Indonesia dan Kisah Di Balik Trotoar

Pejalan kaki Indonesia terbiasa berbagi dengan pedagang kaki lima dan kendaraan terparkir.

Bayu Prastio
SELA
6 min readJan 11, 2020

--

Salah satu bukti bahwa penyalahgunaan trotoar masih dilakukan. Terdapat beberapa motor terparkir dan tempat makan yang menghalangi jalur pejalan kaki.

Berkeliling kota sore hari memang sudah menjadi favorit kaum urban. Mereka biasa mendekati sebuah keramaian, entah itu di Taman Kota, atau hanya sekadar nongkrong di pinggir jalan. Tak terkecuali kota tempat saya berdomisili, Kota Purwokerto yang terasa makin ramai dari tahun ke tahun. Penyebabnya adalah banyak perguruan tinggi yang akhirnya menarik para akademisi luar kota untuk berkuliah.

Purwokerto bukanlah kota besar, bahkan ketika kita berjalan-jalan di sini, kita merasa jauh dari kesan kota. Tidak seperti ketika berjalan di Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung yang kini sudah mulai dipenuhi oleh pemandangan gedung tinggi. Satu-satunya kesan kota yang ada di Purwokerto adalah kepadatan lalu lintas.

Masyarakat Purwokerto terbiasa melakukan perjalanan dengan transportasi pribadi. Angkutan umum di sini tidak terlalu banyak dan digemari. Sejauh ini baru ada transportasi umum berupa Bus Rapid Transit (BRT). Namun itu pun masih banyak yang harus dikembangkan, mulai dari rute perjalanan sampai jumlah halte yang masih sedikit. Khusus untuk angkutan kota (angkot) memang ada, hanya tidak terlalu diminati. Ketika masalah antara transportasi umum dan pribadi belum terselasaikan, muncul era baru yang punya dampak signifikan. Transportasi online tidak kalah dari kota besar, di sini hal itu juga marak diminati.

Dengan keadaan itu, Purwokerto punya masalah terkait ruang parkir yang begitu minim. Kita tidak akan sulit menemukan banyak pemilik kendaraan yang memarkirkan kendaraannya di atas trotoar. Terdapat juga di beberapa titik keramaian — nyaris sama seperti kota-kota lainnya — trotoar dikuasai oleh para pedagang kaki lima. Pada titik-titik tersebut, para pelanggan PKL dengan tanpa merasa bersalah memarkirkan kendaraanya di bahu jalan dan mengganggu arus lalu lintas. Walau begitu, seolah-olah masyarakat sudah bisa bertoleransi dengan keadaan. Mereka terkesan mewajarkan direnggutnya hak-hak pejalan kaki untuk bisa nyaman berjalan di trotoar.

Muncul pertanyaan di benak, sebenarnya apa yang harus kita lakukan? Mengalah terhadap keadaan atau mempertegas regulasi yang mengistimewakan hak-hak para pejalan kaki?

Saya rasa ini sangat menarik untuk dibahas. karena di beberapa kota memang marak terjadi penggusuran pedagang kaki lima. Tapi penggusuran itu malah menyebabkan masyarakat marah terhadap pemerintah, padahal itu memang sudah sesuai aturan. Seperti tertuang dalam Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ yang menyebutkan trotoar adalah hak para pejalan kaki. Aturan itu terasa hanya tertulis belaka, pemerintah tidak terlalu tegas dalam menegakkannya.

Kondisi tersebut seakan-akan telah menjadi budaya kita selama ini. Sangat sulit ketika kita merubah pola pikir masyarakat terkait fungsi trotoar. Kondisi ini yang membuat Indonesia berbeda dengan negara lain yang sangat tertib akan penegakkan fungsi trotoar. Kita harusnya bisa menyelesaikan masalah ini dengan mulai memikirkan bagaimana agar terjadi keseimbangan antara regulasi mengistimewakan pejalan kaki sekaligus memberikan ruang untuk pedagang kaki lima tetap bisa berjualan. Bagaimanapun, regulasi yang ditetapkan harus bisa seimbang dan menyeluruh, agar dirasa adil oleh berbagai golongan masyarakat.

