Manusia Pengendali AI

Merancang penakluk AI, Mengamankan kedudukan manusia

Bayu Prastio
SELA
9 min readJun 1, 2023

--

Photo by Drew Dizzy Graham on Unsplash

Kemajuan teknologi tak lebih seperti khayalan anak saat bermain boneka. Dengan imajinasi, ia membuat boneka seakan bisa berbicara, bergerak, bahkan menjadi teman saat tidak seorangpun bisa memahami perasaannya. Imajinasi itu kini kian nyata. Jaring-jaring khayal terwujud lewat teknologi yang mampu membantu, menjawab dan mengatasi semua persoalan. Saat ini kemajuannya terasa hampir melampaui manusia itu sendiri. Atau bahkan sudah melampaui?

Sebuah permulaan

“Apakah mesin bisa berpikir?” Adalah pertanyaan Alan Turing saat merancang gagasan dalam jurnal computing Machinery and Intelligence (1950). Karya itu diyakini sebagai benih dari kemajuan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Ia menemukan metode uji kemampuan mesin dalam menyerupai cara berpikir manusia, yang dikenal dengan Turing Test.

Istilah Artificial Intelligence (AI) sendiri pertama muncul pada 1956 saat McCarthy dan Marvin Minsky mengadakan pertemuan para ilmuwan komputer terkemuka dalam Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence.

Marvin Minsky, Claude Shannon, Ray Solomonoff dan ilmuwan lain di Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence (Foto: Margaret Minsky)

Dalam proposal proyek tersebut, McCharthy menulis gagasan yang bisa diakui sebagai ide besar untuk awal mula kemajuan AI. Ia berupaya menemukan bagaimana membuat mesin menggunakan bahasa, membentuk abstraksi dan konsep, memecahkan berbagai masalah dan mampu meningkatkan diri mereka sendiri. Gagasan itu tentu sangat signifikan berpengaruh bagi kemajuan AI sampai sekarang.

Benang zaman terus terulur, sampai saat ini para ilmuwan hebat telah mencapai kemajuan AI dengan pesat. Mesin kini bisa menggunakan bahasa — seperti gagasan McCharthy — , punya kemampuan komunikasi nyaris seperti dua manusia yang sedang mengobrol, ia meminta maaf saat tidak bisa menjawab dan berterimakasih saat dipuji. Dari hal-hal sederhana yang saat ini kita lakukan, AI punya peran penting. Ia menjadi solusi saat kita mencari rute untuk menghindari macet, rekomendasi saat kita lapar, dan masalah-masalah lain yang tentunya punya kerumitan tersendiri. Selain itu, AI sudah mampu beradaptasi akan kesalahan yang ia lakukan. Kita bisa memberikan informasi pada google maps bahwa restoran yang ia sarankan sudah tutup permanen, maka di masa depan ia tidak akan merekomendasikannya lagi. Begitu banyak informasi yang bisa ditampung oleh AI sampai melampaui kemampuan manusia sebagai penciptanya.

Keresahan akan ujung

Kemana semua ini akan berujung? mulai 2011 sepertinya pertanyaan tersebut kembali banyak diperbincangkan. Perusahaan teknologi mulai berlomba mengembangkan AI pada ponsel pintar, seperti google asistant milik google, siri milik apple ataupun cortana milik microsoft. Pada saat itu, teknologi asisten disambut dengan takjub. Kini keinginan kita bisa diwujudkan hanya dengan perintah suara. Namun itu bukanlah ujung dari kemajuan AI.

Semangat kemajuan AI kembali mencuat dengan populernya terobosan mesin yang mampu membuat bahasa alami layaknya manusia. Terobosan itu dikenal sebagai Generative Pre-trained Transformers (GPT). GPT adalah jenis model pembelajaran mesin yang digunakan untuk pemrosesan bahasa agar memiliki cara berkomunikasi layaknya manusia. GPT memungkinkan mesin dapat memahami dan menghasilkan bahasa dengan tingkat akurasi tinggi.

Sebenarnya GPT adalah salah satu bentuk dari AI generatif. Kata generatif sendiri berarti teknologi ini memungkinkan AI bisa memproses data dan membuatnya menjadi narasi baru berdasarkan data tersebut. AI generatif menampung informasi pada periode tertentu. Contohnya ChatGPT yang dikembangkan oleh openAI. Dalam update terbarunya (GPT-4) diisi oleh data sampai september 2021. Hal itu berarti jawaban yang dihasilkan GPT-4 hanya berdasarkan data yang ia tampung sampai 2021. Sedangkan data tahun berikutnya (2022 dan seterusnya) tidak menjadi sumber referensi sampai adanya pembaruan di masa yang akan datang.

