Sekali Lagi dari Absurditas Sensor Kita

Aedith
Published in
4 min readJun 4, 2024

--

“Maaf, namun sesuai keputusan dari manajemen dan atasan, kami terpaksa memberhentikan Anda dari perusahaan ini.”

Kalimat tersebut mengiang di kepalaku terus menerus. Aku dipecat. Tapi, mengapa?

Rekap jejak kinerja pekerjaanku tidak ada yang terlihat buruk. Justru kinerjaku terlihat naik dan naik selama beberapa tahun aku bekerja di sini. Bahkan, seharusnya di waktu aku dipecat, aku akan mendapat promosi sebagai supervisor.

Namun, apa? Mengapa?

Aku tahu perusahaan bisa memecatmu kapan saja, dimana saja, bahkan tanpa alasan jelas sekalipun (seperti yang sering kita lihat di televisi, frasa ‘pemutusan hubungan kerja’ alias PHK), dan aku pikir pemecatanku tidaklah adil.

Apa salahku!?

Baik, mari kita telisik ulang apa yang sebelumnya terjadi.

“Silahkan duduk, Pak.”

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Ya… begini. Perusahaan kami memiliki kebijakan tertentu mengenai representasi karyawan kami di luar perusahaan, dimana kami sangat menjunjung tinggi integritas dan visi-misi perusahaan kami untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat…”

“…”

“…dan kami tentu harus memastikan karyawan kami memiliki jiwa juang yang sama, mempertahankan integritas yang telah kami rangkul selama bertahun-tahun lamanya. Ini membawa saya ke…”

“Eeh… apa ini?”

“Saya ingin mengonfirmasi, ini benar cuitan Anda?”

“…”

[Udah kaya cecunguk aja si itu paslon. Banyak gaya njir]

[Diem lu cebong! Emak lu perek aja bangga]

[Gw rasa ini negara ga cocok buat demokrasi. Mending balik aja ky jaman Hitler, orang Yahudick dimampusin semua wkwwkkwkwwk]

“Uuh…”

“Selanjutnya…”

[@user14950273 bego lu, diem aja tolol. Otak di pake!]

[@Miriam_Nayla hahahaha tobrut beraksi. Towewew!]

[@user47201403 no fu ck israhell lmfao. I support palestine even if means you’re mom dies lmfao 😂😂😂]

{Astaga! Bagaimana dia bisa tahu!?}

“Bapak, saya sekali lagi bertanya, ini benar tulisan Anda semua?”

“Uuh… ti, tidak. Akun saya sepertinya… diretas…”

{Matilah aku!}

“Diretas? Yang ini bagaimana?”

[@X_wing_Aliciousness beetch go woof woof 🐶 you suck my deeck sista

5 Januari 2016]

[@KadekSintaMaharani waauw mau dong aku sister. toket orang bali manteeeep semua 🥳

7 Agustus 2015]

[@taka8rie haha inwish you voiced like my sister sucking my diik hard uWu

20 September 2019]

“Boleh diklarifikasi lagi, benar akun ini diretas?”

“…”

“Saya paham situasi Anda. Saya tegaskan kembali, kami tidak mentolerir aksi seperti ini, apapun alasannya…”

“Pak, saya mau bertanya sebentar…”

“Tolong dengarkan saya dahulu! …apapun alasannya, dan kami berhak memutus hubungan kerja secara tidak hormat dari karyawan kami yang mencoreng nama perusahaan terutama dengan cara yang Anda gunakan ini!”

“Oh, jadi sekalipun performa kerja saya bagus?”

“Kinerja Anda saya apresiasi. Saya berkata dari lubuk hati saya yang paling dalam. Akan tetapi, kebijakan tetaplah kebijakan. Apakah Anda sudah paham tentang kebijakan ini sebelumnya?”

“Be, belum, Pak.”

“Baik. Perlu dipahami sekali lagi, karyawan perusahaan kami perlu menjaga integritas dan reputasi perusahaan dimanapun, kapanpun. Saya khawatir ada yang tersinggung membaca kiriman Anda dan mereka menelisik Anda sampai akhirnya mereka tahu Anda bekerja di sini. Kami tidak mau berhadapan dengan urusan yang bersangkutan.”

