Kaderisasi di ITB serta Sejarah Perkembangan HIMAMIKRO “Archaea”
Kaderisasi di ITB merupakan hal yang sering sekali dibahas dan merupakan topik yang selalu hangat untuk diperbincangkan di lingkungan ITB. Kaderisasi diyakini merupakan sebuah wadah penanaman nilai untuk membentuk seorang kader yang ideal untuk memasuki suatu organisasi yang baru. Karena kepentingan dari kaderisasi ini sendiri bahkan mahasiswa baru ITB akan menerima kaderisasi pertamanya dalam rangkaian kegiatan yang bernamakan OSKM ITB. Setelah itu, masih banyak kaderisasi yang dilakukan seperti kaderisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan dan Unit Kegiatan Manusia.
Pada tanggal 17 Mei 2018 pada Sekolah Perangkat Archaea 2018 salah seorang yang saat ini sedang menjabat sebagai Menko PSDM KM ITB, Agung Cahyono berbagi cerita tentang kaderisasi di ITB dan elemen-elemen kaderisasi ITB itu sendiri. Bila dilihat dan diperhatikan maka umumnya kaderisasi ITB menggunakan metode lapangan yang identik dengan terdapatnya peran Danlap (Komandan Lapangan) beserta keamanan, medik, mentor, dan lainnya yang masih mengakar dan terus digunakan. Metode lapangan dan peran Danlap yang digunakan ini sebenarnya bermula dari jaman perjuangan mahasiswa ITB dalam melawan public enemy, dimana saat itu mahasiswa melakukan pergerakan nyata secara langsung dengan turun ke lapangan dan berinteraksi langsung dengan aparat negara sehingga pada saat itu sangat diperlukan Komandan Lapangan untuk mengatur dan memimpin keberjalanan aksi bersama keamanan sebagai barikade untuk mengamankan dan medik untuk memberi pertolongan pertama. Seiring berjalannya waktu pergerakan mahasiswa berubah dan tidak melakukan aksi langsung untuk turun ke lapangan, namun yang menarik adalah metode lapangan tetap digunakan dalam kaderisasi. Hal ini disebabkan oleh, dalam proses kaderisasi terutama kaderisasi pasif proses penanaman nilai harus dilakukan secara singkat dimana seorang Danlap akan memberikan materi tersebut kepada peserta kader dalam suatu tekanan sehingga proses penanaman nilai akan tersampaikan dengan lebih mudah, oleh sebab itulah metode lapangan ini masih digunakan. Menurut pandangan saya cara ini merupakan salah satu metode yang masih relevan dan dapat dilakukan dalam kaderisasi pasif yang ada. Namun menurut saya hal itu tidak dapat diimplementasikan secara keseluruhan pada seluruh keberjalanan acara kaderisasi karena karakter yang dimiliki sebagian besar mahasiswa saat ini akan sangat berbeda jauh dengan karakter mahasiswa dulu. Karakter mahasiswa saat ini cenderung menyukai kebebasan dan kepraktisan dalam berpikir sehingga apabila keseluruhan proses kaderisasi dilakukan dengan “doktrin” secara terus menerus maka keberterimaan nilai itu juga tidak akan tinggi. Menurut saya dalam proses kaderisasi ini maka perlu diimbangi dengan proses penanaman nilai secara tidak langsung dengan mengajak para peserta kader berdiskusi dan bersama-sama memaknai nilai tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana cara menginsepsikan nilai tanpa diketahui oleh seorang peserta kader bahwa kita sedang menginsepsikan nilai tersebut?
Proses penanaman nilai merupakan inti dari proses kaderisasi ini. Penanaman nilai melalui kaderisasi pasif biasanya hanya bertahan dalam waktu yang singkat di dalam diri peserta kader. Maka dari itu diperlukan kaderisasi aktif untuk membantu penanaman nilai secara berkelanjutan yang tidak dapat dilakukan pada kaderisasi pasif. Untuk menginsepsikan nilai secara tidak langsung maka kita membutuhkan seorang “role model” yang memiliki nilai-nilai didalam dirinya sehingga terpancar dari setiap aktivitas yang dilakukannya dan dapat dilihat oleh orang lain. Dengan begitu, ketika orang lain melihat implementasi nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang, secara tidak langsung akan memahami dan dapat tertanam dalam dirinya juga. Inilah yang perlu dipelajari oleh Panitia Experience Archaea sebagai pengkader yang harus mulai belajar untuk menanamkan nilai-nilai yang ingin ditanamkan ke dalam peserta sendiri ke dalam dirinya terlebih dahulu. Selain itu menurut saya penanaman nilai juga dapat dibantu oleh Himpunan itu sendiri melalui program kerjanya sehingga nilai yang ada terus tetap diulang. Disinilah peran Himpunan dalam membantu kaderisasi aktif yang dilakukan. Contohnya adalah penanaman nilai yang dimasukkan dalam proyek-proyek himpunan sehingga peserta kader akan mendapatkan nilai-nilai tersebut. Cara ini dapat akan diterima dengan baik dan tertanam dalam diri seseorang lebih dalam walaupun proses dari penanaman nilai tersebut menghabiskan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan kaderisasi pasif. Sehingga kedua macam kaderisasi pasif dan aktif disini keduanya sangat diperlukan dimana kaderisasi pasif berperan sebagai trigger di awal proses pengkaderan dan kemudian materi yang tidak dapat tersampaikan secara menyeluruh di back up di dalam kaderisasi aktif.