Bentuk PKL Area

Pedagang kaki lima (PKL) memang dominan memanfaatkan trotoar untuk berjualan. Mereka adalah para pedagang yang tidak memiliki lahan untuk berjualan. Ternyata antara PKL dan trotoar memiliki keterikatan sejarah, khususnya dalam catatan sejarah Batavia. Pada masa kepemimpianan Letnan Gubernur Thomas Stamford (1811–1816) adalah awal mula istilah PKL muncul. PKL sebenarnya bermula dari kesalahan tafsir ketika Thomas Stamford meminta untuk membuat jalur pejalan kaki selebar lima kaki (five foot way). seiring perjalanannya kata five foot way malah diartikan jalan kaki lima bukan jalan lima kaki. Seiring perjalannannya beberapa pedagang indonesia malah memanfaatkan jalur pejalan kaki tersebut untuk berjualan. Akhirnya julukan pedagang kaki limapun diberikan kepada mereka.

Bagaimanapun sejarah tersebut tidak bisa kita lupakan, merubah sesuatu yang sudah membudaya memang akan sangat sulit. Satu-satunya cara adalah memberikan keistimewaan kepada mereka dengan memfasilitasinya dengan ruang berjualan pada samping trotoar. Sebenarnya pola ini sempat dilakukan oleh Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Tapi memang ada yang kurang tepat dalam pelaksanaannya. Jika mau memberikan ruang berdagang para PKL maka tidak boleh di trotoar. Karena penamaan trotoar memang sudah ditetapkan khusus untuk pejalan kaki. Seharusnya dibuat nama baru, aturan baru dengan alasan menyelamatkan trotoar dari PKL dan juga memberikan fasilitas kepada para pedagang yang tidak memiliki lahan berjualan. bisa kita sebut saja namanya PKL Area.

PKL Area ini harus diletakan di pusat keramaian dan samping trotoar. Karena sering terjadi ketika diadakan relokasi PKL setelah penggusuran, mereka ditempatkan di area yang tidak strategis dan akhirnya mengurangi pendapatan mereka. Alih-alih mereka menikmati relokasi tersebut, malah tidak lama mereka pindah kembali berjualan di trotoar. Jadi pembuatan PKL area tidak perlu dilakukan di seluruh garis jalan, hanya beberapa titik yang selama ini sudah menjadi area mayoritas para PKL berjualan. hal itu dikarenakan pembuatan PKL area ini sangat riskan konflik, karena adanya pembebasan lahan. Biasanya PKL sering berdagang di pusat-pusat kota dan wisata yang kebanyakan lahannya milik pemerintah. Maka pemerintah harus berkomitmen memberikan ruang kepada para PKL di pusat keramaian milik pemerintah. Serta mebuat regulasi baru untuk pusat pariwisata milik swasta dan pusat pendidikan — karena di area ini juga sering jadi tempat PKL — agar memberikan ruang yang bisa digunakan untuk PKL Area. Selain itu perlu diperhatikan jika PKL Area akan dipungut uang sewa, maka harus terjangkau agar tidak membuat mereka kesulitan dalam menanggung biayanya.

Hakikatnya konsep bisnis PKL adalah dekat dengan jalan dan keramaian. Jika pemerintah bisa memberikan tempat berupa lahan untuk PKL, maka persoalan trotoar yang terganggu PKL akan selesai.

Perketat Regulasi Kendaraan

Seperti telah disebutkan diatas, terdapat masalah kedua yang terjadi pada penyalahgunaan trotoar, yaitu digunakan tempat parkir. Jika kita berpikir dengan cara instan, solusinya dibuat zona parkir dengan penentuan radius. Tapi kita harus mencoba memikirkan solusi lewat perubahan sistem terlebih dulu. karena untuk membuat area parkir butuh pembebasan lahan yang prosesnya cukup rumit.

Kali ini, kita harus bisa bercermin dari negara tetangga kita, yaitu Singapura. Di sana keadaan lalu lintas sangat tertib dan jauh dari kemacetan. Berkat adanya pembatasan dalam hak kepemilikan, dan meninggikan harga penjualan seta pajak kendaraan. Hal itu membuat warga singapura cenderung memilih untuk memakai transportasi umum atau sepeda.

