Tentang Bagaimana Menikmati Kota #1

Apalah Artinya Nama

Irsyad Ridho
Selayang
Published in
5 min readNov 1, 2021

--

Waktu itu tahun 1985. Sebagai remaja, aku sedang dilanda rasa kurang nyaman dengan namaku sendiri, nama yang diberikan ayahku dengan bangga. Kata ayahku, namaku dia ambil dari nama seorang ulama besar Mesir, yaitu Muhammad Rasyid Rida. Tapi, saat itu, aku merasa namaku terlalu berkonotasi Arab. Aku iri dengan nama kawan-kawanku yang keren, seperti Erick, Anton, Tony, Tommy, atau Heri. Aku merasa nama mereka itu punya nuansa modern, berkonotasi kota besar. Pokoknya, tidak kampungan seperti namaku.

Tapi, apa sebenarnya yang terpikir di benakku yang masih remaja itu tentang sebuah nama yang bernuansa kota? Aku sendiri tidak sepenuhnya sadar sampai aku bertemu dengan nama yang tertera di sampul sebuah komik roman yang nanti akan menjadi komik kesayanganku: “Zaldy”. Maka, dimulailah kisah tentang urusan nama ini.

Zaldy Armendaris namanya. Nama yang keren, pikirku saat itu. Komik-komiknya kutemukan di rak paling pojok dari sebuah taman bacaan. Ini tentu saja bukan sebuah taman yang berisi perdu dan bunga-bunga, tapi taman dengan hiasan beragam kata: dari majalah politik sampai buku masakan, dari roman picisan sampai sastra mahakarya, dari komik superhero sampai teka-teki silang, bahkan ada juga sisa-sisa buku pelajaran. Inilah taman bacaan satu-satunya di kampungku, Pelaihari (Kalimantan Selatan). Seperti halnya toko kelontong yang menyediakan barang apa saja dari kota, taman bacaan ini menumpuk peradaban kota di setiap rak dan lantainya. Berserakan, dan kau bisa memungut kata-kata sesuka yang kau mau.

Bagiku, tiada tempat melarikan diri dari kegalauan masa remaja yang seenak taman bacaan ini. Sebelumnya, waktu SD, tempat pelarianku adalah masjid, tempatku belajar meneriakkan nama Allah dalam adzan dengan teknik paradoks yang rumit bagi seorang anak SD, yaitu bersuara dengan teriakan yang lembut. Jauh di kemudian hari guru ngajiku pernah menasihati: apabila kau ingin mendekati Allah, janganlah kau panggil nama-Nya dengan suara nyaring yang membuat kau seperti orang bodoh dan kasar, tapi jangan pula dengan suara yang terlampau lirih yang membuat kau seperti orang lemah yang tak berdaya. Begitulah.

Pada saat lain, jika sedang kesal di masjid karena kalah rebutan menabuh beduk, aku pindah ke tempat pelarian yang lain: pasar ikan di tepi danau, tempatku menyerok macam — macam ikan kecil kesukaanku (yang tak kutahu semua namanya) untuk langsung dilemparkan ke wajan panas milik pedagang ikan di sana dan nanti disantap tanpa perlu ditemani nasi. Nyam! Kini, di saat sudah SMP, taman bacaan inilah yang menarikku seperti tangan seorang gadis yang risau. Dan, tanpa kusadari sepenuhnya, komik Zaldy di sini memberi ruang pelarian diri yang tepat.

Komik Zaldy memang bicara tentang anak-anak muda yang melarikan diri: mencoba melarikan diri dari asmara meski pada akhirnya tak bisa. Asmara terus menyusup, mencari jalan keluar dari kebuntuan komunikasi, dari kesalahpahaman yang disengaja, dan dari suara bebal masyarakat kota. Di penghujung cerita, sang sejoli biasanya melangkah sendiri menyusuri jalanan, mengenang asmaranya yang baru saja patah dalam balutan rasa yang hanya sendu, bukan pilu. Dalam hampir seluruh karya Zaldy, asmara memang tidak menjanjikan rasa lega. Dia tiada hendak memberimu ilusi cinta. Asmara dihadirkan dalam momen yang sesaat, selebihnya hanyalah momen panjang kesenduan. Pengakuanlah yang kemudian membuatmu merasa terbebas sejenak dari kesenduan untuk merasakan kembali momen asmara yang dulu pernah ada.