Untuk melakukan kaderisasi juga kita perlu melakukan analisis kondisi yang tepat dan menyeluruh dari peserta kader untuk menentukan metode apakah yang paling sesuai dan memiliki keberterimaan yang besar. Proses analisis ini sangat berperan penting karena setiap tahunnya komposisi dari orang-orang didalamnya berbeda dan memiliki pola pikir yang berbeda pula sehingga perlu suatu perubahan dalam metode-metode yang diberikan. Inilah yang menjadi PR oleh Panitia Experience Archaea. Perubahan sangat penting dilakukan karena dengan perubahan maka proses kaderisasi ini akan terus terevaluasi dan lebih mengarah ke proses kaderisasi yang lebih baik lagi. Trial dan Error merupakan suatu cara yang dapat dilakukan, namun yang perlu ditekankan disini adalah perubahan yang dilakukan sebaiknya tidak berbeda terlalu signifikan dengan metode yang sebelumnya sehingga dapat dibandingkan. Perubahan yang dilakukan juga harus dilakukan secara bertahap dimana terdapat gradien-gradien perubahan sehingga kesalahan lebih dapat secara menyeluruh di evaluasi.
Satu hal yang harus diterapkan ketika menjadi pengkader nantinya adalah bahwa sebagai pengkader kita bukanlah orang yang sempurna dan lebih baik dari peserta kader karena pada proses keberjalanan proses kaderisasi pun kita akan belajar dari peserta kader.
Experience Archaea merupakan suatu proses kaderisasi untuk mahasiswa mikrobiologi untuk masuk ke dalam Himpunan HIMAMIKRO “Archaea” ITB. Pada tanggal 17 Mei 2018 kemarin juga didatangkan salah seorang alumni Mikrobiologi, Jayen Kriswantoro yang menceritakan pembentukan Himpunan HIMAMIKRO “Archaea” ITB dan sejarah perkembangannya. Himpunan HIMAMIKRO “Archaea” ITB ini berdiri pada tanggal 27 Maret 2013. Himpunan ini merupakan suatu wadah berlandaskan kepofresian untuk mahasiswa dengan bidang yang sama yaitu mikrobiologi untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya sebelum berdiri, mahasiswa mikrobiologi masih tergabung ke dalam Himpunan Mahasiswa Biologi “Nymphaea”. Namun karena setelah dirasakan perbedaan yang besar bahwa biologi dan mikrobiologi maka mahasiswa mikrobiologi memutuskan untuk membentuk suatu wadahnya sendiri. Biologi dan mikrobiologi tentu memiliki outcome yang berbeda dalam proses pembelajarannya sehingga antara mahasiswa biologi dan mikrobiologi juga memiliki pola pikir yang berbeda. Pola pikir yang berbeda antara kedua mahasiswa biologi dan mikrobiologi ini menimbulkan suatu kebutuhan yang berbeda pula sehingga perlu wadah yang dapat memfasilitasi keduanya. Akhirnya dipisahlah Himpunan antara mahasiswa mikrobiologi dan biologi. Dan pada kala itu juga tidak hanya mikrobiologi yang mendirikan himpunan sendiri namun bersama mahasiswa dengan jurusan rekayasa hayati.
Mengapa mahasiswa mikrobiologi penting untuk berhimpun dan masuk menjadi anggota HIMAMIKRO “Archaea” ? Alasannya adalah karena himpunan ini merupakan wadah yang paling dekat yang ada di sekitar mahasiswa mikrobiologi dan dapat memenuhi kebutuhan dari mahasiswa mikrobiologi itu sendiri. Alasan lainnya adalah dengan berkumpul menjadi satu dalam sebuah himpunan mahasiswa mikrobiologi ini dapat bersama-sama bergerak mengimplementasikan aplikasi dari jurusan mikrobiologi sehingga pergerakan yang dilakukan lebih terlihat oleh masyarakat dibandingkan apabila kita bergerak dengan sendiri-sendiri. Namun untuk memasuki himpunan Archaea ini juga diperlukan suatu standar bagi para anggotanya sehingga terjadi keseragaman nilai yang dipegang dan pola pikit. Hal ini akan memudahkan dalam keberjalanan himpunan.
Dari mulai terbentuknya Archaea hingga sekarang maka terus terjadi perubahan-perubahan yang dilakukan untuk terus mengevaluasi agar himpunan ini jauh lebih baik. Seperti proyek pengabdian masyarakat, pemilihan kahim, bahkan metode kaderisasi yang berubah-ubah. Perubahan yang ada mendukung perkembangan himpunan Archaea untuk tetap mewadahi kebutuhan anggota-anggotanya. Saat ini yang menjadi permasalahan di himpunan Archaea adalah partisipasi massa. Hal ini merupakan PR bagi himpunan dan orang-orang didalamnya.