Buruknya keadaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia masalah utamanya adalah banyaknya kendaraaan pribadi di jalan. Patut disadari bahwa harus ada pembatasan kepemilikan kendaraan agar tidak menimbulkan kemacetan yang semakin parah. Setelah adanya pembatasan kepemilikan, maka pemerintah juga membuat jangka waktu kepemilikan, misalkan diberikan jangka 10 tahun. Jangka waktu itu berguna selain untuk membatasi kepemilikan kendaraaan juga menjaga kondisi lingkungan dari emisi kendaraan tua yang memang menyumbang lebih banyak polusi udara.

Ketika aturan kepemilikan kendaraan diperketat, harga dan pajak kendaraan di tinggikan maka orang semakin memilih untuk mulai beralih kepada transportasi umum. Akhirnya pemerintah tidak harus banyak menyediakan lahan parkir karena minim kebutuhan. Namun dengan catatan pemerintah harus memperhatikan bahwa transportasi umum yang tersedia bisa memenuhi kebutuhan bangkitan dan tarikan penumpang, aspek kenyamanan, keamanan, efisiensi harga, dan waktu tempuh. Hal itu dilakukan agar masyarakat merasa puas terhadap keadaan tranportasi yang dikelola negara dan mulai menghilangkan keinginan untuk memiliki kendaraan pribadi. Selain itu, jika masyarakat banyak menggunakan transportasi umum maka negarapun lebih diuntungkan dari hasil pajak operasional.

Mulai Dengan Pembangunan Budaya

Jika kita raba-raba solusi yang telah ditawarkan diatas memang seolah sangat sulit dicapai. Dengan keadaan yang terlanjur semrawut, pola pikir masyarakat yang sulit dirubah akan menimbulkan banyak pro kontra. Ditambah lagi keadaan transportasi umum yang juga masih sangat jauh dari ideal dalam sinergitas antar moda.

Pemerintah tidak bisa memulai hal ini secara tiba-tiba. Pembangunan budaya demi merubah pola pikir masyarakat harus bisa dipakai. Pemerintah harus bisa memberikan pemahaman bagi masyarakat betapa pentingnya memprioritaskan berjalan kaki setiap hari. Pemahaman ini bisa diberikan dengan mempromosikan pengaruh jalan kaki terhadap kesehatan. Selain itu, bisa lewat sosialisasi pengatasan kemacetan yang hanya bisa diselesaikan ketika masyarakat punya kesadaran untuk lebih mengutamakan berjalan kaki.

Jika pola pikir itu sudah terbentuk, pemerintah akan lebih yakin menegakkan regulasi dan diterima oleh masyarakatnya. Di Indonesia, memiliki kendaraan pribadi dianggap sebagi sebuah pencapaian. Banyak masyarakat yang terus memimpikan memiliki kendaraan pribadi layaknya memiliki rumah sendiri.

Dalam sebuah penelitian para ilmuan di Stanford University di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara paling malas berjalan kaki di seluruh dunia. Rata-rata orang Indonesia berjalan kaki hanya 3.513 langkah setiap harinya.

Maka, dengan data itu sudah bisa diperkirakan betapa besarnya tantangan untuk pemerintah ketika ingin memperbaiki keadaan. Regulasi memang tidak bisa dipaksakan, karena negara ini bukan sistem monarki absolut. Namun tidak menutup kemungkinan jika pemerintah siap bekerja keras untuk merubah pola pikir masyarakat soal aksesibilitas transportasi. Karena sebenarnya jalan kaki adalah transportasi alami yang manusia miliki.

Selain itu, pemerintah juga bisa mengajak para komunitas-komunitas pejalan kaki untuk bekerja sama mengkampanyekan pentingnya jalan kaki setiap hari. Dengan mengikutsertakan masyarakat yang sudah memiliki kesadaran untuk berjalan kaki, pemerintah akan semakin mudah menyadarkan masyarakat.

Jadi, sekarang setelah disebutkan berbagai solusi di atas, apakah kita masih tidak mau membudayakan jalan kaki dan mewajarkan penyalahgunaan trotoar?

--

--