya, namun belakangan ini aku mau tidak mau harus melakukan itu semua. Energiku untuk mengerjakan berbagai hal terbuang percuma karena aku membenci.
Aku mengikrarkan pakta bahwa aku takkan membenci individu, namun aku pikir pada akhirnya aku hanya akan terfokus pada spesies mereka.
Kadang aku berpikir, aku memang tidak mau berhubungan dengan spesies-ku sendiri namun sistem ekonomi kita berkata lain. Perkara itu menjelaskan mengapa banyak orang hanya mengedepankan materi — terutama uang! — dalam hidup mereka, yang akhirnya membuat mereka melihat apapun sebagai sumber ‘pencetak uang’.
Jika mereka tidak mencetak uang, buang saja. Apapun itu.
Pemikiran untuk-profit bukanlah apa yang kurisaukan sekarang; aku juga berpikir betapa absurd-nya konsep bersenang-senang. Aku mencoba mengikuti apa yang mereka lakukan, mereka mengarahkanku ke pintu keluar dengan dalih aku hanyalah orang asing, tak peduli seberapa rinci penjelasanku akan ketertarikanku dan caraku memandang dunia. Mereka bahkan tidak segan mengancamku.
Hah?! Hanya karena sebuah hobi!?
Pada dasarnya mereka memiliki ‘hobi’ yang bisa kukatakan whimsical, eccentric, atau discombobulating. Kukatakan begitu karena apa yang mereka lakukan menuntut banyak uang, banyak tempat, dan bahkan banyak urusan legal.
Mereka memiliki apa yang notabene hanya kebun binatang yang boleh memilikinya. Mereka memiliki apa yang bisa menjebloskanmu ke penjara sebagaimana kamu adalah semacam anggota Mafia atau seorang pembunuh berantai. Mereka memiliki sesuatu yang menjadi alasan kematianmu.
Berbicara tentang ‘legal’, yang kujabarkan di paragraf sebelumnya juga sama absurd-nya. Sebuah pola pikir yang aneh, bahkan bagi orang ‘aneh’ sepertiku. Melihat berita yang dikendalikan dengan orang-orang penuh agenda juga memperkeruh suasana.
-
Aku menjadi misantrop bukanlah sesuatu yang pertama ada di dunia. Banyak orang di Internet telah menyuarakan hal yang sama, banyak di antaranya juga telah melakukan isolasi sosial, menjadi hikikomori sampai bertahun-tahun lamanya.
Mereka juga sama kecewanya dengan umat manusia. Mereka telah melihat manusia secara objektif, dan telah mengetahui carut-marutnya hidup di atas planet Bumi. Aku mengalami hal serupa, dan perasaan ini terlalu kuat.
Aku ingat tentang frasa ‘ignorance is bliss’, yang pada dasarnya kamu takkan menjadi misantrop jika kamu bodoh secara intelektual. Tidak bisa membaca, berpikir, berbicara, menghitung, atau membuat keputusan di luar keterbatasan mental menjadi ‘kunci sukses’ untuk hidup di zaman serba uang ini.
Tapi aku tidak bisa dan tidak mau menjadi bodoh. Aku hanya punya satu kehidupan dan aku takkan menyia-nyiakannya hanya untuk gaya hidup yang menyusutkan volume otakku baik secara kiasan maupun harfiah.
Namun itulah yang kuhadapi sekarang. Aku terlalu idealis. Mau bagaimanapun juga, kau akan dihadapkan dengan orang-orang bodoh, hanya saja itu berlaku di Internet dimana anonimitas melindungi identitas legal seseorang, menjadikan mereka mampu bersikap dan berkata apapun yang mengungkap spesies macam apa manusia itu.
Tentu konflik terjadi di dunia nyata, namun nuansa dan zeitgeist mecegah konflik yang lebih frontal daripada di Internet. Akan tetapi, konflik di dunia nyata berdampak jauh lebih besar karena identitas legal-mu terlibat di sini, bukan satu dari 1.000 akun anonim-mu.
-
Ide abstrak yang dipaksakan ‘berada’ — negara, agama, uang, ideologi politik, budaya — juga telah membuatku makin geram dengan manusia. Semua perpecahan, pembunuhan, pembumihangusan, dan pelarangan terjadi karena buah pikiran kita, dan aku membencinya. Tapi dari semua ide-ide abstrak itu, yang paling membuatku geram adalah konsep ‘baik’ dan ‘jahat’.