“Baik. Jadi, apa keputusan yang telah disediakan untuk saya?”

Tentu kita selalu menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dimana kita bisa mengutarakan keluh kesal, rahasia, dan kritik kepada pihak-pihak tertentu tanpa merasa bersalah karena kita tidak melakukannya di dunia nyata, terutama di depan pihak-pihak yang bersangkutan.

Aku akui yang aku tulis di Twitter dan YouTube (plus TikTok!) itu salah. Semua itu menjijikkan dan aku bahkan acuh terhadapnya selama bertahun-tahun sampai aku lupa ini bisa terjadi.

Tapi masalahnya, aku tidak habis pikir mengapa profesionalitasku tetap dipertimbangkan bahkan di luar jam kerja dan di luar bangunan kantor? Aku bahkan tidak melibatkan perusahaan dan profesiku di kata-kata itu! Tentu aku amat sangat menghargai pekerjaanku, memperlakukan klien dan atasan dengan rasa hormat, dan melakukan diskusi dengan rasional dan profesional.

Bagaimana bisa persona-ku di luar perkantoran yang notabene tiada hubungan dengan persona profesionalku bisa membuatku dipecat!?

Kalau dipikir-pikir, aku sudah melihat kejadian-kejadian serupa terjadi di ranah pertemananku. Aku lihat Badri dipecat karena atasannya menemukan kiriman Facebook-nya yang mendukung gerakan ‘radikal’. Esa dipecat karena ia terlihat dalam rekaman TikTok yang menjadi viral karena ia terlibat perkelahian dengan seseorang di sebuah restoran. Bahkan Faisal, yang benar-benar pintar luar biasa, dipecat karena mengritik agama dan pemuka agama di blog-nya!

Kalau kasusku, mungkin wajar. Siapa yang mau bekerja dengan manusia cabul? Namun, kritik konstruktif dan menyuarakan opini juga bisa berakibat pemecatan!?

Keren!

Menelisik lagi bagaimana masyarakat kita dihadapkan dengan berbagai upaya oleh awak media dan pertelevisian untuk menghalangi kita mengetahui hal-hal yang mereka anggap ‘tidak pantas diketahui’ seperti pakaian semacam bikini atau swimsuit, rokok, kekerasan fisik dan verbal, dan ideologi-ideologi yang ‘kontroversial’. Belum lagi upaya lain untuk mengkekeuhkan ideologi tertentu yang aku rasa ada yang janggal.

Hei, aku bilang aku rasa. Aku tiada bukti kuat untuk membuktikannya, namun aku bisa merasakan memang ada yang tidak beres dengan media massa yang kita konsumsi.

Sekarang, dengan pemecatanku, aku berpikir ada satu lagi bentuk sensor yang kita hadapi dan kita tidak memiliki daya apapun untuk melawannya: atasan dan tim SDM perusahaan kita yang melihat apa-apa yang kita kirim di Internet.

Tentu ini menjadi insentif terkuat bagi kita untuk akhirnya membungkam diri kita sendiri untuk menyuarakan opini publik. Kita takut dipecat karena kita mengatakan sesuatu yang atasan kita tidak suka.

Mungkin syukur Puji Tuhan Google masih memperbolehkan kita menggunakan username yang unik untuk melindungi identitas kita. Aku tahu dengan akun-akun anonim, manusia bisa memperlihatkan sisi terburuk mereka, akan tetapi ini juga merupakan benteng terakhir kita untuk masih memiliki kebebasan berpendapat.

Mungkin tidak untuk mengatakan hal-hal cabul.

Aku sendiri juga bingung apakah kebebasan berpendapat itu memang merupakan hak kita sebagai masyarakat negara demokrasi atau tidak.

Oh, aku ingat. Vox populi, vox Dei. Dengan cuitan dan komen cabulku, agak lucu aku mengatakan ini.

Atau mungkin kita lebih baik membungkam seperti masyarakat negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan. Kita tidak usah menyuarakan ketidaksukaan kita demi menjaga nama baik, entah nama baik apa atau siapa. Dan akhirnya berlindung dengan akun anonim, menjadi segerombol hellspawn yang menodai harga diri kita sebagai spesies ‘pintar’.

--

--