Melalui kesenduan dan pengakuan itulah persoalan tentang siapa diri kerapkali turut menyusup merumitkan hubungan asmara. Aku teringat pada Kabut Pagi, salah satu komik Zaldy yang dibuatnya pada tahun 1968. Sejak panel-panel awal, kita sudah dibawa ke dalam suara batin seorang gadis yang bertanya-tanya tentang siapa dirinya sebenarnya: datang jauh-jauh dari desa yang miskin menuju kota besar, diundang pindah ke sebuah rumah mewah yang rasanya dia sudah pernah berada di situ, entah kapan. Di akhir cerita kita semua menjadi tahu bahwa gadis itu tidak lain adalah anak haram si tuan rumah mewah itu sendiri yang selama ini disembunyikan di desa. Untungnya, asmara antar-saudara kandung dapat dicegah sejak awal dan si gadis mendapatkan pasangan asmaranya yang lebih tepat. Kebahagiaan si anak haram bersama pasangannya memang terjadi di akhir cerita, tetapi itu adalah kebahagiaan yang sendu karena di belakangnya telah terbayang kehancuran keluarga asalnya sendiri, karena sang tuan (yang selama ini dipandang sebagai kepala keluarga yang ideal dari kelas menengah kota) ternyata menyimpan noda yang tak termaafkan.

Seingatku, sembari membaca Zaldy di taman bacaan kampungku saat itu, sembari terpana dengan rumah kelas menengah kota dan lampu-lampu temaram night club dan restoran mewah di dalam gambarnya, perlahan-lahan aku dirasuki perasaan janggal tentang siapakah aku sebenarnya, siapakah orang-orang kampungku, dan siapakah mereka yang jauh itu: yang tinggal di kota besar dengan rumah-rumahnya yang temaram dan nyaman itu, siapakah gadis-gadis cantik nan sendu dan siapakah pemuda-pemuda tampan yang nekat tapi tak berdaya di dalam komik itu. Sejak itu, aku seperti merasakan dua hal: rasa rendah diri kelas bawah kampung dan rasa sendu kelas menengah kota.

Dengan perasaan itulah aku di kemudian hari menghasrati kota dan pindah ke Jakarta. Tapi, racun awalnya telah dihembuskan melalui komik Zaldy dan penawarnya sudah tiada lagi. Aku tentu tidak menyadarinya di tahun 1985 itu. Hanya gejalanya yang kualami, yaitu perasaan kurang nyaman dengan namaku yang berbau Arab itu. Ketika kakak-kakakku yang merantau ke Jakarta akhirnya mengganti nama mereka dengan nama-nama yang bernuansa kota, aku seperti terhempas ke dalam perasaan sebagai “anak haram” dari peradaban kota, anak yang terbuang. Maka, hasrat pun lahir dan membiak bagai laron, mendambakan lampu-lampu temaram yang estetis dalam ruang peradaban modern. Lampu-lampu itu hanyalah metaforanya, tapi hasrat tetap membiak, tak bisa ditahan, untuk terus mendambakan diri yang modern. Hasrat itu terus berdenyut dan menuntut: “Aku tidaklah lengkap, tidaklah sempurna, jika Aku bukanlah Aku-yang-modern, Aku-yang-kota!”.

(Tulisan ini adalah versi yang lebih pendek dari tulisan saya di buletin Stomata. https://stomatarawamangun.wordpress.com/2013/12/27/belajar-nama-nama/)

--

--

Irsyad Ridho
Selayang

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.