Terutama saat membahas kejahatan yang perlu (necessary evil) dan ‘fakta’ bahwa manusia itu (bisa) baik/manusia terlahir suci yang terus digaung-gaungkan.
Melarang sesuatu adalah necessary evil. Membunuh binatang yang mengancam keberlangsungan hidup adalah necessary evil. Melakukan pungutan apapun adalah necessary evil. Tanpa necessary evil, manusia tidak akan ada/berfungsi.
Dan kita segan mengatakan kita adalah pusat Alam Semesta/makhuk pilihan Tuhan/penyelamat Bumi! Talk about being dense!
Marilah kita mengakui fakta jika kita harus melakukan necessary evil, kita adalah spesies jahat, kalian suka atau tidak. Kita membunuh ular/anjing/kucing/bayi lalu mengatakan kita adalah makhluk ‘pilihan’ atau apapun untuk men-justifikasi pembunuhan yang bersangkutan dengan dalih ide-ide abstrak adalah hal paling goblok yang pernah aku dengar.
Lihatlah konflik-konflik yang terjadi pada spesies kita semenjak kita mulai berada. Lihat pula konflik-konflik di sekitarmu, teman-teman atau keluargamu. Lihat itu!
Mari kita setuju kita adalah spesies jahat dan kemungkinan besar kita semua akan masuk Neraka sebelum akhirnya masuk Surga atau konsep lainnya. Banyak orang-orang yang tidak mau mengakui ini. Aku hanya bisa berdoa pada para pecundang.
Orang yang menaati larangan adalah orang baik. Orang yang melanggar larangan adalah orang jahat. Oh, to Hell with that!
Tentu aku tahu ada larangan yang dibuat dengan landasan logis, maka aku akan menaatinya. Dan tentu aku tahu apa yang namanya konteks dan nuansa. Larangan seringkali dibuat tanpa mengindahkan konteks dan nuansa, membuat larangan itu dibuat dengan dalih ‘manusia tidak bisa dipercaya’.
Aku tahu larangan apa saja yang telah kulanggar, karena aku tahu konteksnya apa. Jika larangan itu jelas alasannya dan aku paham konteksnya — jika kulanggar, maka konsekuensinya berat — maka aku patuhi. Namun, aku selalu melihat larangan-larangan yang bahkan terdengar aneh. Larangan yang dibuat dengan dugaan aku orang tolol yang bisa menyebabkan kerugian yang besar jika larangan yang bersangkutan tidak ada.
Masalahnya, jika aku tolol, maka aku takkan datang ke sana karena aku juga tidak tahu tempat itu apa. Dan aku juga tidak akan tahu bagaimana cara menggunakan uang atau bahkan menggunakan GPS untuk datang ke tempat yang memiliki larangan-larangan itu. Dan aku juga melihat ada orang-orang yang melanggar larangan-larangan itu, karena mereka memiliki semacam ‘koneksi’ atau ‘privilese’!?
Memang lucu. Larangan itu hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki posisi atau profesionalisme tertentu. Memang lucu dunia kroni. Penjelasan dan presentasi yang niat takkan menjamin.
Aku bukan siapa-siapa. Aku akhirnya terkena gatekeeping.
Padahal jika melihat kompetensi, aku sama-sama kompetennya dengan mereka, tapi mereka tetap berdalih aku orang tolol.
-
Ini membuatku susah berinteraksi dengan siapapun yang butuh keberadaanku/jasaku. Aku benci menjadi misantrop, karena memang aku benci membenci. Tapi apa dibuat, sudah menjadi ‘takdir tragis’ kita memiliki ego dan akhirnya itu membuat berbagai masalah kompleks yang bahkan tidak bisa dirunut secara logis, yang menjadi bahan bakar sifat misantropik bagi para misantrop di seluruh dunia.
Mereka berpikir aku orang jahat, namun aku berpikir spesiesku jahat. Mereka benar, namun juga salah.
Teruslah gatekeep aku dari kesukaan kalian dengan dalih-dalih aneh apapun. Tiada yang kalian lakukan merupakan hal penting! Semua akan hilang di saat planet dan Alam Semesta ini hancur. Katakan lagi aku dilarang dari menikmati ‘hobi’ kalian!
Begitulah manusia. Aku tidak bisa mengendalikan namun aku bisa bersuara.
- Z, Wisconsin