ChatGPT tidak dapat menjawab pertanyaan terkait pemilu turki 2023 (foto: dok.pribadi)

AI generatif mulai tahun 2020 cukup berkembang pesat. Ada banyak contoh yang bisa disebutkan, yang paling umum diketahui banyak orang adalah ChatGPT. Ia menghadirkan fitur percakapan yang mampu memberikan informasi terkait persoalan yang kita pertanyakan. ChatGPT juga ramai digunakan untuk membuat copywriting, naskah video, esai, dan mencari solusi ketika terjadi bug pada pemrograman komputer. Selain ChatGPT, terdapat program text-to-image seperti midjouney, DALL-E yang punya fitur mengubah narasi menjadi gambar bernilai seni sampai bisa jadi konsep desain arsitektur atau sekadar publikasi di media sosial.

Ketika manusia mampu bekerjasama dengan AI, sebenarnya akan membentuk kegiatan yang begitu efektif. Pekerjaan yang tadinya memakan waktu, bisa selesai lebih cepat dengan bantuan teknologi. Dalam jurnal berjudul GPTs are GPTs: An Early Look at the Labor Market Impact Potential of Large Language Models disebutkan ada sekitar 90% tenaga kerja AS dapat memiliki setidaknya 10% dari tugas kerja mereka dipengaruhi oleh Large Language Model (LLM) — salah satu jenis LLM kita kenal dengan GPT — , dan sekitar 19% pekerja mungkin melihat setidaknya 50% dari tugas mereka akan dipengaruhi oleh LLM. Dalam riset itu juga ditemukan bantuan LLM dalam pekerjaan telah meningkatkan efektifitas sekitar 15% dengan kualitas hasil yang sama. Data itu menandakan sinergitas antara manusia dan teknologi masih bisa dicapai dan bisa berpengaruh positif untuk masa depan.

Salah satu foto visual arsitektur yang dihasilkan oleh GPT, midjorney + Dall-E2 dan dirapikan dengan bantuan perangkat lunak Photoshop oleh timfu menjadi salah satu bukti sinergitas AI dan manusia bisa dilakukan (foto: akun instagaam ti.fu)

Risiko terbesar kehadiaran AI generatif akan dirasakan pada jenis profesi yang bersifat tugas rutin terstandarisasi dan berulang. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Ketenagakerjaan, Adi Mahfudz mengatakan sebanyak 23 juta orang terancam kehilangan pekerjaan pada 2030 karena perkembangan teknologi dan digitalisasi. Sama seperti data dari jurnal diatas, menurutnya karakteristik pekerjaan yang mudah tergantikan oleh AI adalah yang bersifat terstandarisasi, seperti pengolahan data, layanan pelanggan (costumer service), logistik dan jasa pengiriman barang.

Perkembangan AI saat ini masih ada dalam tempo yang sangat progresif. Setelah populernya OpenAI, raksasa teknologi seperti google, amazon, microsoft terus berlomba menjadi yang terdepan dalam teknologi ini. Berbagai risiko masih belum dan akan muncul ke permukaan. Fenomena ini tentu cukup meresahkan di berbagai belahan dunia. Menurut World Population Review, tingkat pengangguran 2023 secara global diperkirakan akan menyentuh 6,3% hingga 6,5%.

Usaha untuk mengendalikan

“Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. yang hancur lebur akan terobati. yang sia-sia akan jadi makna. yang terus berulang suatu saat henti. yang pernah jatuh kan berdiri lagi.”

— Banda Neira

Penggalan lagu dari Banda Neira itu merefleksikan bahwa segala sesuatu punya masa. Akan ada saatnya ia tergerus zaman, usang dan musnah. Tapi segala sesuatu seperti siklus. Semua akan terganti, sesuatu yang kita lakukan saat ini — sekecil apapun — akan cukup bermakna di masa depan.

Mulai muncul banyak para pemikir yang mengajak kita bersikap kritis pada dampak buruk yang bisa disebabkan oleh AI generatif. Dalam opini yang dipublikasikan New York Time, Noam Chomsky seorang ahli lingusitik mengatakan, inti dari pembelajaran mesin adalah deskripsi dan prediksi. Menurutnya ChatGPT tidak mampu membedakan yang mungkin dari yang tidak mungkin. Hal itu tentu tidak seperti manusia yang mampu menemukan kesimpulan dalam sesuatu yang bisa saja diluar nalar. AI hanyalah kumpulan data besar yang disimpan untuk memprediksi kemungkinan dan hal yang paling masuk akal menjadi jawaban suatu pertanyaan. Setidaknya berdasarkan perkembangan saat ini.

Goenawan Mohammad, dalam esainya berjudul kerangkeng — yang juga membahas tentang problematika hadirnya ChatGPT — menutup dengan tiga paragraf yang penuh makna:

“Kabar baiknya, selama ini umat manusia selalu punya jalan untuk menyelamatkan diri mereka dari kiamat peradaban akibat penemuan-penemuan yang meringkus esensi kemanusiaan manusia.

Kita tak tahu apakah jika kekhawatiran para ahli itu terbukti, manusia tetap bisa menawarkan high touch untuk melawan high tech yang mencemaskan. jangan-jangan AI suatu saat justru melahirkan chatbot yang bisa melakukan hal-hal yang dilakukan manusia autentik dengan kemampuan batin dan rasa.

sampai di sini, saya tak tahu apakah saya harus cemas atau bersyukur”

Walau AI telah lama dikembangkan, itu adalah persoalan baru untuk kehidupan manusia. Karena kemajuan yang sangat cepat berpotensi meninggalkan kemajuan manusia itu sendiri. Saat ini manusia sepertinya mulai bergerak untuk mengantisipasi permasalahan yang berpotensi muncul akibat AI. Parlemen Eropa tengah berusaha merumuskan bagaimana dunia menindak kemajuan AI. Bahkan pemerintahan Joe Biden punya rencana untuk menekan perkembangan kecerdasan buatan.

Tak berhenti disitu, usaha perlawanan juga dilakukan lewat surat terbuka yang diinisiasi oleh organisasi nirlaba Future of Life pada 22 Maret 2023. Surat itu berisi permintaan untuk menjeda eksperimen terkait AI setidaknya dalam waktu 6 bulan ke depan. Penjedaan itu diharapkan bisa menjadi kesempatan untuk membentuk sistem pengawasan dan mengevaluasi kemajuan AI agar berada pada jalur yang menguntungkan manusia serta bisa meminimalisir segala risiko yang merugikan. Hingga tulisan ini diterbitkan, sudah 31.810 orang yang menandatangani surat itu. Termasuk 1.000 pemimpin teknologi, peneliti, dan pakar lainnya yang bekerja didalam dan di sekitar kecerdasan buatan, salah satunya Elon Musk, Kepala Eksekutif Tesla juga ikut menandatangani.

Hal penting lainnya terjadi pada Selasa, 16 Mei 2023, Sam Altman, Direktur Utama OpenAI hadir dalam sidang subkomite kehakiman senat AS mengenai privasi, teknologi dan hukum. Sam Altman memohon kepada pembuat undang-undang untuk mengatur kecerdasan buatan. Ia juga mengakui bahwa jika teknologi AI bergerak pada arah yang salah, itu bisa sangat salah. Yang berarti bisa berdampak pada banyak hal termasuk meningkatnya angka pengangguran dan sampai berpengaruh buruk pada kontestasi politik.

Politisi, pakar dan tokoh dunia memang mulai bergerak untuk mengantisipasi bencana yang bisa ditimbulkan oleh AI. Namun itu tidak akan berdampak pada orang yang tetap diam di zona nyaman dan terlalu percaya diri. AI generatif hadir cukup tiba-tiba dan sangat rentan merenggut masa depan para pekerja. Maka dari itu tentu ada hal yang harus dan bisa kita lakukan.

Kursi kosong untuk pekerja berpengetahuan

Di sela waktu saat proses penyelesaian tulisan ini, saya bersantai sambil menonton series dokumenter Netflix yang dibintangi oleh Barack Obama berjudul, Working What We Do All Day. Series itu menceritakan tentang para pekerja Amerika Serikat di berbagai industri. Ia juga menyinggung tantangan para pekerja yang harus menghadapi era kecerdasan buatan (AI).

Pada Episode ketiga yang berjudul Dream Jobs, Obama membukanya dengan prolog tentang kondisi para pekerja yang terancam digantikan oleh mesin dan kecerdasan buatan. Ia mengatakan otomatisasi dan kecerdasan buatan akan mematikan 1 dari 4 pekerjaan, yaitu pekerjaan apapun yang berdasarkan tugas berulang. Menurutnya dalam era ini pekerjaan terbaik akan diberikan pada mereka para pekerja berpengetahuan (Knowlege Worker).

Cover film series dokumenter netflix : Working What We Do All Day yang rilis pada 17 Mei 2023.

Pengetahuan, saat ini sepertinya menjadi pondasi utama untuk mengendalikan era kecerdasan buatan. Pekerja berpengetahuan sudah digaungkan sejak tahun 1959 dan akan tetap berlaku memenangkan kita sampai masa yang akan datang saat melawan kecerdasan buatan. Walau informasi sudah sangat mudah diakses, bertanya apapun bisa langsung dicari lewat internet, tetapi pengetahuan luas yang ada persis dalam diri kita bisa jadi penyelamat dalam krisis sosial dan ekonomi. Setidaknya saat ini AI belum bisa mencapai sifat-sifat autentik manusia.

Bisa dikatakan cukup mustahil bekerja jika kita menolak untuk bersinergi dengan teknologi. Di berbagai bidang selalu ada aspek teknologi dan itu akan semakin progresif. Bagaimanapun, seperti yang sudah tertulis di atas, masih ada banyak celah yang kita bisa ambil untuk menjalani kehidupan yang lebih berkualitas. Modal kita saat ini adalah terus memperbarui pengetahuan yang sudah kita punya. Jika anda calon petani, maka jangan berhenti mencari tahu bagaimana bisa lebih produktif dan efisien dalam hasil panen. Jika Anda arsitek, jangan hanya puas saat menguasai satu perangkat lunak dan tidak mencari tahu apa fitur terbarunya dan bagaimana kita bisa berperan di sana. Jika anda guru, terus perbarui bagaimana sistem mengajar dengan bantuan teknologi. Dan itu berlaku untuk sebagian besar profesi di dunia.

Eksplorasi pada hal-hal baru akan sangat membantu kita ke depan. Karena sikap itu yang akan membuat kita bisa mengetahui celah mana saja yang bisa kita pijak untuk mengendalikan teknologi. Kita harus bisa membuka pikiran dan menikmati setiap proses yang kita tempuh. Di zaman ini, orang yang akan jadi korban teknologi adalah orang yang anti perubahan dan terlalu percaya diri dengan pemikiran sendiri.

Bahkan saking cepatnya perkembangan AI, informasi yang didapat dari tulisan ini harus selalu diperbarui. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan pada perkembangan AI yang masih berlangsung. Ada banyak kemungkinan yang terjadi di depan, termasuk AI yang punya daya kritis dan emosi. Hampir semua rujukan yang saya baca, setiap pakar menyebutkan itu mungkin saja terjadi, tidak ada yang mustahil karena kita belum benar-benar memahami bagaimana AI bekerja dan akan seberapa pesat lagi meninggalkan kita.

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya merasa senang bisa mengutip salah satu ucapan dari Ralph Waldo Emerson, “Keterampilan datang dari melakukan; pengetahuan datang dari mata yang selalu terbuka dan tangan yang bekerja; dan tidak ada pengetahuan yang bukan kekuatan.”

Referensi

J. McCharthy, M.L.Minsky, N.Rochester, C.E.Shannon.1995. "A Proposal For The DartMouth Summer Research Project On Artificial Intelligence" diakses 30 April 2023

Tyna Eloundou, Sam Manning, Pamela Mishin and Danniel Rock. 2023. "GPTs are GPTs: An Early Look at the Labor Market Impact Potential of Large Language Models"

Yulius Bhamantya P. 2023, "Perkembangan Kecerdasan Buatan, Tonggak Bersejarah Hingga Capaian Terkini", https://www.kompas.id/baca/riset/2023/03/08/perkembangan-kecerdasan-buatan-tonggak-bersejarah-hingga-capaian-terkini

Future of Life, 2023. "Policymaking in The Pause: What Can PolicyMakers Do Now Combat Risks From Advanced AI System?"

Noam Chomsky, 2023, "Noam Chomsky: The False Promise of ChatGPT". NY Times: https://www.nytimes.com/2023/03/08/opinion/noam-chomsky-chatgpt-ai.html

Jorgen Veisdal, 2019, "The Birthplace of AI", https://www.cantorsparadise.com/the-birthplace-of-ai-9ab7d4e5fb00

Cecilia Kang, 2023, "Open AI's Sam Altman Urges A.I. Regulation in Senate Hearing". Ny Times https://www.nytimes.com/2023/05/16/technology/openai-altman-artificial-intelligence-regulation.html?action=click&module=RelatedLinks&pgtype=Article

Cade Metz, 2023, "What Exactly Are the Dangers Posed by A.I.?" NY Times https://www.nytimes.com/2023/05/01/technology/ai-problems-danger-chatgpt.html?action=click&module=RelatedLinks&pgtype=Article

Goenawan Mohammad, 2023. "Kerangkeng" Majalah Tempo edisi 7 Mei

Jusuf Irianto, 2023. "Inovasi Teknologi dan Potensi Krisis Ekonomi" Koran Tempo edisi 11 April.

Fawad Ali, 2023. "GPT-1 to GPT-4: Each of OpenAI's GPT Models Explainde and Compared". Make Use Of https://www.makeuseof.com/gpt-models-explained-and-compared/

World Economic Forum, 2023. "Generative AI: A Game Canger That Society and Industry Need To Be Ready For" https://www.weforum.org/agenda/2023/01/davos23-generative-ai-a-game-changer-industries-and-society-code-developers/


--

--